SOSIOLINGUISTIK
I.
PENGERTIAN SOSIOLINGUISTIK
Sosiolinguistik paduan antara sosiologi dan linguistik. Keduanya
saling berkaitan erat. Sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang
dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan. Sosiolinguistik pengkajian bahasa itu
sendiri dan fungsinya dalam masyarakat (sosiologis). Yang dikaji adalah
pengaruh masyarakat atas bahasa, fungsi bahasa dalam masyarakat, cara-cara
menggunakan bahasa oleh dan dalam masyarakat. Pemakaian bahasa itu tentu
mempunyai berbagai aspek, seperti jumlah, sikap, adat istiadat dan budaya.
1.
Menurut
Harimurti Kridalaksana, sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang
mempelajari hubungan dan saling pengaruh antar perilaku bahasa dan perilaku
sosial (1983: 156). Sosiolinguistik bukan saja menyoroti masalah bahasa dalam
suatu masyarakat melainkan bahasa dengan perilaku sosial. Dalam pandangan
sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi
serta bagian kebudayaan masyarakat, antar bahasa dengan budaya dan masyarakat penuturnya
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya atau tidak dapat berdiri
sendiri.
2.
Suwito,(1997: 56) menjelaskan bahwa masalah-masalah sosiolinguistik:
a.
Identitas sosial dari penutur,
b. Identitas sosial dari
pendengar yang terlibat dalam proses
komunikasi,
c. Lingkungan sosial tempat
peristiwa tutur terjadi,
d. Analisis sinkronik dan
diakronik dari dialek-dialek sosial,
e. Penilaian sosial yang berbeda
oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran,
f. Tingkatan variasi dan ragam
linguistik, dan
g. Penerapan praktis dari
penelitian sosiolinguistik. ()
3. Abdul
Chaer dan Leonie Agustina (2004: 4) berpendapat bahwa sosiolinguistik adalah
cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi,
dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di
dalam suatu masyarakat tutur.
4. Pride
& Holmes, sosiolinguistik adalah kajian bahasa sebagai bagian dari
kebudayaan dan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan dan masyarakat dan
masyarakat tidak dapat berdiri sendiri. Sosiolinguistik adalah ilmu yang
meneliti dua aspek hubungan timbal -balik antara bahasa dengan perilaku
organisasi social (J.A. Fisman, 1972 )
5.
Sosiolinguistik adalah pendekatan
terhadap penelitian bahasa yang memusatkan perhatiannya kepada bahasa yang
dipakai dalam masyarakat bahasa (speech community) dengan tujuan untuk
menghasilkan suatu teori bahasa yang mantap untuk membenarkan, memerikan, dan
menjelaskan data (W. Labov, 1970)
6.
Sosiolinguistik adalah studi bahasa
dalam perspektif social dan kerangka program tentang pemerian dan klasifikasi
konteks situasi yang khas dalam suatu konteks budaya serta tipe-tipe fungsi
bahasa di dalam konteks situasi (Halliday, 1973)
Jadi
Sosiolinguistik adalah studi bahasa yang dipakai oleh masyarakat untuk
mendapatkan gambaran pemakaian masyarakat pemakai bahasa dengan segala aspek
yang melatarbelakanginya. Sosiolinguistik menekankan pada gejala dan kelompok
masyarakat dalam kaitannya dengan bahasa, masyarakt memberi corak dan warna
tertentu terhadap system pemakaian bahasa dan bahasa akan mengikuti perilaku
masyarakat dan kadar kelancaran hubungan antar kelompok. Sosiolinguistik tidak
menekankan pada bahasa atau masyarakatnya saja, tetapi hubungan timbale-balik
antara bahasa dan masyarakat.
Sehingga penelitian-penelitian bahasa itu
selalu memperhitungkan faktor-faktor lain di luar bahasa, seperti faktor sosial
yang meliputi: status sosial, umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin dsb.
Sedang faktor situasional misalnya siapa pembicara, kepada siapa ia berbicara,
kapan, dimana, mengenai masalah apa.
II. BIDANG
SOSIOLINGUISTIK
1.Makro Sosiolinguistik: adalah studi bahasa dalam
hubungannya dengan masyarakat dan kebudayaan dalam arti yang seluas-luasnya.
Obyek penelitiannya antara lain:
1) Faktor kemasyarakatan yaitu interaksi antara
bahasa dan dialek,
2) studi tentang kemunduran dan stabilisasi bahasa
minoritas,
3) stabilitas perkembangan kedwibahasaan dalam
kelompok tertentu,
4) Pembakuan
bahasa,
5) perencanaan,
pembinaan dan pengembangan bahasa di Negara berkembang,
6) etnografi komunikasi.
2. Mikro Sosiolinguistik: adalah studi tentang bahasa
yang dihubungkan dengan sasaran penelitian etnografi komunikasi seperti: siapa
penutur, dengan bahasa apa, siapa mitra
tutur, kapan dan dimana perbicara dan topic pembicaraan. Sehingga muncul adanya
: alih kode, campur kode, interferensi, kedwibahasaan, diglosia, ragam bahasa,
variasi bahasa, idiolek, dialek, integrasi, bilingualisme, pemakaian bahasa di
masyarakat.
3. Sosiolinguistik terapan; studi yang berusaha
menerapkan teori sosiolinguitik dari berbagai bidang ilmu dengan pemakaian
bahasa: (1) politik bahasa, (2) pelaksanaan politik bahasa, (3) pengajaran
bahasa yang bilingualisme, (4) perencanaan bahasa untuk pembinaan dan per-kembangan
bahasa.
Masalah
Sosiolinguistik yang sering muncul:
1.
Masyarakat Bahasa
2.
Bahasa, Dialek dan Idiolek
3.
Ragam Bahasa
- Reperetoire bahasa
- Fungsi masyarakat bahasa
- Etnografi komunikasi
- Sikap Bahasa
- Perencanaan Bahasa
9. Kedwibahasaan
10. Interaksi Sosiolinguistik
11. Bahasa dan Budaya
III. MASYARAKAT
BAHASA
1.
Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang
menggunakan sistem tanda ujaran yang sama. Sistem bahasa meliputi sistem bunyi,
sintaksis, dan semantik yang sama.
2.
Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang memakai
kode- kode linguistik yang sama.
IV. Bilingualisme
Istilah
bilingualisme atau kedwibahasaan, maksudnya pemakaian dua bahasa atau lebih
atau orang yang menguasai dua bahasa atau lebih dalam suatu tindak tutur. Jadi
orang yang mampu menggunakan bahasa lebih dari satu disebut berdwibahasa atau
dwibahasawan.
Kedwibahasaan ialah kebiasaan menggunakan dua
bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain. Secara sosiolinguistik,
kedwibahasaan (bilingualisme) sebagai penggunaan dua bahasa, seorang penutur dalam
pergaulannya dengan orang lain. Maka dari itu, bilingualisme sangat diperlukan
untuk berkomunikasi dalam lingkungan bermasyarakat atau dapat juga untuk
perorangan.
Bilingualisme
adalah praktek penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke
bahasa yang lain oleh penutur. Untuk menggunakan dua bahasa tersebut diperlukan
penguasaan kedua bahasa itu dengan tujuan yang sama. Dengan demikian salah satu
ciri biliungalisme adalah digunakannya dua bahasa atau lebih oleh sekelompok
orang dengan tidak adanya peran tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya, kedua
bahasa itu dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi
bagaimana saja
V.
Kode dan Alih Kode
Gambaran kode dapat
diwujudkan dalam hierarki kebahasaan, yaitu tingkat yang teratas adalah bahasa
sedangkan dibawahnya adalah kode (Suwito, 1983: 67). Kode adalah suatu sistem
tutur yang penerapannya serta unsur kebahasaannya mempunyai ciri khas sesuai
dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan tuturnya situasi tutur
yang ada (Poedjosoedarmo dalam Kunjana Rahardi, 2001: 20). Kode tutur bukanlah
merupakan suatu unsur kebahasaan seperti fonem, morfologi, kata, frasa, atau
kalimat melainkan variasi bahasa yang secara nyata digunakan dalam komunikasi
masyarakat pendukungnya.
Alih kode adalah istilah umum
untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih,
beberapa variasi dari satu bahasa atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam
(Dell Hymes dalam Kunjana Rahardi, 2001: 20). Hymes membagi alih kode
berdasarkan sifatnya menjadi dua yaitu alih kode intern (internal code switching) dan alih kode ekstern (external code switching). Alih kode
intern yakni yang terjadi antar bahasa daerah dalam suatu bahasa nasional,
antardialek dalam satu bahasa daerah atau beberapa ragam dan gaya yang terdapat
dalam suatu dialek. Adapun yang dimaksud dengan alih kode ekstern adalah
apabila yang terjadi adalah antara bahasa asing dengan bahasa asing. Alih kode
intern misalnya dari bahasa Jawa beralih ke bahasa Indonesia. Sedangkan alih
kode ekstern misalnya dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris.
Macam alih kode ada dua, yaitu alih kode permanent, dan
alih kode sementara (Soepomo, 1986: 38).
1). Alih kode permanent
apabila seorang pembicara tepat mengganti kode bicaranya terhadap seorang kawan
bicara. Biasanya pergantian semacam ini hanya terjadi bila ada perubahan
radikal dalam kedudukan status sosial, dan hubungan pribadi antara si pembicara
dan lawan bicara.
2). Alih kode sementara ialah
alih kode yang dilakukan seorang pembicara pada waktu penutur (O1) berbicara
dengan tingkat tutur biasa dipakai dengan alasan bermacam-macam, peralihan
pemakaian tingkat tutur itu terjadi begitu saja di tengah-tengah kalimat atau
bagian wacananya. Peralihan pemakaian tingkat tutur begini tidak berlangsung
lama, sebab pada waktunya O1 kembali memakai tingkat tutur yang asli. Alih kode
memiliki dua sifat yaitu positif dan negatif. Bersifat positif apabila tidak
mengganggu komunikasi dan bersifat negatif bila mengganggu komunikasi.
Alih
kode ada yang disadari dan tidak disadari oleh penutur. Alih kode yang tidak
disadari oleh penutur adalah biasanya penutur mencari jalan termudah dalam
menyampaikan pikirannya. Sedangkan alih kode yang disadari oleh penutur karena
penutur memiliki maksud-maksud tertentu. Terjadinya alih kode itu disebabkan
oleh beberapa faktor. Menurut Fishman dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina
(2004:100), penyebab alih kode dikembalikan pada pokok persoalan
sosiolinguistik, yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa,
kapan dan dengan tujuan apa.
Penyebab
Alih Kode
Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:108)
berpendapat bahwa penyebab alih kode antara lain:
1. Pembicara atau penutur,
2. Pendengar atau lawan tutur,
3. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga,
4. Perubahan dari formal ke informal atau
sebaliknya,
5. Perubahan topik pembicaraan.
Fungsi alih kode (Suwito) sebagai berikut.:
1.
Penutur (O1)
Penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha
beralih kode terhadap lawan tuturnya karena suatu maksud.
2.
Mitra Tutur (O2)
Setiap penutur ingin mengimbangi bahasa
yang digunakan oleh mitra tutur. Dalam masyarakat multilingual seorang penutur
mungkin beralih sebanyak lawan tutur yang dihadapinya.
3.
Hadirnya Penutur Ketiga
Dua orang berasal dari etnik yang sama
umumnya saling berinteraksi dengan bahasa keluarga etniknya. Tetapi bila ada
orang ketiga dalam pembicaraan itu, dan orang itu berbeda latar belakang
kebahasaannya, biasanya dua orang yang pertama beralih ke kode bahasa penutur
ketiga untuk netralisasi situasi sekaligus menghormati hadirnya orang ketiga
tersebut.
4.
Pokok Pembicaraan (Topik)
Pokok pembicaraan merupakan faktor yang
termasuk dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan ada
dua golongan, yaitu: (1) Pokok pembicaraan yang bersifat formal, dan (2) Pokok
pembicaraan yang bersifat informal.
5.
Membangkitkan Rasa Humor
Alih kode sering dimanfaatkan oleh pelawak,
guru atau pimpinan rapat untuk membangkitkan rasa humor. Bagi pelawak, untuk
membuat penonton merasa puas dan senang. Bagi pemimpin rapat rasa humor untuk
menghilangkan ketegangan yang muncul dalam memecahkan masalah.
6. Sekedar Bergengsi
Sebagian penutur ada yang beralih kode sekedar untuk
bergengsi, yang dapat menimbulkan kesan dipaksakan dan tidak komunikatif. Hal
ini terjadi apabila faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor-faktor
situasi yang lain, menuntut untuk berbicara bahasa yang berbeda dengan kita
yaitu ketika kita berbicara dengan orang asing kita menggunakan bahasa Inggris.
Jadi alih kode adalah peristiwa peralihan bahasa dari bahasa satu
ke bahasa yang lain, dapat berupa alih kode intern dan alih kode ekstern.
Peristiwa peralihan bahasa tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
penutur, mitra tutur, situasi, pokok pembicaraan, hadirnya orang ketiga, maksud
tertentu dan lain sebagainya.
VI. Campur Kode
Campur kode merupakan penggunan satuan bahasa dari satu bahasa ke
bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Termasuk di
dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan dll (Kridalaksana dalam
Markhamah, 2000: 21). Menurut Nababan (dalam PELLBA 2, 1989: 194) jikalau
seseorang memakai kata atau kalimat dari bahasa atau ragam bahasa lain di dalam
kerangka penggunaan sesuatu bahasa atau ragam bahasa tertentu, itu disebut
campur kode. Pemilihan atau penggunaan bahasa dan ragam bahasa hanya ditentukan
oleh kebiasaan atau enaknya perasaan atau mudahnya pengungkapan seorang
pengguna bahasa.
Kundharu (2003: 27) berpendapat bahwa campur kode terjadi akibat
pemakaian satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain. Untuk itu campur kode
mempunyai ciri-ciri, yaitu (1) Adanya aspek saling ketergantungan yang ditandai
dengan adanya timbal balik antara peran dan fungsi bahasa. Peran adalah siapa
yang menggunakan bahasa itudan fungsi merupakan tujuan apa yang hendak dicapai
oleh penutur, (2) Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasi yang menyisip dalam
bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi sendiri, melainkan menyatu dengan
bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan mendukung satu fungsi, (3) Wujud
dari komponen tutur kode tidak pernah berwujud kalimat, melainkan hanya
berwujud kata, frasa, idiom, bentuk baster, perulangan kata, klausa, (4)
Pemakaian bentuk campur kode tertentu kadang-kadang bermaksud untuk menunjukkan
status sosial dan identitas penuturnya di dalam masyarakat dan (5) Campur kode
dalam kondisi yang maksimal merupakan konvergensi kebahasaan yang
unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah
menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
Menurut pendapat Suwito (1983: 76) jika di dalam suatu tuturan
terjadi peralihan dari klausa bahasa yang satu ke klausa bahasa yang lain dan
masing-masing klausa masih mendukung fungsi tersendiri, maka terjadilah peristiwa
alih kode. Tetapi apabila suatu
tuturan baik klausa maupun frasa-frasanya terdiri dari klausa dan frasa baster,
dan masing-masing klausa maupun frasanya tidak lagi mendukung fungsinya
tersendiri, maka akan terjadi peristiwa campur
kode. Seperti halnya alih kode, campur kode juga memiliki dua sifat yaitu
positif dan negatif. Bersifat positif apabila tidak mengganggu komunikasi dan
mengarah ke integrasi. Bersifat negatif apabila mengganggu komunikasi dan
mengarah ke interferensi.
Jadi
campur kode merupakan penggunaan bahasa lebih dari satu dengan saling
memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam unsur bahasa yang lain. Unsur
bahasa tersebut dari tingkat kata sampai klausa. Namun apabila klausa masih
mendukung fungsi tersendiri maka masih dikategorikan peristiwa alih kode, apabila tidak mendukung
fungsi tersendiri maka dikategorikan dalam peristiwa campur kode.
Tipe Campur kode, yaitu tipe yang berlatar
belakang pada sikap (attitudinal type)
dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan (linguistic
type). Campur kode dapat terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara
penutur, bentuk bahasa dan fungsi bahasa
Pemilihan bentuk campur kode dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial
dan identitas pribadi di dalam masyarakat.
Penutur
melakukan campur kode ada tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh
pemakai bahasa. Menurut Suwito (dalam Dwi Sutana, 2000: 11) dalam campur kode
ciri-ciri ketergantungan ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara
peranan dan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai penutur dengan
tuturannya.
Fungsi terjadinya campur kode:
1). penghormatan,
2). menegaskan suatu maksud tertentu,
3) menunjukkan identitas diri
4). memjelaskan pengaruh materi pembicaraan.
5) kepentingan komunikasi
6) hubungan sosial
7) situasi dalam peristiwa tutur
Campur
kode adalah pemakaian satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain yang
berbentuk kata, frasa, idiom, bentuk baster, pengulangan kata dan klausa.
Pemilihan atau penggunaan bahasa dan ragam bahasa tersebut tidak ada maksud
tertentu tetapi hanya karena kebiasaan atau mudahnya pengungkapan seorang
pengguna bahasa. Campur kode pada umumnya terjadi suasana santai atau terjadi
karena faktor kebiasaan. Penggunaan campur kode memiliki fungsi yang
berhubungan dengan peranan penggunaan bahasa.
5.
Faktor yang Melatarbelakangi
Pemakaian Bahasa
Peristiwa tutur adalah terjadinya atau
berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan,
di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu (Abdul Chaer dan Leonie Agustina,
2004: 47). Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur
jika memenuhi syarat 8 komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan
menjadi akronim SPEAKING (Dell Hymes dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina,
2004: 47). Ke 8 komponen itu adalah
S
= Setting amd Scene
P
= Participant
E
= End: purpose and goal
A
= Act Sequences
K
= Key: tone or spirit of act
I = Instrumentalities
N
= Norms of Interaction and Interpretation
G
= Genres
Setting and Scene. Disini setting berkenaan dengan waktu dan
tempat tutur berlangsung, sedangkan scene
mengacu pada tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu,
tempat dan situasi tuturnya berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa
yang berbeda pula.
Participant adalah pihak-pihak yang
terlibat dalam tuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa atau
pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti
peran sebagai pembicara atau pendengar.
End yaitu maksud dan hasil percakapan. Suatu
peristiwa tutur itu terjadi pasti maksud dari penutur dan mitra tutur.
Act
Sequences yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan. Bentuk
pesan mencakup sebagaimana topik itu dituturkan sedangkan isi percakapan ini
berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan oleh penutur.
Key
yaitu menunjuk pada cara atau semangat (nada/jiwa) dalam melaksanakan
percakapan. Tuturan tersebut akan berbeda antara serius dan santai, resmi dan
tidak resmi, dan lain sebagainya.
Instrumentalities
yaitu menunjuk pada jalur percakapan; apakah secara lisan atau tidak. Jalur
percakapan yang digunakan itu dapat melalui lisan, telegraf, telepon, surat dan
lain-lain. Percakapan secara lisan dapat seperti berbicara, menyanyi, bersiul
dan lain-lain.
Norm
yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan. Yang termasuk di
dalamnya adalah semua kaidah yang mengatur pertuturan yang bersifat imperatif
(memerintah). Misalnya, bagaimana cara berinterupsi, bertanya, berbicara yang
sopan dan sebagainya.
Genres
yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan. Misalnya,
jenis penyampaian puisi, narasi, doa dan sebaga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar