1. Deskripsi Naskah SERAT MUDHATANYA
Deskripsi naskah adalah gambaran secara
ringkas dan terperinci mengenai wujud fisik naskah maupun isi naskah dengan
tujuan untuk mempermudah pengenalan terhadap naskah beserta konteks isinya.
Deskripsi naskah yang dilakukan terhadap naskah yang menjadi objek penelitian
ini berpedoman pada pendapat yang dikemukakan oleh Emuch Hermansoemantri (1986)
yang disesuaikan dengan karakteristik naskah yang diteliti.
Hal-hal
yang diungkapkan dalam deskripsi naskah antara lain menyangkut informasi atau
data mengenai: (1) judul naskah; (2) nomor naskah; (3) tempat penyimpanan
naskah; (4) identitas pengarang/ penyalin; (5) manggala/ kolofon; (6)
ukuran naskah; (7) ukuran teks; (8) tebal naskah/ jumlah halaman; (9) jumlah
baris pada setiap halaman; (10) cara penulisan; (11) bahan naskah; (12) bahasa
naskah; (13) bentuk teks; (14) huruf, aksara, tulisan; (15) keadaan naskah;
(16) umur naskah; (17) ikhtisar teks/ cerita; dan (19) catatan lain. Berikut
deskripsi lengkap naskah SM.
(1)
Judul naskah
Naskah ini tercatat dalam
katalog T.E. Behrend, Katalog
Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta (1990),
pada halaman 504, dengan judul Serat Mudatanya. Ketika dilakukan pengecekan
langsung ke tempat penyimpanan naskah, judul pada cover luar naskah
bertuliskan “Serat Moedatanya. Serat Kawontenanipoen Pergerakan
Koemoenis” dan pada cover dalam naskah juga pada bagian jilidan luar
bertuliskan “Moedatanya (Koemoenis)”.
Dua bentuk teks yang berbeda
jika dihubungkan dengan dua judul naskah yang berbeda penulisannya pula, ada
beberapa kemungkinan seperti berikut:
- Jika didasarkan pada judul di hard cover, dua teks yang berbeda bentuk memiliki judul masing-masing, yakni teks yang berbentuk prosa memiliki judul ”Serat Mudhatanya”, sedangkan teks yang berbentuk tembang macapat memiliki judul ”Serat Kawontenanipun Pergerakan Koemunis”, sehingga bisa dikatakan diantara keduanya berdiri sendiri.
- Jika didasarkan pada judul di bagian jilidan luar dan cover dalam, dua teks yang berbeda bentuk tersebut menjadi satu dalam satu judul, yakni judul Serat Mudhatanya, sehingga bisa dikatakan diantara keduanya saling berkaitan.
Setelah kedua teks ini dibaca
lebih teliti lagi, ternyata di antara keduanya tidak mempunyai keterikatan.
Keduanya saling berdiri sendiri dengan isi atau informasi yang dimiliki
masing-masing. Teks yang berbentuk prosa termasuk dalam kategori naskah Jawa
jenis piwulang, sedangkan teks yang berbentuk tembang macapat termasuk dalam
kategori naskah Jawa jenis sejarah. Karena sasaran penelitian ini adalah naskah
manuskrip jenis piwulang bukan sejarah, maka judul yang dipilih adalah Serat
Mudhatanya. Dan judul Serat Kawontenanipun Pergerakan Koemunis
merupakan judul milik teks lain yang berbentuk tembang macapat.
(2)
Nomor naskah
Dalam katalog T.E. Behrend, Katalog Induk Naskah-Naskah
Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta (1990) pada halaman 504, naskah ini terdaftar dengan nomor PB C56 dengan nomor rol film 112 no.10.
(3)
Tempat penyimpanan naskah
Museum Sana
Budaya Yogyakarta.
(4)
Identitas pengarang/
penyalin
Teks SM dikarang oleh R.T.Purbadipura, hal ini dapat dilihat dari kutipan
halaman iv teks SM, yaitu:
“Sêrat
Mudhatanya punika, ingkang ngarang Raden Tumênggung Purbadipura, Abdi Dalêm
Bupati Anom Gêdhong Têngên ing Surakarta
Hadiningrat. Pangarangipun nalika dintên Kêmis Lêgi tanggal kaping 28 wulan
Sura taun Jimakir angka 1858 utawi kaping 28 Juli taun angka 1927. Gagriya
salêbêting nagari ing kampung Kratonan Kidul, ondêr dhistrik Sêrêngan, sakilène
Pasar Gêmblêgan.”
Terjemahan:
”Serat Mudhatanya ini yang mengarang Raden
Tumenggung Purbadipura, Abdi Dalem Bupati Anom Gedhong Tengen di keraton
Surakarta Hadiningrat. Pembuatannya ketika hari Kamis Legi tanggal 28 bulan
Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Bertempat tinggal di kampung
Kratonan Kidul, distrik Serengan, sebelah barat Pasar Gemblegan.”
R.T.Purbadipura merupakan
seorang Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong Têngên keraton Surakarta. Beliau
hidup pada zaman pemerintahan Pakubuwana X. R.T.Purbadipura adalah abdi
dalem kesayangan Pakubuwana X. Beliau seorang sastrawan yang sering
menggubah perjalanan-perjalanan PB X dalam bentuk tembang. R.T.Purbadipura
merupakan ayah dari R.Ng. Poerbacaraka. R.T.Purbadipura selain sebagai
pengarang naskah SM ini juga sekaligus sebagai penulis teks SM, tetapi beliau
hanya menulis pada halaman 53a-90, sedangkan halaman-halaman sebelumnya ditulis
oleh seorang jurutulis bernama Wignyaukara. Hal ini bisa dilihat dari kutipan halaman 37 teks
SM berikut:
”...................................................................
a :
inggih nggèr ndhèrèkakên wilujêng
b :
sampun kyai
a :
inggih
Ingkang ngarang Purbadipura
Ingkang nyêrat
Wignyaukara”
Terjemahan:
“…………………..
a : ya
nak, silahkan. Semoga selamat.
b : cukup
sekian kyai
a : ya
Yang
mengarang Purbadipura
Yang
menulis Wignyaukara”
Selain naskah Serat
Mudhatanya, beliau juga aktif menulis lebih dari 15 judul. Sebagian besar
bertemakan ajaran didaktik yang bernuansa Islam, etika hidup manusia dan
sejarah. Karya-karya tersebut diantaranya Serat Sri Karongron, Serat Sri
Papara, Serat Resi Danardana, Serat Sriyatna, Serat Sri Hascarya, Serat Sri
Sekaringpuri, Serat Sri Dirgayuswa, Serat Sri Hutomo, Bab Dodotan, Cathetan
Warni-warni, Essing Purbadipura, Kiyamat Kubra I-IV, dan lain-lain.
(5)
Manggala/ kolofon
Naskah ini ditulis pada tahun
1858 Jawa. Sebagaimana yang tertulis pada manggala berikut ini:
“Sêrat
Mudhatanya punika, ingkang ngarang Raden Tumênggung Purbadipura, Abdi Dalêm
Bupati Anom Gêdhong Têngên ing Surakarta
Hadiningrat. Pangarangipun nalika dintên Kêmis Lêgi tanggal kaping 28 wulan
Sura taun Jimakir angka 1858 utawi kaping 28 Juli taun angka 1927. Gagriya
salêbêting nagari ing kampung Kratonan Kidul, ondêr dhistrik Sêrêngan, sakilène
Pasar Gêmblêgan.”
Terjemahan:
”Serat Mudhatanya ini yang mengarang Raden
Tumenggung Purbadipura, Abdi Dalem Bupati Anom Gedhong Tengen di keraton
Surakarta Hadiningrat. Pembuatannya ketika hari Kamis Legi tanggal 28 bulan
Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Bertempat tinggal di kampung Kratonan
Kidul, distrik Serengan, sebelah barat Pasar Gemblegan.”
(6)
Bahan naskah
Naskah SM dikemas dalam sebuah buku tulis cukup tebal
dengan ketebalan 1,1 cm. Kertas yang
dipakai kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna biru muda). Kertasnya cukup
tebal. Terdapat garis bantu dengan pensil untuk batas margin.
Penulis
menemukan ada 2 jenis kertas lain di luar kertas asli dari buku yang digunakan
untuk menuliskan teks SM. Kertas-kertas tersebut tidak setebal kertas asli dari
buku. Dua jenis kertas lain tersebut yang satu ditempelkan dengan kertas asli
dari buku, yang satunya hanya disisipkan, tidak ditempelkan. Berarti
dalam satu buku ada 3 jenis kertas, yaitu:
1)
Kertas asli dari buku itu sendiri:
kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna biru muda), kualitas kerta cukup
tebal, tiap halaman ada 25 baris, berukuran 21,2 cm x 16, 8 cm, warna kertas
coklat muda agak kekuning-kuningan.
2)
Kertas yang ditempel: kertas
lokal, bergaris (garisnya berwarna hitam), tiap halaman ada 23 baris, kualitas
kertas lebih tipis bila dibandingkan denga kertas asli dari buku, ukuran kertas
sama dengan kertas yang asli dari buku, yaitu 21,2 cm x 16, 8 cm, warna kertas
coklat muda agak kekuning-kuningan.
3)
Kertas yang disisipkan: kertas
lokal, bergaris (garisnya berwarna hitam), kualitas kertas tipis, berwarna
coklat (coklatnya lebih gelap bila dibandingkan dengan 2 jenis kertas di atas,
berukuran 17,4 cm x 15,4 cm.
(7)
Keadaan naskah
Keadaan naskah secara fisik baik utuh/ lengkap, tidak ada
lembaran-lembaran naskah yang hilang, ada beberapa lubang kecil di halaman
bagian awal tetapi tidak sampai mengenai tulisan, dijilid, hard cover berwarna
hitam bercorak keemasan. Ada
sekitar 2-3 lembar di bagian pertengahan naskah yang disobek secara sengaja dan
terlihat pemotongannya rapi untuk menempelkan kertas lain (kertas tambahan).
Teks pada halaman 63-70 (8 hal) dicoret dengan tanda
silang oleh penulis sebagai penanda bahwa teks tersebut sudah tidak terpakai
(tidak perlu dibaca).
(8)
Ukuran naskah
Naskah
SM berukuran panjang 21,2 cm dan lebar 16,8 cm.
(9)
Ukuran teks
Dari uraian tentang bahan naskah diatas, yakni ada
3 jenis kertas yang berbeda-beda, hal tersebut mempengaruhi ukuran teks. Sehingga
ada 3 ukuran teks yang masing-masing juga berbeda. Berikut uraiannya:
1) Kertas asli
dari buku itu sendiri
Ukuran teks pada halaman ganjil (sebelah kiri) : 17,8 cm x 11,2 cm
Ukuran teks pada halaman genap (sebelah kanan) : 17,8 cm x 11,1 cm
▪
Margin atas : 2 cm
▪
Margin bawah : 1,4 cm
Ukuran margin kanan dan kiri antara halaman ganjil
(halaman sebelah kiri) dengan halaman genap (halaman sebelah kanan) berbeda,
yakni:
Halaman ganjil (halaman sebelah kiri):
Margin kiri :
3,1 cm
Margin kanan :
2,5 cm
Halaman
genap (halaman sebelah kanan):
Margin kiri :
2,4 cm
Margin kanan :
3,3 cm
2)
Kertas yang ditempel
Ukuran teks pada halaman ganjil (sebelah kiri) : 16,4 cm x 11 cm
Ukuran
teks pada halaman genap (sebelah kanan) :
16,4 cm x 10,8 cm
▪
Margin atas : 2,7 cm
▪
Margin bawah : 2,1 cm
Ukuran margin kanan dan kiri antara halaman ganjil
(halaman sebelah kiri) dengan halaman genap (halaman sebelah kanan) berbeda,
yakni:
Halaman ganjil (halaman sebelah kiri):
Margin kiri :
3,8 cm
Margin kanan :
2 cm
Halaman
genap (halaman sebelah kanan):
Margin kiri : 2,1 cm
Margin kanan : 3,9 cm
3)
Kertas yang disisipkan
Panjang
x lebar : 17,1 cm x 15,4 cm
▪ Margin atas :
2,2 cm
▪ Margin bawah : 1,5
cm
▪
Margin kiri : 2,4 cm
▪
Margin kanan : 3,2 cm
Pada kertas ini, teks ditulis
hanya satu muka (tidak recto verso), maka tidak ada pembedaan antara
halaman ganjil (halaman sebelah kiri) dengan halaman genap (halaman sebelah
kanan).
(10)
Tebal naskah/ jumlah
halaman
Tebal naskah SM berukuran 1,1
cm dengan jumlah halaman 130 halaman atau 65 lembar, berikut keterangannya:
Tabel 4.1 Tabel ketebalan naskah SM
Naskah
|
Halaman
|
Jumlah
halaman
|
Serat Mudhatanya (prosa berbentuk dialog)
|
i-xi
|
11
hal
|
1-37
|
37 hal
|
|
53a, 53b, 53c
|
3 hal
|
|
54-57
|
4 hal
|
|
58a, 58b
|
2 hal
|
|
59-74
|
16 hal
|
|
74a-74i (satu
muka, tidak recto verso)
|
9 hal
x 2 : 18 hal
|
|
75-90
|
16 hal
|
|
Teks lain: Serat Kawontenanipun Pergerakan Komunis (berbentuk
tembang macapat)
|
38-52
|
15 hal
|
|
Lembaran sisa (tidak ditulisi)
|
8 hal
|
Total
halaman
|
130
hal
|
(11) Jumlah baris
pada setiap halaman
Jumlah baris pada setiap
halaman rata-rata 24 baris:
a. SM 1-37 (penulis
Wignyaukara) : 24 baris
b. SM 53a-90 (penulis
R.T. Purbadipura) : 21-22 baris
(12)
Cara penulisan
Penulisan teks pada setiap halaman ditulis secara
bolak-balik, atau yang lebih dikenal dengan sistem recto verso, yaitu
lembaran-lembaran naskah yang ditulisi pada kedua halaman muka dan belakang.
Selain itu hanya beberapa halaman yang ditulis secara satu muka (tidak recto
verso), yaitu pada halaman 74a sampai 74i. Ditulis satu muka karena kualitas kertasnya cukup tipis dan tinta yang
dipakai sangat tebal berwarna hitam pekat. Sehingga kecil kemungkinan teks pada
halaman tersebut ditulis secara recto verso.
Teks ditulis
ke arah lebarnya, artinya teks ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah,
ditulis dari kiri ke kanan.
Penomoran
halaman menggunakan 2 jenis angka, yaitu:
a. Angka Jawa:
pada halaman 1-74 dan 75-90, terletak di sebelah atas tengah.
b. Angka Arab:
pada halaman 74a-74i, terletak di sebelah atas pojok kanan, kemungkinan besar
penomoran ini adalah tambahan dari pembaca karena warna tinta teks dengan nomor
halaman berbeda.
(13)
Bahasa naskah
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Baru, ragam krama
dan ngoko, disisipi oleh bahasa Arab. Bahasa naskah cukup mudah
dipahami oleh masyarakat pembaca saat ini.
(14)
Bentuk teks
Teks SM ditulis dalam bentuk prosa berupa
teks dialog.
(15)
Huruf, aksara, tulisan
Huruf yang dipakai ada 3 macam, yaitu:
a.
Huruf Jawa carik: digunakan untuk
menuliskan teks secara keseluruhan.
b. Huruf Arab: hanya
digunakan ketika menuliskan kata “Allah”.
c. Huruf Latin: hanya
digunakan ketika menuliskan icon kedua tokoh dalam teks yang sedang berdialog.
Karena teks
SM ini ditulis oleh 2 penulis, maka bentuk tulisannya berbeda, yaitu:
a.
Penulis I (Wignyaukara):
-
Ukuran font sedang
-
Jarak antar huruf rapat
-
Bentuk huruf ngetumbar miring ke kanan
-
Tulisan jelas dan mudah dibaca
-
Jarak antar baris cukup longgar
-
Goresan pena sedang, tidak terlalu tebal dan tidak
terlalu tipis, dengan tinta berwarna biru tua
-
Sangat rapi, tidak ada coretan-coretan karena
kesalahan penulisan
b.
Penulis II (Purbadipura):
-
Ukuran font agak kecil bila dibandingkan
dengan tulisan penulis I
-
Jarak antar huruf agak renggang
-
Bentuk huruf ngetumbar miring ke kanan
-
Tulisan jelas tetapi agak susah dibaca
-
Jarak antar baris cukup longgar
-
Goresan pena sangat tipis dengan tinta berwarna
coklat, kecuali pada halaman 74a-74i, goresan pena terlalu tebal dengan tinta
berwarna hitam pekat
-
Kurang begitu rapi, banyak sekali coretan-coretan
karena kesalahan penulisan, banyak kata dan kalimat yang disisipkan karena
susunan kalimat dirasa kurang oleh penulis. Kata dan kalimat tambahan tersebut
ditempatkan di bagian margin (kanan, kiri, atas dan bawah halaman teks).
Pungtuasi
atau tanda baca yang peneliti temukan di dalam teks SM ada beberapa bentuk,
yaitu:
a.
Dalam
penulisan Jawa, tanda ini dikenal dengan istilah “pada lingsa”, fungsinya sebagai tanda
berhenti (tepatnya jeda) pada kata, frasa dan klausa di dalam kalimat. Dalam
bahasa Indonesia dikenal dengan istilah tanda “koma” dalam suatu kalimat.
Fungsi tanda
ini di dalam teks SM: tidak hanya sebagai tanda jeda suatu kata, frasa dan
klausa di dalam kalimat tetapi juga sebagai tanda berhenti kalimat itu sendiri.
Sehingga tanda berhenti antara kata, frasa, klausa dan kalimat di dalam teks SM
ini tidak ada pembedaan tanda, keduanya sama. Kemungkinan besar pembaca akan
merasa cukup kesulitan ketika membaca dan memahami teks SM ini.
b.
Dalam
penulisan Jawa, tanda ini dikenal dengan istilah “pada lungsi”, berfungsi sebagai tanda
berhenti suatu kalimat. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah tanda
“titik” dalam suatu kalimat.
Fungsi tanda
ini di dalam teks SM:
-
sebagai tanda berhenti suatu kalimat, tetapi
fungsi ini sedikit sekali pengaplikasiannya, peneliti temukan hanya ada di
halaman 24, 28, dan 31
-
sebagai tanda petik dalam kalimat langsung
(kalimat langsung dari kutipan teks dari naskah lain di luar teks SM)
-
untuk mengapit kutipan teks dari naskah lain di
luar teks SM
-
dipakai sekali sebagai tanda berhenti ketika
menuliskan judul teks SM
c.
Fungsi tanda
ini di dalam teks SM adalah:
-
untuk mengungkapkan persamaan kata (SM: 14 &
15)
-
untuk mengungkapkan maksud dari suatu kata
tertentu (SM: 34)
d.
Fungsi tanda
“titik dua” di dalam teks SM ini adalah:
-
dipakai pada akhir sutau pernyataan lengkap yang
diikuti rangkaian atau pemerian
-
dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan
pemerian
e.
Tanda yang
mirip dengan huruf “L” ini dalam teks SM berfungsi untuk menandai adanya
kekurangan teks. Penulisannya, tanda ini diletakkan pada bagian bawah teks yang
kurang, kemudian teks tambahannya diletakkan pada daerah margin bagian kiri.
f.
Tanda yang mirip dengan huruf “T” ini dalam teks SM
mempunyai fungsi yang sama dengan tanda sebelumnya, tanda yang mirip dengan
huruf “L”, yaitu sebagai tanda untuk menandai adanya kekurangan teks. Penulisannya, tanda ini diletakkan di
samping teks yang kurang, kemudian teks tambahannya diletakkan di daerah margin
bagian kanan.
g.
Tanda yang mirip dengan huruf “F” ini dalam teks SM
mempunyai fungsi yang sama dengan tanda sebelumnya, tanda yang mirip dengan
huruf “L” dan huruf “T”, yaitu sebagai tanda untuk menandai adanya kekurangan
teks. Penulisannya, tanda ini diletakkan
di samping teks yang kurang, kemudian teks tambahannya diletakkan di daerah
margin bagian kanan.
h.
Tanda ini
dalam teks SM berfungsi sebagai tanda yang mengisyaratkan bahwa kata yang
hendak ditulis sama dengan kata diatasnya, sehingga kata yang tersebut tidak
perlu ditulis kembali, cukup dengan menuliskan tanda ini.
(16)
Umur naskah
Naskah ini dibuat pada tanggal 28 Sura tahun Jimakir
1858 atau 28 Juli 1927. Tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa naskah ini
adalah naskah salinan. Informasi
yang penulis temukan di halaman 37 tentang penulis dan pengarangnya, mengandung
maksud bahwa pengarang meminta kepada juru tulis untuk menuliskan teks
karangannya. Hal ini dikuatkan dengan adanya tanda semacam tanda-tangan dari
pengarang langsung. Jadi umur naskah SM sampai tahun ini (2009) adalah
82 tahun.
(17)
Ikhtisar teks/ cerita
Teks SM yang berbentuk teks dialog ini, mengisahkan dua
orang, yakni seorang kyai dan seorang murid, yang sedang berdialog membahas
tentang etika hidup bermasyarakat dan kepemimpinan. Dialog terjadi di rumah kyai. Dialog antara kyai
dan murid ini terjadi dalam 4 kali dialog dengan tema dialog yang berbeda-beda,
berikut uraiannya:
a.
Dialog I (SM: 1-16)
Berisi
tentang etika hidup bermasyarakat bagi seorang pemimpin dalam lingkup keluarga,
tetangga, bawahan, dan hubungan dengan pihak luar (8 ajaran kepemimipinan).
Kepada keluarga dan sanak saudaranya dia harus dekat, mencintai keluarga dan
sanak saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, tidak ada rasa rikuh
pakewuh. Jika ada dari anggota keluarga atau sanak saudaranya yang
melakukan kesalahan, tidak langsung dimarahi dengan semena-mena, hadapi dengan
kelembutan dan kepala dingin. Jika terbukti bersalah, jangan langsung memarahinya di depan orang banyak.
Pilihlah moment yang tepat untuk menegurnya, disampaikan dengan penuh
kelembutan dan kesabaran. Memberikan nasehat secukupnya sesuai dengan kesalahan
yang telah dilakukan. Dalam menegur jangan sampai berlebihan sampai
menjatuhkan wibawa dan reputasi sebagai pemimpin keluarga.
Kepada para abdinya, seorang pemimpin harus memberikan
kepahaman akan tugas dan kewajibannya, selalu diingatkan agar jangan sampai
mengkhianati pekerjaan dan kewajibannya. Pemimpin yang baik harus memperhatikan
kesejahteraan abdi-nya, (kebutuhannya) jangan sampai ada yang
terlantarkan. Membangun hubungan yang baik dengan abdi-nya, tidak
sewenang-wenang (unsur senioritas). Berlaku seadil-adilnya terhadap para abdi
yang terbukti melakukan kesalahan, memberikan ganjaran/ hukuman sesuai dengan
kadar kesalahan yang telah dilakukan.
Kepada tetangganya, pemimpin yang baik harus
senantiasa menjaga hubungan baik dengan orang lain, baik itu yang muda maupun
yang tua. Ketika bermusyawarah atau berdiskusi, tidak tergesa-gesa untuk
menyanggah pendapat orang lain melainkan didengarkan dahulu baik-baik, dicerna
baru kemudian ditanggapi dengan bahasa yang baik dan santun, jangan sampai
mengecewakan pihak yang berpendapat.
Untuk itu, ada 8 hal yang harus dipahami oleh
seorang pemimpin, yakni:
1) Kuwasa berarti wewenang yang dimiliki untuk
memutuskan segala sesuatunya secara bijak.
2) Purba berarti bertanggungjawab atas semua
permasalahan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya.
3) Wisesa berarti tegas terhadap siapapun untuk
senantiasa berbuat kebajikan.
4) Kukum berarti perlakuan hukum yang sama terhadap
siapapun.
5) Adil berarti bersikap adil terhadap siapapun,
sesuai dengan usaha yang telah dilakukan.
6) Paramarta berarti berhati lembut dan mempunyai sifat
belas kasihan terhadap siapapun, sabar dan pemaaf.
7) Dana berarti rajin berderma dengan pemberian
yang terbaik.
8) Pariksa berarti sungguh-sungguh ketika melakukan
proses pemantauan dan kontrol terhadap kinerja bawahannya, tidak didelegasikan
tetapi terjun langsung ke bawah.
b.
Dialog II (SM: 16-37)
Berisi
tentang keteladanan kepemimpinan dari para Nabi dan para sahabat Nabi yang
dikutip dari Serat Tajussalatin, yakni Nabi Adam, Nabi Musa, Nabi Yusuf,
Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
c.
Dialog III (SM: 53c-62)
Berisi
tentang deskripsi kondisi alam, yakni iklim dan cuaca yang terjadi saat itu
hubungannya dengan sikap penduduk (faktor sebab dan akibat).
d.
Dialog IV (SM: 71-90)
Berisi tentang keteladanan kepemimpinan raja-raja di
Jawa (Mataram, Surakarta, Yogyakarta)
mulai dari Ki Ageng Sela hingga PB VIII.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar