Senin, 18 November 2013

Deskripsi Naskah Serat Mudhatanya



1. Deskripsi Naskah  SERAT MUDHATANYA
            Deskripsi naskah adalah gambaran secara ringkas dan terperinci mengenai wujud fisik naskah maupun isi naskah dengan tujuan untuk mempermudah pengenalan terhadap naskah beserta konteks isinya. Deskripsi naskah yang dilakukan terhadap naskah yang menjadi objek penelitian ini berpedoman pada pendapat yang dikemukakan oleh Emuch Hermansoemantri (1986) yang disesuaikan dengan karakteristik naskah yang diteliti.
            Hal-hal yang diungkapkan dalam deskripsi naskah antara lain menyangkut informasi atau data mengenai: (1) judul naskah; (2) nomor naskah; (3) tempat penyimpanan naskah; (4) identitas pengarang/ penyalin; (5) manggala/ kolofon; (6) ukuran naskah; (7) ukuran teks; (8) tebal naskah/ jumlah halaman; (9) jumlah baris pada setiap halaman; (10) cara penulisan; (11) bahan naskah; (12) bahasa naskah; (13) bentuk teks; (14) huruf, aksara, tulisan; (15) keadaan naskah; (16) umur naskah; (17) ikhtisar teks/ cerita; dan (19) catatan lain. Berikut deskripsi lengkap naskah SM.
(1)   Judul naskah
Naskah ini tercatat dalam katalog T.E. Behrend, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta (1990), pada halaman 504, dengan judul Serat Mudatanya. Ketika dilakukan pengecekan langsung ke tempat penyimpanan naskah, judul pada cover luar naskah bertuliskan “Serat Moedatanya. Serat Kawontenanipoen Pergerakan Koemoenis” dan pada cover dalam naskah juga pada bagian jilidan luar bertuliskan “Moedatanya (Koemoenis)”.
Dua bentuk teks yang berbeda jika dihubungkan dengan dua judul naskah yang berbeda penulisannya pula, ada beberapa kemungkinan seperti berikut:
  1. Jika didasarkan pada judul di hard cover, dua teks yang berbeda bentuk memiliki judul masing-masing, yakni teks yang berbentuk prosa memiliki judul ”Serat Mudhatanya”, sedangkan teks yang berbentuk tembang macapat memiliki judul ”Serat Kawontenanipun Pergerakan Koemunis”, sehingga bisa dikatakan diantara keduanya berdiri sendiri.
  2. Jika didasarkan pada judul di bagian jilidan luar dan cover dalam, dua teks yang berbeda bentuk tersebut menjadi satu dalam satu judul, yakni judul Serat Mudhatanya, sehingga bisa dikatakan diantara keduanya saling berkaitan.
Setelah kedua teks ini dibaca lebih teliti lagi, ternyata di antara keduanya tidak mempunyai keterikatan. Keduanya saling berdiri sendiri dengan isi atau informasi yang dimiliki masing-masing. Teks yang berbentuk prosa termasuk dalam kategori naskah Jawa jenis piwulang, sedangkan teks yang berbentuk tembang macapat termasuk dalam kategori naskah Jawa jenis sejarah. Karena sasaran penelitian ini adalah naskah manuskrip jenis piwulang bukan sejarah, maka judul yang dipilih adalah Serat Mudhatanya. Dan judul Serat Kawontenanipun Pergerakan Koemunis merupakan judul milik teks lain yang berbentuk tembang macapat.
(2)   Nomor naskah
Dalam katalog T.E. Behrend, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta (1990) pada halaman 504, naskah ini terdaftar dengan nomor PB C56 dengan nomor rol film 112 no.10.
(3)   Tempat penyimpanan naskah
Museum Sana Budaya Yogyakarta.
(4)   Identitas pengarang/ penyalin
Teks SM dikarang oleh R.T.Purbadipura, hal ini dapat dilihat dari kutipan halaman iv teks SM, yaitu:
“Sêrat Mudhatanya punika, ingkang ngarang Raden Tumênggung Purbadipura, Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong Têngên ing Surakarta Hadiningrat. Pangarangipun nalika dintên Kêmis Lêgi tanggal kaping 28 wulan Sura taun Jimakir angka 1858 utawi kaping 28 Juli taun angka 1927. Gagriya salêbêting nagari ing kampung Kratonan Kidul, ondêr dhistrik Sêrêngan, sakilène Pasar Gêmblêgan.”

Terjemahan:
”Serat Mudhatanya ini yang mengarang Raden Tumenggung Purbadipura, Abdi Dalem Bupati Anom Gedhong Tengen di keraton Surakarta Hadiningrat. Pembuatannya ketika hari Kamis Legi tanggal 28 bulan Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Bertempat tinggal di kampung Kratonan Kidul, distrik Serengan, sebelah barat Pasar Gemblegan.”

R.T.Purbadipura merupakan seorang Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong Têngên keraton Surakarta. Beliau hidup pada zaman pemerintahan Pakubuwana X. R.T.Purbadipura adalah abdi dalem kesayangan Pakubuwana X. Beliau seorang sastrawan yang sering menggubah perjalanan-perjalanan PB X dalam bentuk tembang. R.T.Purbadipura merupakan ayah dari R.Ng. Poerbacaraka. R.T.Purbadipura selain sebagai pengarang naskah SM ini juga sekaligus sebagai penulis teks SM, tetapi beliau hanya menulis pada halaman 53a-90, sedangkan halaman-halaman sebelumnya ditulis oleh seorang jurutulis bernama Wignyaukara. Hal ini bisa dilihat dari kutipan halaman 37 teks SM berikut:
”...................................................................
a    : inggih nggèr ndhèrèkakên wilujêng
b    : sampun kyai
a    : inggih
Ingkang ngarang Purbadipura
Ingkang nyêrat Wignyaukara”
Terjemahan:
“…………………..
a    : ya nak, silahkan. Semoga selamat.
b    : cukup sekian kyai
a    : ya
                                                      Yang mengarang Purbadipura
                                                      Yang menulis Wignyaukara”

Selain naskah Serat Mudhatanya, beliau juga aktif menulis lebih dari 15 judul. Sebagian besar bertemakan ajaran didaktik yang bernuansa Islam, etika hidup manusia dan sejarah. Karya-karya tersebut diantaranya Serat Sri Karongron, Serat Sri Papara, Serat Resi Danardana, Serat Sriyatna, Serat Sri Hascarya, Serat Sri Sekaringpuri, Serat Sri Dirgayuswa, Serat Sri Hutomo, Bab Dodotan, Cathetan Warni-warni, Essing Purbadipura, Kiyamat Kubra I-IV, dan lain-lain.

(5)   Manggala/ kolofon          
Naskah ini ditulis pada tahun 1858 Jawa. Sebagaimana yang tertulis pada manggala berikut ini:
“Sêrat Mudhatanya punika, ingkang ngarang Raden Tumênggung Purbadipura, Abdi Dalêm Bupati Anom Gêdhong Têngên ing Surakarta Hadiningrat. Pangarangipun nalika dintên Kêmis Lêgi tanggal kaping 28 wulan Sura taun Jimakir angka 1858 utawi kaping 28 Juli taun angka 1927. Gagriya salêbêting nagari ing kampung Kratonan Kidul, ondêr dhistrik Sêrêngan, sakilène Pasar Gêmblêgan.”

Terjemahan:
”Serat Mudhatanya ini yang mengarang Raden Tumenggung Purbadipura, Abdi Dalem Bupati Anom Gedhong Tengen di keraton Surakarta Hadiningrat. Pembuatannya ketika hari Kamis Legi tanggal 28 bulan Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Bertempat tinggal di kampung Kratonan Kidul, distrik Serengan, sebelah barat Pasar Gemblegan.”

(6)   Bahan naskah
Naskah SM dikemas dalam sebuah buku tulis cukup tebal dengan ketebalan 1,1 cm. Kertas yang dipakai kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna biru muda). Kertasnya cukup tebal. Terdapat garis bantu dengan pensil untuk batas margin.
Penulis menemukan ada 2 jenis kertas lain di luar kertas asli dari buku yang digunakan untuk menuliskan teks SM. Kertas-kertas tersebut tidak setebal kertas asli dari buku. Dua jenis kertas lain tersebut yang satu ditempelkan dengan kertas asli dari buku, yang satunya hanya disisipkan, tidak ditempelkan. Berarti dalam satu buku ada 3 jenis kertas, yaitu:
1)      Kertas asli dari buku itu sendiri: kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna biru muda), kualitas kerta cukup tebal, tiap halaman ada 25 baris, berukuran 21,2 cm x 16, 8 cm, warna kertas coklat muda agak kekuning-kuningan.
2)      Kertas yang ditempel: kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna hitam), tiap halaman ada 23 baris, kualitas kertas lebih tipis bila dibandingkan denga kertas asli dari buku, ukuran kertas sama dengan kertas yang asli dari buku, yaitu 21,2 cm x 16, 8 cm, warna kertas coklat muda agak kekuning-kuningan.
3)      Kertas yang disisipkan: kertas lokal, bergaris (garisnya berwarna hitam), kualitas kertas tipis, berwarna coklat (coklatnya lebih gelap bila dibandingkan dengan 2 jenis kertas di atas, berukuran 17,4 cm x 15,4 cm.
(7)   Keadaan naskah
Keadaan naskah secara fisik baik utuh/ lengkap, tidak ada lembaran-lembaran naskah yang hilang, ada beberapa lubang kecil di halaman bagian awal tetapi tidak sampai mengenai tulisan, dijilid, hard cover berwarna hitam bercorak keemasan. Ada sekitar 2-3 lembar di bagian pertengahan naskah yang disobek secara sengaja dan terlihat pemotongannya rapi untuk menempelkan kertas lain (kertas tambahan).
Teks pada halaman 63-70 (8 hal) dicoret dengan tanda silang oleh penulis sebagai penanda bahwa teks tersebut sudah tidak terpakai (tidak perlu dibaca).
(8)   Ukuran naskah
      Naskah SM berukuran panjang 21,2 cm dan lebar 16,8 cm.


(9)   Ukuran teks
Dari uraian tentang bahan naskah diatas, yakni ada 3 jenis kertas yang berbeda-beda, hal tersebut mempengaruhi ukuran teks. Sehingga ada 3 ukuran teks yang masing-masing juga berbeda. Berikut uraiannya:
1)      Kertas asli dari buku itu sendiri
Ukuran teks pada halaman ganjil (sebelah kiri)          : 17,8 cm x 11,2 cm
Ukuran teks pada halaman genap (sebelah kanan)     : 17,8 cm x 11,1 cm
   Margin atas           : 2 cm
   Margin bawah       : 1,4 cm
Ukuran margin kanan dan kiri antara halaman ganjil (halaman sebelah kiri) dengan halaman genap (halaman sebelah kanan) berbeda, yakni:
      Halaman ganjil (halaman sebelah kiri):
Margin kiri                  : 3,1 cm
Margin kanan              : 2,5 cm          
      Halaman genap (halaman sebelah kanan):
Margin kiri                  : 2,4 cm
Margin kanan              : 3,3 cm
2)      Kertas yang ditempel
Ukuran teks pada halaman ganjil (sebelah kiri)          : 16,4 cm x 11 cm
      Ukuran teks pada halaman genap (sebelah kanan)     : 16,4 cm x 10,8 cm    
   Margin atas           : 2,7 cm
   Margin bawah       : 2,1 cm
Ukuran margin kanan dan kiri antara halaman ganjil (halaman sebelah kiri) dengan halaman genap (halaman sebelah kanan) berbeda, yakni:
      Halaman ganjil (halaman sebelah kiri):
Margin kiri                  : 3,8 cm
Margin kanan              : 2 cm
      Halaman genap (halaman sebelah kanan):
Margin kiri                  : 2,1 cm
Margin kanan              : 3,9 cm
3)      Kertas yang disisipkan
      Panjang x lebar            : 17,1 cm x 15,4 cm    

  Margin atas             : 2,2 cm
  Margin bawah         : 1,5 cm
   Margin kiri          : 2,4 cm
   Margin kanan      : 3,2 cm

Pada kertas ini, teks ditulis hanya satu muka (tidak recto verso), maka tidak ada pembedaan antara halaman ganjil (halaman sebelah kiri) dengan halaman genap (halaman sebelah kanan).
(10)       Tebal naskah/ jumlah halaman
Tebal naskah SM berukuran 1,1 cm dengan jumlah halaman 130 halaman atau 65 lembar, berikut keterangannya:
Tabel 4.1 Tabel ketebalan naskah SM
Naskah
Halaman
Jumlah halaman
Serat Mudhatanya (prosa berbentuk dialog)
i-xi
11 hal
1-37
37 hal
53a, 53b, 53c
3 hal
54-57
4 hal
58a, 58b
2 hal
59-74
16 hal
74a-74i (satu muka, tidak recto verso)
9 hal x 2 : 18 hal
75-90
16 hal
Teks lain: Serat Kawontenanipun Pergerakan Komunis (berbentuk tembang macapat)
38-52
15 hal

Lembaran sisa (tidak ditulisi)
8 hal
Total halaman
130 hal

(11)       Jumlah baris pada setiap halaman
Jumlah baris pada setiap halaman rata-rata 24 baris:
a. SM 1-37 (penulis Wignyaukara)           : 24 baris
b. SM 53a-90 (penulis R.T. Purbadipura) : 21-22 baris
(12)       Cara penulisan
Penulisan teks pada setiap halaman ditulis secara bolak-balik, atau yang lebih dikenal dengan sistem recto verso, yaitu lembaran-lembaran naskah yang ditulisi pada kedua halaman muka dan belakang. Selain itu hanya beberapa halaman yang ditulis secara satu muka (tidak recto verso), yaitu pada halaman 74a sampai 74i. Ditulis satu muka karena kualitas kertasnya cukup tipis dan tinta yang dipakai sangat tebal berwarna hitam pekat. Sehingga kecil kemungkinan teks pada halaman tersebut ditulis secara recto verso.
Teks ditulis ke arah lebarnya, artinya teks ditulis sejajar dengan lebar lembaran naskah, ditulis dari kiri ke kanan. 
Penomoran halaman menggunakan 2 jenis angka, yaitu:
a.       Angka Jawa: pada halaman 1-74 dan 75-90, terletak di sebelah atas tengah.
b.      Angka Arab: pada halaman 74a-74i, terletak di sebelah atas pojok kanan, kemungkinan besar penomoran ini adalah tambahan dari pembaca karena warna tinta teks dengan nomor halaman berbeda.
(13)       Bahasa naskah
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Baru, ragam krama dan ngoko, disisipi oleh bahasa Arab. Bahasa naskah cukup mudah dipahami oleh masyarakat pembaca saat ini.
(14)       Bentuk teks
          Teks SM ditulis dalam bentuk prosa berupa teks dialog.
(15)       Huruf, aksara, tulisan
          Huruf yang dipakai ada 3 macam, yaitu:
a.       Huruf Jawa carik: digunakan untuk menuliskan teks secara keseluruhan.
b.      Huruf Arab: hanya digunakan ketika menuliskan kata “Allah”.
c.       Huruf Latin: hanya digunakan ketika menuliskan icon kedua tokoh dalam teks yang sedang berdialog.
Karena teks SM ini ditulis oleh 2 penulis, maka bentuk tulisannya berbeda, yaitu:
a.       Penulis I (Wignyaukara):
-          Ukuran font sedang
-          Jarak antar huruf rapat
-          Bentuk huruf ngetumbar miring ke kanan
-          Tulisan jelas dan mudah dibaca
-          Jarak antar baris cukup longgar
-          Goresan pena sedang, tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis, dengan tinta berwarna biru tua
-          Sangat rapi, tidak ada coretan-coretan karena kesalahan penulisan

b.      Penulis II (Purbadipura):
-          Ukuran font agak kecil bila dibandingkan dengan tulisan penulis I
-          Jarak antar huruf agak renggang
-          Bentuk huruf ngetumbar miring ke kanan
-          Tulisan jelas tetapi agak susah dibaca
-          Jarak antar baris cukup longgar
-          Goresan pena sangat tipis dengan tinta berwarna coklat, kecuali pada halaman 74a-74i, goresan pena terlalu tebal dengan tinta berwarna hitam pekat
-          Kurang begitu rapi, banyak sekali coretan-coretan karena kesalahan penulisan, banyak kata dan kalimat yang disisipkan karena susunan kalimat dirasa kurang oleh penulis. Kata dan kalimat tambahan tersebut ditempatkan di bagian margin (kanan, kiri, atas dan bawah halaman teks).
Pungtuasi atau tanda baca yang peneliti temukan di dalam teks SM ada beberapa bentuk, yaitu:
a.        
Dalam penulisan Jawa, tanda ini dikenal dengan istilah  pada lingsa”, fungsinya sebagai tanda berhenti (tepatnya jeda) pada kata, frasa dan klausa di dalam kalimat. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah tanda “koma” dalam suatu kalimat.
Fungsi tanda ini di dalam teks SM: tidak hanya sebagai tanda jeda suatu kata, frasa dan klausa di dalam kalimat tetapi juga sebagai tanda berhenti kalimat itu sendiri. Sehingga tanda berhenti antara kata, frasa, klausa dan kalimat di dalam teks SM ini tidak ada pembedaan tanda, keduanya sama. Kemungkinan besar pembaca akan merasa cukup kesulitan ketika membaca dan memahami teks SM ini.
b.       
Dalam penulisan Jawa, tanda ini dikenal dengan istilah  pada lungsi”, berfungsi sebagai tanda berhenti suatu kalimat. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah tanda “titik” dalam suatu kalimat.
Fungsi tanda ini di dalam teks SM:
-          sebagai tanda berhenti suatu kalimat, tetapi fungsi ini sedikit sekali pengaplikasiannya, peneliti temukan hanya ada di halaman 24, 28, dan 31
-          sebagai tanda petik dalam kalimat langsung (kalimat langsung dari kutipan teks dari naskah lain di luar teks SM)
-          untuk mengapit kutipan teks dari naskah lain di luar teks SM
-          dipakai sekali sebagai tanda berhenti ketika menuliskan judul teks SM
c.        
Fungsi tanda ini di dalam teks SM adalah:
-          untuk mengungkapkan persamaan kata (SM: 14 & 15)
-          untuk mengungkapkan maksud dari suatu kata tertentu (SM: 34)
d.        
Fungsi tanda “titik dua” di dalam teks SM ini adalah:
-          dipakai pada akhir sutau pernyataan lengkap yang diikuti rangkaian atau pemerian
-          dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian
e.        
Tanda yang mirip dengan huruf “L” ini dalam teks SM berfungsi untuk menandai adanya kekurangan teks. Penulisannya, tanda ini diletakkan pada bagian bawah teks yang kurang, kemudian teks tambahannya diletakkan pada daerah margin bagian kiri.
f.      
Tanda yang mirip dengan huruf “T” ini dalam teks SM mempunyai fungsi yang sama dengan tanda sebelumnya, tanda yang mirip dengan huruf “L”, yaitu sebagai tanda untuk menandai adanya kekurangan teks. Penulisannya, tanda ini diletakkan di samping teks yang kurang, kemudian teks tambahannya diletakkan di daerah margin bagian kanan.

g.     
Tanda yang mirip dengan huruf “F” ini dalam teks SM mempunyai fungsi yang sama dengan tanda sebelumnya, tanda yang mirip dengan huruf “L” dan huruf “T”, yaitu sebagai tanda untuk menandai adanya kekurangan teks. Penulisannya, tanda ini diletakkan di samping teks yang kurang, kemudian teks tambahannya diletakkan di daerah margin bagian kanan.
h.     
Tanda ini dalam teks SM berfungsi sebagai tanda yang mengisyaratkan bahwa kata yang hendak ditulis sama dengan kata diatasnya, sehingga kata yang tersebut tidak perlu ditulis kembali, cukup dengan menuliskan tanda ini.
(16)       Umur naskah
Naskah ini dibuat pada tanggal 28 Sura tahun Jimakir 1858 atau 28 Juli 1927. Tidak ada keterangan yang menyatakan bahwa naskah ini adalah naskah salinan. Informasi yang penulis temukan di halaman 37 tentang penulis dan pengarangnya, mengandung maksud bahwa pengarang meminta kepada juru tulis untuk menuliskan teks karangannya. Hal ini dikuatkan dengan adanya tanda semacam tanda-tangan dari pengarang langsung. Jadi umur naskah SM sampai tahun ini (2009) adalah 82 tahun.
(17)       Ikhtisar teks/ cerita
Teks SM yang berbentuk teks dialog ini, mengisahkan dua orang, yakni seorang kyai dan seorang murid, yang sedang berdialog membahas tentang etika hidup bermasyarakat dan kepemimpinan. Dialog terjadi di rumah kyai. Dialog antara kyai dan murid ini terjadi dalam 4 kali dialog dengan tema dialog yang berbeda-beda, berikut uraiannya:
a.      Dialog I (SM: 1-16)
              Berisi tentang etika hidup bermasyarakat bagi seorang pemimpin dalam lingkup keluarga, tetangga, bawahan, dan hubungan dengan pihak luar (8 ajaran kepemimipinan). Kepada keluarga dan sanak saudaranya dia harus dekat, mencintai keluarga dan sanak saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri, tidak ada rasa rikuh pakewuh. Jika ada dari anggota keluarga atau sanak saudaranya yang melakukan kesalahan, tidak langsung dimarahi dengan semena-mena, hadapi dengan kelembutan dan kepala dingin. Jika terbukti bersalah, jangan langsung memarahinya di depan orang banyak. Pilihlah moment yang tepat untuk menegurnya, disampaikan dengan penuh kelembutan dan kesabaran. Memberikan nasehat secukupnya sesuai dengan kesalahan yang telah dilakukan. Dalam menegur jangan sampai berlebihan sampai menjatuhkan wibawa dan reputasi sebagai pemimpin keluarga.
              Kepada para abdinya, seorang pemimpin harus memberikan kepahaman akan tugas dan kewajibannya, selalu diingatkan agar jangan sampai mengkhianati pekerjaan dan kewajibannya. Pemimpin yang baik harus memperhatikan kesejahteraan abdi-nya, (kebutuhannya) jangan sampai ada yang terlantarkan. Membangun hubungan yang baik dengan abdi-nya, tidak sewenang-wenang (unsur senioritas). Berlaku seadil-adilnya terhadap para abdi yang terbukti melakukan kesalahan, memberikan ganjaran/ hukuman sesuai dengan kadar kesalahan yang telah dilakukan.
              Kepada tetangganya, pemimpin yang baik harus senantiasa menjaga hubungan baik dengan orang lain, baik itu yang muda maupun yang tua. Ketika bermusyawarah atau berdiskusi, tidak tergesa-gesa untuk menyanggah pendapat orang lain melainkan didengarkan dahulu baik-baik, dicerna baru kemudian ditanggapi dengan bahasa yang baik dan santun, jangan sampai mengecewakan pihak yang berpendapat.
              Untuk itu, ada 8 hal yang harus dipahami oleh seorang pemimpin, yakni:
1)      Kuwasa berarti wewenang yang dimiliki untuk memutuskan segala sesuatunya secara bijak.
2)      Purba berarti bertanggungjawab atas semua permasalahan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya.
3)      Wisesa berarti tegas terhadap siapapun untuk senantiasa berbuat kebajikan.
4)      Kukum berarti perlakuan hukum yang sama terhadap siapapun.
5)      Adil berarti bersikap adil terhadap siapapun, sesuai dengan usaha yang telah dilakukan.
6)      Paramarta berarti berhati lembut dan mempunyai sifat belas kasihan terhadap siapapun, sabar dan pemaaf.
7)      Dana berarti rajin berderma dengan pemberian yang terbaik.
8)      Pariksa berarti sungguh-sungguh ketika melakukan proses pemantauan dan kontrol terhadap kinerja bawahannya, tidak didelegasikan tetapi terjun langsung ke bawah.

b.      Dialog II (SM: 16-37)
              Berisi tentang keteladanan kepemimpinan dari para Nabi dan para sahabat Nabi yang dikutip dari Serat Tajussalatin, yakni Nabi Adam, Nabi Musa, Nabi Yusuf, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, Nabi Muhammad, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
c.       Dialog III (SM: 53c-62)
              Berisi tentang deskripsi kondisi alam, yakni iklim dan cuaca yang terjadi saat itu hubungannya dengan sikap penduduk (faktor sebab dan akibat).
d.      Dialog IV (SM: 71-90)
Berisi tentang keteladanan kepemimpinan raja-raja di Jawa (Mataram, Surakarta, Yogyakarta) mulai dari Ki Ageng Sela hingga PB VIII.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar