Jumat, 08 November 2013

SOSIOLINGUISTIK

SOSIOLINGUISTIK

I.                    PENGERTIAN SOSIOLINGUISTIK
Sosiolinguistik paduan  antara sosiologi dan linguistik. Keduanya saling berkaitan erat. Sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan. Sosiolinguistik pengkajian bahasa itu sendiri dan fungsinya dalam masyarakat (sosiologis). Yang dikaji adalah pengaruh masyarakat atas bahasa, fungsi bahasa dalam masyarakat, cara-cara menggunakan bahasa oleh dan dalam masyarakat. Pemakaian bahasa itu tentu mempunyai berbagai aspek, seperti jumlah, sikap, adat istiadat dan budaya.
1.          Menurut Harimurti Kridalaksana, sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antar perilaku bahasa dan perilaku sosial (1983: 156). Sosiolinguistik bukan saja menyoroti masalah bahasa dalam suatu masyarakat melainkan bahasa dengan perilaku sosial. Dalam pandangan sosiolinguistik, bahasa dipandang sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta bagian kebudayaan masyarakat, antar bahasa dengan budaya dan masyarakat penuturnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya atau tidak dapat berdiri sendiri.
2. Suwito,(1997: 56) menjelaskan bahwa masalah-masalah sosiolinguistik: 
    a.  Identitas sosial dari penutur,
    b. Identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses  komunikasi,
    c. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi,
   d. Analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial,
   e. Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran,
   f. Tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan
   g. Penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. ()
3. Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004: 4) berpendapat bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur.
4. Pride & Holmes, sosiolinguistik adalah kajian bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan dan masyarakat dan masyarakat tidak dapat berdiri sendiri. Sosiolinguistik adalah ilmu yang meneliti dua aspek hubungan timbal -balik antara bahasa dengan perilaku organisasi social (J.A. Fisman, 1972 )
5.   Sosiolinguistik adalah pendekatan terhadap penelitian bahasa yang memusatkan perhatiannya kepada bahasa yang dipakai dalam masyarakat bahasa (speech community) dengan tujuan untuk menghasilkan suatu teori bahasa yang mantap untuk membenarkan, memerikan, dan menjelaskan data (W. Labov, 1970)
6.   Sosiolinguistik adalah studi bahasa dalam perspektif social dan kerangka program tentang pemerian dan klasifikasi konteks situasi yang khas dalam suatu konteks budaya serta tipe-tipe fungsi bahasa di dalam konteks situasi (Halliday, 1973)
Jadi Sosiolinguistik adalah studi bahasa yang dipakai oleh masyarakat untuk mendapatkan gambaran pemakaian masyarakat pemakai bahasa dengan segala aspek yang melatarbelakanginya. Sosiolinguistik menekankan pada gejala dan kelompok masyarakat dalam kaitannya dengan bahasa, masyarakt memberi corak dan warna tertentu terhadap system pemakaian bahasa dan bahasa akan mengikuti perilaku masyarakat dan kadar kelancaran hubungan antar kelompok. Sosiolinguistik tidak menekankan pada bahasa atau masyarakatnya saja, tetapi hubungan timbale-balik antara bahasa dan masyarakat.
Sehingga penelitian-penelitian bahasa itu selalu memperhitungkan faktor-faktor lain di luar bahasa, seperti faktor sosial yang meliputi: status sosial, umur, tingkat pendidikan, jenis kelamin dsb. Sedang faktor situasional misalnya siapa pembicara, kepada siapa ia berbicara, kapan, dimana, mengenai masalah apa.

II. BIDANG SOSIOLINGUISTIK
1.Makro Sosiolinguistik: adalah studi bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat dan kebudayaan dalam arti yang seluas-luasnya.
Obyek penelitiannya antara lain:
1) Faktor kemasyarakatan yaitu interaksi antara bahasa    dan dialek,
2) studi tentang kemunduran dan stabilisasi bahasa minoritas,
3) stabilitas perkembangan kedwibahasaan dalam kelompok tertentu,
4)  Pembakuan bahasa,
5)  perencanaan, pembinaan dan pengembangan bahasa di Negara berkembang,
 6)  etnografi komunikasi.
2. Mikro Sosiolinguistik: adalah studi tentang bahasa yang dihubungkan dengan sasaran penelitian etnografi komunikasi seperti: siapa penutur, dengan bahasa apa,   siapa mitra tutur, kapan dan dimana perbicara dan topic pembicaraan. Sehingga muncul adanya : alih kode, campur kode, interferensi, kedwibahasaan, diglosia, ragam bahasa, variasi bahasa, idiolek, dialek, integrasi, bilingualisme, pemakaian bahasa di masyarakat.
3. Sosiolinguistik terapan; studi yang berusaha menerapkan teori sosiolinguitik dari berbagai bidang ilmu dengan pemakaian bahasa: (1) politik bahasa, (2) pelaksanaan politik bahasa, (3) pengajaran bahasa yang bilingualisme, (4) perencanaan bahasa untuk pembinaan dan per-kembangan bahasa.
Masalah Sosiolinguistik yang sering muncul:
1.   Masyarakat Bahasa
2.      Bahasa, Dialek dan Idiolek
3.      Ragam Bahasa
  1. Reperetoire bahasa
  2. Fungsi masyarakat bahasa
  3. Etnografi komunikasi
  4. Sikap Bahasa
  5. Perencanaan Bahasa
    9. Kedwibahasaan
10. Interaksi Sosiolinguistik
11. Bahasa dan Budaya
III. MASYARAKAT BAHASA
1.         Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang menggunakan sistem tanda ujaran yang sama. Sistem bahasa meliputi sistem bunyi, sintaksis, dan semantik yang sama.
2.         Masyarakat bahasa adalah sekelompok orang memakai kode- kode linguistik yang sama.

IV. Bilingualisme
            Istilah bilingualisme atau kedwibahasaan, maksudnya pemakaian dua bahasa atau lebih atau orang yang menguasai dua bahasa atau lebih dalam suatu tindak tutur. Jadi orang yang mampu menggunakan bahasa lebih dari satu disebut berdwibahasa atau dwibahasawan.
Kedwibahasaan ialah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain. Secara sosiolinguistik, kedwibahasaan (bilingualisme) sebagai penggunaan dua bahasa, seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain. Maka dari itu, bilingualisme sangat diperlukan untuk berkomunikasi dalam lingkungan bermasyarakat atau dapat juga untuk perorangan.
            Bilingualisme adalah praktek penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain oleh penutur. Untuk menggunakan dua bahasa tersebut diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tujuan yang sama. Dengan demikian salah satu ciri biliungalisme adalah digunakannya dua bahasa atau lebih oleh sekelompok orang dengan tidak adanya peran tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja
           
V.                Kode dan Alih Kode
                                    Gambaran kode dapat diwujudkan dalam hierarki kebahasaan, yaitu tingkat yang teratas adalah bahasa sedangkan dibawahnya adalah kode (Suwito, 1983: 67). Kode adalah suatu sistem tutur yang penerapannya serta unsur kebahasaannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan tuturnya situasi tutur yang ada (Poedjosoedarmo dalam Kunjana Rahardi, 2001: 20). Kode tutur bukanlah merupakan suatu unsur kebahasaan seperti fonem, morfologi, kata, frasa, atau kalimat melainkan variasi bahasa yang secara nyata digunakan dalam komunikasi masyarakat pendukungnya.
Alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam (Dell Hymes dalam Kunjana Rahardi, 2001: 20). Hymes membagi alih kode berdasarkan sifatnya menjadi dua yaitu alih kode intern (internal code switching) dan alih kode ekstern (external code switching). Alih kode intern yakni yang terjadi antar bahasa daerah dalam suatu bahasa nasional, antardialek dalam satu bahasa daerah atau beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu dialek. Adapun yang dimaksud dengan alih kode ekstern adalah apabila yang terjadi adalah antara bahasa asing dengan bahasa asing. Alih kode intern misalnya dari bahasa Jawa beralih ke bahasa Indonesia. Sedangkan alih kode ekstern misalnya dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris.

  Macam alih kode ada dua, yaitu alih kode permanent, dan alih kode sementara (Soepomo, 1986: 38).
1). Alih kode permanent apabila seorang pembicara tepat mengganti kode bicaranya terhadap seorang kawan bicara. Biasanya pergantian semacam ini hanya terjadi bila ada perubahan radikal dalam kedudukan status sosial, dan hubungan pribadi antara si pembicara dan lawan bicara.
2). Alih kode sementara ialah alih kode yang dilakukan seorang pembicara pada waktu penutur (O1) berbicara dengan tingkat tutur biasa dipakai dengan alasan bermacam-macam, peralihan pemakaian tingkat tutur itu terjadi begitu saja di tengah-tengah kalimat atau bagian wacananya. Peralihan pemakaian tingkat tutur begini tidak berlangsung lama, sebab pada waktunya O1 kembali memakai tingkat tutur yang asli. Alih kode memiliki dua sifat yaitu positif dan negatif. Bersifat positif apabila tidak mengganggu komunikasi dan bersifat negatif bila mengganggu komunikasi.
            Alih kode ada yang disadari dan tidak disadari oleh penutur. Alih kode yang tidak disadari oleh penutur adalah biasanya penutur mencari jalan termudah dalam menyampaikan pikirannya. Sedangkan alih kode yang disadari oleh penutur karena penutur memiliki maksud-maksud tertentu. Terjadinya alih kode itu disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Fishman dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:100), penyebab alih kode dikembalikan pada pokok persoalan sosiolinguistik, yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa.

 Penyebab Alih Kode
Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:108) berpendapat bahwa penyebab alih kode antara lain:
1. Pembicara atau penutur,
2. Pendengar atau lawan tutur,
3. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga,
4. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya,
5. Perubahan topik pembicaraan.



Fungsi alih kode (Suwito)  sebagai berikut.:
1. Penutur (O1)
   Penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode terhadap lawan tuturnya karena suatu maksud.
2. Mitra Tutur (O2)
    Setiap penutur ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh mitra tutur. Dalam masyarakat multilingual seorang penutur mungkin beralih sebanyak lawan tutur yang dihadapinya.
3. Hadirnya Penutur Ketiga
    Dua orang berasal dari etnik yang sama umumnya saling berinteraksi dengan bahasa keluarga etniknya. Tetapi bila ada orang ketiga dalam pembicaraan itu, dan orang itu berbeda latar belakang kebahasaannya, biasanya dua orang yang pertama beralih ke kode bahasa penutur ketiga untuk netralisasi situasi sekaligus menghormati hadirnya orang ketiga tersebut.
4. Pokok Pembicaraan (Topik)
    Pokok pembicaraan merupakan faktor yang termasuk dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan ada dua golongan, yaitu: (1) Pokok pembicaraan yang bersifat formal, dan (2) Pokok pembicaraan yang bersifat informal.
5. Membangkitkan Rasa Humor
    Alih kode sering dimanfaatkan oleh pelawak, guru atau pimpinan rapat untuk membangkitkan rasa humor. Bagi pelawak, untuk membuat penonton merasa puas dan senang. Bagi pemimpin rapat rasa humor untuk menghilangkan ketegangan yang muncul dalam memecahkan masalah.
6. Sekedar Bergengsi
        Sebagian penutur ada yang beralih kode sekedar untuk bergengsi, yang dapat menimbulkan kesan dipaksakan dan tidak komunikatif. Hal ini terjadi apabila faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor-faktor situasi yang lain, menuntut untuk berbicara bahasa yang berbeda dengan kita yaitu ketika kita berbicara dengan orang asing kita menggunakan bahasa Inggris.
   Jadi alih kode adalah peristiwa peralihan bahasa dari bahasa satu ke bahasa yang lain, dapat berupa alih kode intern dan alih kode ekstern. Peristiwa peralihan bahasa tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penutur, mitra tutur, situasi, pokok pembicaraan, hadirnya orang ketiga, maksud tertentu dan lain sebagainya.
                                                                 
VI. Campur Kode
   Campur kode merupakan penggunan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa. Termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan dll (Kridalaksana dalam Markhamah, 2000: 21). Menurut Nababan (dalam PELLBA 2, 1989: 194) jikalau seseorang memakai kata atau kalimat dari bahasa atau ragam bahasa lain di dalam kerangka penggunaan sesuatu bahasa atau ragam bahasa tertentu, itu disebut campur kode. Pemilihan atau penggunaan bahasa dan ragam bahasa hanya ditentukan oleh kebiasaan atau enaknya perasaan atau mudahnya pengungkapan seorang pengguna bahasa.
  Kundharu (2003: 27) berpendapat bahwa campur kode terjadi akibat pemakaian satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain. Untuk itu campur kode mempunyai ciri-ciri, yaitu (1) Adanya aspek saling ketergantungan yang ditandai dengan adanya timbal balik antara peran dan fungsi bahasa. Peran adalah siapa yang menggunakan bahasa itudan fungsi merupakan tujuan apa yang hendak dicapai oleh penutur, (2) Unsur-unsur bahasa atau variasi-variasi yang menyisip dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi sendiri, melainkan menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan mendukung satu fungsi, (3) Wujud dari komponen tutur kode tidak pernah berwujud kalimat, melainkan hanya berwujud kata, frasa, idiom, bentuk baster, perulangan kata, klausa, (4) Pemakaian bentuk campur kode tertentu kadang-kadang bermaksud untuk menunjukkan status sosial dan identitas penuturnya di dalam masyarakat dan (5) Campur kode dalam kondisi yang maksimal merupakan konvergensi kebahasaan yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
  Menurut pendapat Suwito (1983: 76) jika di dalam suatu tuturan terjadi peralihan dari klausa bahasa yang satu ke klausa bahasa yang lain dan masing-masing klausa masih mendukung fungsi tersendiri, maka terjadilah peristiwa alih kode. Tetapi apabila suatu tuturan baik klausa maupun frasa-frasanya terdiri dari klausa dan frasa baster, dan masing-masing klausa maupun frasanya tidak lagi mendukung fungsinya tersendiri, maka akan terjadi peristiwa campur kode. Seperti halnya alih kode, campur kode juga memiliki dua sifat yaitu positif dan negatif. Bersifat positif apabila tidak mengganggu komunikasi dan mengarah ke integrasi. Bersifat negatif apabila mengganggu komunikasi dan mengarah ke interferensi.
            Jadi campur kode merupakan penggunaan bahasa lebih dari satu dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam unsur bahasa yang lain. Unsur bahasa tersebut dari tingkat kata sampai klausa. Namun apabila klausa masih mendukung fungsi tersendiri maka masih dikategorikan peristiwa alih kode, apabila tidak mendukung fungsi tersendiri maka dikategorikan dalam peristiwa campur kode.
             Tipe Campur kode, yaitu tipe yang berlatar belakang pada sikap (attitudinal type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan (linguistic type). Campur kode dapat terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara penutur, bentuk bahasa dan fungsi bahasa  Pemilihan bentuk campur kode dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadi di dalam masyarakat.
            Penutur melakukan campur kode ada tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh pemakai bahasa. Menurut Suwito (dalam Dwi Sutana, 2000: 11) dalam campur kode ciri-ciri ketergantungan ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai penutur dengan tuturannya.
Fungsi terjadinya campur kode:
1). penghormatan,
2). menegaskan suatu maksud tertentu,
3) menunjukkan identitas diri
4). memjelaskan pengaruh materi pembicaraan.
5) kepentingan komunikasi
6) hubungan sosial
7) situasi dalam peristiwa tutur
                                                            Campur kode adalah pemakaian satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain yang berbentuk kata, frasa, idiom, bentuk baster, pengulangan kata dan klausa. Pemilihan atau penggunaan bahasa dan ragam bahasa tersebut tidak ada maksud tertentu tetapi hanya karena kebiasaan atau mudahnya pengungkapan seorang pengguna bahasa. Campur kode pada umumnya terjadi suasana santai atau terjadi karena faktor kebiasaan. Penggunaan campur kode memiliki fungsi yang berhubungan dengan peranan penggunaan bahasa.

5.      Faktor yang Melatarbelakangi Pemakaian Bahasa
     Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat dan situasi tertentu (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 47). Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur jika memenuhi syarat 8 komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING (Dell Hymes dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 47). Ke 8 komponen itu adalah
            S = Setting amd Scene
            P = Participant
            E = End: purpose and goal
            A = Act Sequences
            K = Key: tone or spirit of act
             I = Instrumentalities
            N = Norms of Interaction and Interpretation
            G = Genres
        Setting and Scene. Disini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat dan situasi tuturnya berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda pula.
        Participant adalah pihak-pihak yang terlibat dalam tuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa atau pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar.
        End yaitu maksud dan hasil percakapan. Suatu peristiwa tutur itu terjadi pasti maksud dari penutur dan mitra tutur.
        Act Sequences yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan. Bentuk pesan mencakup sebagaimana topik itu dituturkan sedangkan isi percakapan ini berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan oleh penutur.
        Key yaitu menunjuk pada cara atau semangat (nada/jiwa) dalam melaksanakan percakapan. Tuturan tersebut akan berbeda antara serius dan santai, resmi dan tidak resmi, dan lain sebagainya.
        Instrumentalities yaitu menunjuk pada jalur percakapan; apakah secara lisan atau tidak. Jalur percakapan yang digunakan itu dapat melalui lisan, telegraf, telepon, surat dan lain-lain. Percakapan secara lisan dapat seperti berbicara, menyanyi, bersiul dan lain-lain.
        Norm yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan. Yang termasuk di dalamnya adalah semua kaidah yang mengatur pertuturan yang bersifat imperatif (memerintah). Misalnya, bagaimana cara berinterupsi, bertanya, berbicara yang sopan dan sebagainya.
        Genres yaitu yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, jenis penyampaian puisi, narasi, doa dan sebaga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar