TUGAS RESUME FONOLOGI BAHASA JAWA
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH FONOLOGI
YANG DIAMPU OLEH Dra. Dyah Padmaningsih, M. Hum
DISUSUN OLEH
DWI LESTARI (C0111012)
Judul buku : Linguistik Umum
Nama pengarang : Abdul Chaer
Tahun terbit : 1994
Penerbit :
PT. RINEKA CIPTA
Kota terbit : Jakarta
POKOK BAHASAN BUKU
1.
LINGUISTIK
SEBAGAI ILMU................... HAL
6-25
2.
OBJEK
LINGUISTIK : BAHASA................. HAL 30-82
3.
TATARAN
LINGUISTIK (1) : FONOLOGI…..HAL
100-137
4.
TATARAN
LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI…HAL
146-195
5.
TATARAN
LINGUISTIK (3) : SINTAKSIS.......HAL
206-274
6.
TATARAN
LINGUISTIK (4) : SEMANTIK...... HAL
284-324
7.
SEJARAH
DAN ALIRAN LINGUISTIK........... HAL
332-375
RESUME
FONOLOGI HALAMAN 100-137
POKOK
BAHASAN
TATARAN
LINGUISTIK (1) : FONOLOGI
1.
Fonetik
1.1
Alat-alat
ucap
1.2
Proses
Fonasi
1.3
Tulisan
Fonetik
1.4
Klasifikasi
bunyi
1.4.1
Vokal
1.4.2
Diftong
1.4.3
Konsonan
1.5
Unsur
Suprasegmental
1.5.1
Tekanan
1.5.2
Nada
1.5.3
Jeda
1.6
Silabel
2.
Fonemik
2.1
Identifikasi
Fonem
2.2
Alofon
2.3
Klasifikasi
Fonem
2.4
Khazana
Fonem
2.5
Perubahan
Fonem
2.5.1
Asimilasi
dan Desimilasi
2.5.2
Netralisasi
dan Arkifonem
2.5.3
Umlaut.
Ablaut, dan Harmoni Vokal
2.5.4
Kontraksi
2.5.5
Metatesis
dan Epentetis
TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI
Kalau kita
mendengar orang berbicara, entah berpidato atau bercakap-cakap maka kita akan
mendengar runtunan bunyi bahasa yang terus-menerus, kadang-kadang terdengar
suara menaik dan menurun, kadang-kadang terdengar hentian sejenak atau agak
lama, kadang-kadang terdengar tekanan keras atau lembut, dan kadang-kadang
terdengar pula suara pemanjangan dan suara biasa. Runtunan bunyi bahasa ini
dapat dianalisis atau disegmentasikan berdasarkan tingkatan kesatuannya yang
ditandai dengan hentian-hentian atau jeda yang terdapat pada runtunan bunyi
itu. Misalnya runtunan bunyi dalam bahasa Jawa berikut :
(1)
Wong
loro kuwi ninggalake ruang sidang masiyo rapat durung rampung.
Pada tahap pertama, runtunan bunyi itu
dapat disegmentasikan berdasarkan adanya jeda atau hentian yang paling besar
menjadi :
[wong loro kuwi
ninggalake ruang sidang]
[masiyo rapat
durung rampung]
Pada tahap kedua
disegmentasikan menjadi :
[wong loro kuwi]
[ninggalake
ruang sidang]
[masiyo]
[rapat durung
rampung]
Pada tahap ketiga
disegmentasikan menjadi :
[wong loro]
[kuwi]
[ninggalake]
[ruang sidang]
[masiyo]
[rapat]
[durung rampung]
Pada tahap
berikutnya, segmen-segmen runtunan bunyi itu dapat disegmentasikan lagi
sehingga kita sampai pada kesatuan-kesatuan runtunan bunyi yang disebut silabel
atau suku kata. Silabel merupakan satuan runtunan bunyi yang ditandai dengan
satu satuan bunyi yang paling nyaring, yang dapat disertai atau tidak oleh
sebuah bunyi lain di depannya, di belakangnya atau sekaligus di depan dan di
belakangnya. Adanya puncak kenyaringan atau sonoritas inilah yang menandai
silabel itu. Puncak kenyaringan itu biasanya ditandai dengan sebuah bunyi
vokal. Karena itu ada yang mengatakan untuk menentukan banyaknya silabel pada
sebuah runtunan bunyi maka dapat dilihat dari banyaknya huruf vokal. Misalnya
pada runtunan bunyi [rampung] terdapat 2 buah vokal, yaitu [a, u], maka karena
itu di dalamnya terdapat 2 buah silabel.
Bidang
linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan
bunyi-bunyi bahasa ini disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari
kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu. Menurut hierarki satuan bunyi yang
menjadi objek studinya fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secar
umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari
bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi
pembeda makna atau tidak, misalnya bunyi [i] pada kata [tilik] dan wedi.
Ketidaksamaan bunyi [i] pada kedua kata tersebut yang akan menjadi objek kajian
fonetik. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi
bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna,
misalnya kata [turu] dan [suru], perbedaan bunyi [t] dan [s] itu menyebabkan
berbedanya makna kata [turu] dan [suru] itu.
1.
Fonetik
Menurut urutan proses terjadinya bunyi
bahasa dibedakan adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris,
fonetik akustik, dan fonetik auditoris. Fonetik artikulatoris, disebut juga
fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat
bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana
bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa
sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Bunyi-bunyi itu diselidiki
frekuensi getarannya, amplitudonya, intensitsnya, dan timbrenya. Fonetik
auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh
telinga kita. Fonetik artikulatoris berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi
bahasa dihasilkan oleh alat ucap manusia. Fonetik akustik lebih berkenaan
dengan bidang fisika. Fonetik auditoris lebih berkenaan dengan bidang
kedokteran yaitu neurologi.
1.1
Alat
Ucap
Dalam fonetik
artikulatoris hal pertama yang harus dibicarakan adalah alay ucap manusia untuk
menghasilkan bunyi bahasa. Alat-alat ucap yang terlibat dalam produksi
Bunyi bahasa
adalah sebaga berikut :
1.
Paru-paru
(lung)
2.
Batang
tenggorok (trachea)
3.
Pangkal
tenggorok (larynx)
4.
Pita
suara (vocal cord)
5.
Krikoid
(cricoid)
6.
Tiroid
(thyroid) atau lekum
7.
Aritenoid
(arythenoid)
8.
Dinding
rongga kerongkongan (wall of pharynx)
9.
Epiglotis
(epiglottis)
10.
Akar
lidah (root of tongue)
11.
Pangkal
lidah (back of the tongue, dorsum)
12.
Tengah
lidah (middle of the tongue, medium)
13.
Daun
lidah (blade of the tongue, laminum)
14.
Ujung
lidah (tip of the tongue, apex)
15.
Anak
tekak (uvula)
16.
Langit-langit
lunak (soft palate, velum)
17.
Langit-langit
keras (hard palate, palatum)
18.
Gusi,
lengkung kaki gigi (alveloum)
19.
Gigi
atas (upper teeth, dentum)
20.
Gigi
bawah (lower teeth, dentum)
21.
Bibir
atas (upper lip, labium)
22.
Bibir
bawah (lower lip, labium)
23.
Mulut
(mouth)
24.
Rongga
mulut (oral cavity)
25.
Rongga
hidung (nasal cavity)
Bunyi-bunyi yang terjadi dalam alat ucap
tersebut biasanya dikenal dengan nama latin, misalnya bunyi gigi disebut bunyi
dental dan bunyi bibir disebut bunyi bilabial. Untuk memudahkan berikut ini
akan didaftarkan bentuk-bentuk ajektif untuk nama-nama yang sering muncul dalam
studi fonetik.
1.
Pangkal
tenggorok (larynx) - laringal
2.
Rongga
kerongkongan (pharynx) – faringal
3.
Pangkal
lidah (dorsum) – dorsal
4.
Tengah
lidah (medium) – medial
5.
Daun
lidah (laminum) – laminal
6.
Ujung
lidah (apex) – apikal
7.
Anak
tekak (uvula) – uvular
8.
Langit-langit
lunak (velum) – velar
9.
Langit-langit
keras (palatum) – palatal
10.
Gusi
(alveolum) – alveolar
11.
Gigi
(dentum) – dental
12.
Bibir
(labium) – labial
Selanjutnya, sesuai dengan bunyi bahasa
itu dihasilkan, maka harus kita
gabungkan istilah dari nama dua alat ucap tersebut. Misalnya labiodental yaitu
gabungan antara bibir bawah dengan gigi atas.
1.2
Proses
Fonasi
Terjadinya bunyi bahasa pada umumnya
dimulai dengan proses pemompaan udara keluar dari paru-paru melalui pangkal
tenggorok ke pangkal tenggorok, yaitu di dalam pita suara. Supaya udara bisa
terus keluar, pita itu harus berada dalam posisi terbuka. Setelah melalui pita
suara, yang merupakan jalan satu-satunya untuk bisa keluar, entah melalui
rongga mulut atau rongga hidung, udara tadi diteruskan ke udara bebas. Kalau udara
yang keluar dari paru-paru keluar tanpa mendapat hambatan apa-apa, maka kita
tidak akan mendengar suara apapun selain bunyi napas. Hambatan terhadap udara
atau arus udara yang keluar dari paru-paru itu dapat terjadi mulai dari tempat
yang paling dalam, yaitu pita suara, sampai tempat yang paling luar, yaitu
bibir atas dan bawah.
Berkenaan dengan hambatan dalam pita
suara ini perlu dijelaskan adanya empat macam posisi pita suara, yaitu (a) pita
suara terbuka lebar berarti tidak ada hambatan apa-apa, maka tidak ada bunyi
yang dihasilkan. (b) pita suara terbuka agak lebar maka akan menghasilkan bunyi
tak bersuara arus udara diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung. Disebut
bunyi tak bersuara karena tidak ada getaran apa-apa pada pita suara itu (c) pita
suara terbuka sedikit maka akan menghasilkan bunyi bersuara apabila arus udara
diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung. Disebut bunyi bersuara karena
terjadi getaran pada pita suara ketika arus udara melewatinya. (d) pita suara
tertutup rapat-rapat maka akan menghasilkan bunyi hamzah atau bunyi glotal.
Tempat bunyi bahasa ini terjadi atau
dihasilkan disebut tempat artikulasi; proses terjadinya disebut proses
artikulasi; dan alat-alat yang digunakan juga disebut artikulasi, atau lazim
disebut artikulator. Dalam proses artikulasi ini, biasanya, terlibat dua macam
artikulator yaitu artikulator aktif dan artikulator pasif. Yang dimaksud dengan
artikulator aktif adalah alat ucap yang bergerak atau digerakkan misalnya,
bibir bawah, ujung lidah, dan daun lidah. Sedangkan yang disebut artikulator
pasif adalah alat ucap yng tidak dapat bergerak, atau yang didekati oleh
artikulator aktif, misalnya bibir atas, gigi atas dan langit-langit keras.
Sebagai contoh kalau ujung lidah sebagai artikulator aktif, merapat pada gigi atas, yang menjadi
artikulator pasifnya maka akan terjadi bunyi apikodental, yaitu bunyi [t] dan
[d]. Keadaan atau cara bertemunya artikulator aktif dengan artikulator pasif
disebut striktur. Jenis striktur akan menghasilkan bunyi-bunyi yang berbeda.
Bunyi-bunyi tersebut adalah bunyi-bunyi tunggal sebagai hasil satu proses
artikulasi. Tetapi dalam berbagai bahasa ada yang dijumpai bunyi ganda.
Artinya, ada dua bunyi yang lahir dalam dua proses artikulasi berangkaian.
Dalam prosesnya, setelah berlangsung artikulasi pertama, yang menghasilkan
bunyi pertama, segera disusul oleh artikulasi kedua, yang menghasilkan bunyi
kedua. Artikulasi kedua ini sering disebut artikulasi sertaan, dan bunyi yang
dihasilkan juga disebut bunyi sertaan. Artikulasi kedua ini dapat berupa proses
yang disebut (a) labialisasi biasanya dilakukan dengan membulatkan bentuk
mulut, sesudah berakhirnya artikulasi pertama. (b) velarisasi, sebagai
artikulasi susulan, biasanya dilakukan dengan cara menaikkan belakang lidah ke
arah langit-langit lunak. (c) palatalisasi dilakukan dengan jalan menaikkan
bagian depan lidah sesudah terjadinya artikulasi pertama. (d) faringalisasi
dilakukan dengan jalan menarik lidah ke belakang ke arah dinding faring.
1.3
Tulisan
Fonetik
Dalam studi linguistik dikenal adanya
beberapa macam sistem tulisan dan ejaan, diantaranya tulisan fonetik untuk
ejaan fonetik, tulisan fonemis untuk ejaan fonemis, dan sistem aksara tertentu
(seperti aksara Latin, dan sebagainya) untuk ejaan ortografis. Dalam tulisan
fonetik setiap huruf atau lambang hanya digunakan untuk melambangkan satu bunyi
bahasa. Atau kalau dibalik, setiap bunyi bahasa sekecil apapun bedanya dengan
bunyi yang lain, akan juga dilambangkan hanya dengan satu huruf atau lambang.
Dalam fonetik bahasa Jawa memiliki 7 lambang untuk bunyi vokal yaitu a, i, u,
e,ǝ,
o, ͻ.
Bunyi vokal tersebut mempunyai variasi lagi yaitu untuk
/ i/ /I/, /u/ /ʊ/, /e/ /E/. Misalnya adalah kata bahasa Jawa
eman, kekep, dan elek. Meskipun tulisan ketiga kata tersebut sama namun
pengucapannya berbeda maka memiliki lambang fonetik yang berbeda pula yaitu :
eman [eman], kekep [kǝkǝp], dan elek
[ElE?]. Jadi dalam fonetik bahasa Jawa, setiap bunyi, baik segmental maupun
suprasegmental, juga dilambangkan secara akurat, meskipun perbedaannya hanya
sedikit.
1.4
Klasifikasi
Bunyi
Pada
umumnya bunyi bahasa pertama-tama dibedakan atas vokal dan konsonan . Bunyi
vokal dihasilkan dengan pita suara sedikit terbuka. Pita suara yang
terbuka sedikit ini menjadi bergetar
ketika dilalui arus udara yang dipompakan dari paru-paru. Selanjutnya arus
udara itu keluar melalui rongga mulut tanpa mendapat hambatan apa-apa, kecuali
bentuk rongga mulut yang berbentuk tertentu sesuai dengan jenis vokal yang
dihasilkan. Bunyi konsonan terjadi, setelah arus udara melewati pita suara yang
terbuka sedikit atau agak lebar, diteruskan ke rongga hidung atau rongga mulut
dengan mendapat hambatan-hambatan di tempat artikulasi tertentu.
1.4.1
Klasifikasi
Vokal
Bunyi
vokal biasanya diklasifikasikan berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut.
Posisi lidah bisa bersifat vertikal bisa bersifat horizontal. Secara vertikal
dibedakan adanya vokal tinggi, vokal tengah, dan vokal rendah. Secara
horizontal dibedakan adanya vokal depan dan vokal belakang. Kemudian menurut bentuk
mulut dibedakan adanya vokal bundar dan vokal tak bundar. Klasifikasi vokal
bahasa Jawa tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Medan
vokal
|
Depan
|
Tengah
|
Belakang
|
Posisi lidah dan mulut
|
|
Tidak bundar
|
Tidak bundar
|
bundar
|
|||
Atas
|
tinggi
|
i
I
|
|
u
|
Tertutup
Agak tertutup
Agak terbuka
terbuka
|
Rendah
|
|
||||
Tengah
|
tinggi
|
e
E
|
Ə
|
o
|
|
rendah
|
|
||||
Bawah
|
tinggi
|
a
|
|
||
rendah
|
1.4.2
Diftong
atau Vokal Rangkap
Disebut
diftong atau vokal rangkap karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi ini
pada bagian awalnya dan bagian akhirnya tidak sama. Ketidaksamaan itu
menyangkut tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta
strikturnya. Namun yang dihasilkan bukan dua bunyi, melainkan hanya satu bunyi
karena berada dalam satu silabel. Contoh diftong dalam bahasa Indonesia
adalah[au] seperti terdapat pada kata harimau dan kerbau. Apabila ada dua buah
vokal berurutan, namun yang pertama terletak pada suku kata yang berlainan dari
suku yang kedua maka di situ tidak ada diftong. Jadi vokal [au] pada kata bau
bukan diftong. Jadi syarat vokal rangkap dari sebuah kata bisa dikatakan
sebagai diftong adalah vokal rangkap tersebut jika dipengga harus terletak pada
satu suku kata. Diftong sering dibedakan berdasarkan letak atau posisi
unsur-unsurnya, sehingga dibedakan menjadi diftong naik dan diftong turun.
Disebut diftong naik karena bunyi pertama posisinya lebih rendah daripada bunyi
kedua, misal kata landai. Disebut diftong turun karena posisi bunyi pertama
lebih tinggi daripada posisi bunyi kedua, misal kata bahasa Inggris ear. Dalam
bahasa Indonesia hanya terdapat diftong naik, sedangkan dalam bahasa Jawa tidak
ada kata yang mengandung diftong.
1.4.3
Klasifikasi
Konsonan
Bunyi-bunyi
konsonan biasanya dibedakan berdasarkan tiga patokan atau kriteria, yaitu posisi
pita suara, tempat artikulasi, dan cara artikulasi. Berdasrkan posisi pita
suara dibedakan adanya bunyi bersuara dan bunyi tidak bersuara. Bunyi bersuara
terjadi jika pita suara terbuka sedikit sedangkan bunyi tidak bersuara terjadi
jika pita suara terbuka lebar. Yang termasuk bunyi bersuara antara lain [b],
[d], [g], [c]. Yang termasuk bunyi tak bersuara antara lain bunyi [s], [k],
[p], [t]. Berdasarkan tempat artikulasinya dalam bahasa Jawa dikenal antara
lain konsonan :
1.
Bilabial,
yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir, bibir bawah merapat pada
bibir atas. Yang termasuk konsonan bilabial ini adalah bunyi [p], [b], [m], dan
[w]. Bunyi [p], [b], dan [w] adalah bunyi oral sedangkan bunyi [m] adalah bunyi
nasal. Contohnya adalah :
Pari bapak margi weruh
[pari] [bapa?] [margi] [wǝruh]
2.
Konsonan
Dental dibagi menjadi
a.
Apikodental,
yaitu konsonan yang terjadi pada ujung lidah dengan gigi, yaitu bunyi [d] dan
[t].
Contoh : dimar andum babad
[dimar] [andʊm] [babad]
b.
Apikoalveolar,
yaitu konsonan yang terjadi pada ujung lidah dengan gusi, yaitu bunyi [n], [l],
dan [r].
Contoh : nabi rondha liman
[nabi] [ronDͻ] [liman]
c.
Apikopalatal,
yaitu konsonan yang terjadi pada ujung lidah dengan langit-langit keras, yaitu
bunyi [d] atau [dh] dan [t] atau [th].
Contoh : dhingklik rodha
[DiɳklI?] [roDͻ]
d.
Laminoalveolar,
yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi; dalam hal ini, daun lidah
menempel pada gusi. Yang termasuk konsonan laminoalveolar adalah bunyi [t] dan [d].
Namun dalam bahasa Jawa yang disebut laminoalveolar adalah bunyi [s].
Contoh : samir pasa tilas
[samIr] [pͻsͻ] [tilas]
e.
Labiodental,
yaitu konsonan yang terjadi pada gigi bawah dan bibir atas; gigi bawah merapat
pada bibir atas. Yang termasuk konsonan labiodental adalah bunyi [f] dan [v].
Dalam bahasa Jawa sangat jarang sekali ditemui kata yang mengandung konsonan
[f] dan [v].
3.
Bunyi
tenggorokan yaitu :
a.
Dorsovelar,
yaitu konsonan yang terjadi pada pangkal lidah dan velum atau langit-langit
lunak. Yang termasuk konsonan dorsovelar adalah bunyi [k] dan [g], sedangkan
dalam bahasa Jawa yang termasuk konsonan dorsovelar adalah bunyi [k], [g], dan
[ɳ].
Contoh : kuru griya ngombe
[kuru] [griyͻ] [ɳombe]
Berdasarkan
cara artikulasinya dapat dibedakan adanya konsonan :
a.
Hambat
(letupan, plosif, stop). Yang termasuk konsonan letupan ini antara lain bunyi
[p], [b], [t], [d], [k], dan [g].
b.
Geseran
atau frikatif. Contoh yang termasuk konsonan geseran adalah bunyi [f], [s] dan
[z]. Dalam bahasa Jawa yang termasuk konsonan geseran adalah bunyi [s] dan [h].
c.
Paduan
atau afrikatif. Cara ini merupakan paduan antara hambatan dan frikatif. Yang
termasuk konsonan paduan adalah bunyi [c], dan [j].
d.
Getaran
atau trill. Di sini artikulator aktif melakukan kontak beruntun dengan artikulator
pasif, sehingga getaran bunyi terjadi berulang-ulang. Contohnya adalah konsonan
[r].
e.
Sampingan
atau lateral. Di sini artikulator aktif menghambat aliran udara pada bagian
tengah mulut; lalu membiarkan udara keluara melalui samping lidah. Contohnya
adalah konsonan [l].
f.
Hampiran
atau aproksiman. Di sini artikulator aktif dan pasif membentuk ruang yang
mendekati posisi terbuka seperti dalam posisi vokal, tetapai tidak cukup sempit
utuk menghasilkan konsonan geseran. Oleh karena itu, bunyi yang dihasilkan
sering disebut semi vokal. Di sini hanya ada dua bunyi yaitu [w] dan [y].
Peta
konsonan bahasa Jawa
|
|
|
|
|||||||
|
BBl
|
LLD
|
AD
|
AA
|
AAP
|
FFP
|
DV
|
GL
|
|
|
Letup / stop
|
Bs
|
p
|
|
|
d
|
|
|
g
|
|
o
r
l
|
Tbs
|
b
|
|
|
t
|
|
|
k
|
?
|
||
Frikatip / desis
|
Bs
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tbs
|
|
|
|
s
|
|
|
|
h
|
||
Afrikatif
|
Bs
|
|
|
|
|
|
j
|
|
|
|
Tbs
|
|
|
|
|
|
c
|
|
|
||
Getar
|
Bs
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tbs
|
|
|
|
r
|
|
|
|
|
||
|
Bs
|
|
|
|
l
|
|
|
|
|
Dari
peta di atas kita dapat melihat bahwa [p] adalah konsonan hambat bilabial tak
bersuara; sedangkan [b] adalah konsonan hambat bilabial bersuara. Oleh karena
itu, dalam bahasa Jawa, kedua bunyi itu pada akhir silabel sering
bertukar-tukar tanpa membedakan maknanya. Contohnya kata anteb lazim dilafalkan
antep.
1.5
Unsur
Suprasegmental
Ujaran
merupakan suatu runtunan bunyi yang sambung bersambung terus menerus diselang-seling
dengan jeda singkat atau jeda agak singkat, disertai dengan keras lembut bunyi,
tinggi rendah bunyi, panjang pendek bunyi, dan sebagainya. Dalam arus ujaran
itu ada bunyi yang dapat disegmentasikan sehingga disebut bunyi
segmental;tetapi yang berkenaan dengan keras lembut, panjang pendek, dan jeda
bunyi tidak dapat disegmentasikan. Bagian dari bunyi tersebut disebut bunyi
suprasegmental atau prosodi. Dalam studi mengenai bunyi atau unsur
suprasegmental ini, biasanya dibedakan atas :
1.5.1
Tekanan
atau Stres
Tekanan
menyangkut masalah keras lunaknya bunyi, suatu bunyi segmental yang diucapkan
dengan arus udara yang kuata sehingga menyebabkan amplitudonya melebar, pasti
dibarengi dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang
diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat sehingga amplitudonya menyempit,
pasti dibarengi dengan tekanan lunak. Tekanan ini mungkin terjadi secara
sporadis, mungkin juga telah berpola; mungkin juga bersifat distingtif dapat
membedakan makna, mungkin juga tidak distingtif. Dalam bahasa Indonesia tidak
ada tekanan distingtif, misalnya kata orang tua bila tekanan dijatuhkan baik
pada unsur orang maupun tua maknanya tetap sama saja. Begitu pula dalam bahasa
Jawa kata wong tuwa bila tekanan dijatuhkan baik pada unsur wong maupun tuwa
maknanya tetap sama saja.
1.5.2
Nada
atau Pitch
Nada
berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi segmental
diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada
yang tinggi. Sebaliknya, kalau diucapkan dengan frekuensi getaran yang rendah,
tentu juga akan disertai dengan nada yang rendah. Dalam bahasa tonal seperti
bahasa Vietnam perbedaan tinggi rendahnya suatu nada dapat mempengaruhi arti
akan tetapi dalam bahasa Jawa tinggi rendahnya bahasa tidak mempengaruhi arti
karena bahasa Jawa bukan termasuk bahasa tonal.
1.5.3
Jeda
atau Persendian
Jeda
atau persendian berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar. Disebut jeda
karena hentian itu, dan disebut persendian karena di tempat perhentian itulah
terjadinya persambungan antara segmen yang satu dengan segmen yang lain. Jeda
ini dapat bersifat penuh dan dapat juga bersifat sementara. Biasanya dibedakan
adanya sendi dalam atau internal juncture dan sendi luar atau open juncture.
Sendi
dalam yang menunjukkan batas antara silabel satu dengan silabel yang lain
biasanya diberi tanda (+).
Misal
/ju + puk/
Sendi
luar menunjukkan batas yang lebih besar dari segmen silabel. Dalam hal ini
dibedakan :
1)
Jeda
antarkata dalam frase diberi tanda (/)
2)
Jeda
antarfrase dalam klausa diberi tanda ( //)
3)
Jeda
antar kalimat dalam wacana diberi tanda (#)
Tekanan
dan jeda dalam bahasa sangat penting, tidak terkecuali dengan bahasa Jawa.
Karena tekanan dan jeda itu dapat mengubah makna dalam kalimat. Misal :
#
buku // sejarah / anyar#
#
buku / sejarah // anyar #
1.6
Silabel
Silabel
atau suku kata adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran. Satu
silabel biasanya meliputi satu vokal, atau satu vokal dan satu konsonan atau
lebih. Dalam bahasa Jawa urutan silabelnya berjumlah enam yaitu : V, VK, KV,
KVK, KKV dan KKVK.
Contoh:
(V) iki (i-ki)
Silabel sebagai satuan
ritmis mempunyai puncak kenyaringan atau sonoritas yang biasanya jatuh pada
sebuah vokal. Kenyaringan atau sonoritas, yang menjadi puncak silabel karena
adanya ruang resonansi berupa rongga mulut, rongga hidung atau rongga-rongga
lain di kepala atau dada. Misalnya kata dalam bahasa Jawa lan. Bunyi [l] dan
[n] adalah buyi konsonan, sedangkan bunyi [a] pada kata itu menjadi puncak
silabis atau kenyaringan.
Dalam silabel terdapat
onset yaitu bunyi pertama pada sebuah silabel, misalnya huruf (s) pada kata
sumpah. Sedangkan yang dimaksud dengan koda adalah bunyi akhir pada sebuah
silabel, misal kata sumpah jika diuraikan menjadi [sum + pah], [m] pada akhir
suku kata pertama itu disebut koda. Selain dua hal tersebut terdapat juga yang
disebut interlude, yaitu bunyi yang sekaligus dapat menjadi onset dan koda pada
dua buah silabel yang berurutan. Contohnya
adalah :
Demonstrasi De-mon-stra-si(penyukuan pertama)
De-mons-tra-si
(penyukuan kedua)
Dari
pembahasan di atas kata demonstrasi disebut interlude karena huruf (s) selain
berkedudukan sebagai onset (pada penyukuan pertama) juga menjadi koda pada
penyukuan kedua.
2.
Fonemik
Di
depan telah disebutkan bahwa obyek penelitian fonetik adalah fon, yaitu bunyi bahasa tanpa memperhatikan bunyi bahasa
tersebut dapat membedakan makna kata atau tidak. Sedangkan objek penelitian
fonemik adalah fonem, yaitu bunyi bahasa
yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Dalam fonemik kita meneliti
apakah perbedaan bunyi itu berfungsi sebagai pembeda makna atau tidak.
2.1
Identifikasi
Fonem
Untuk
mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah
satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu
membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang
pertama. Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka bunyi
tersebut adalah sebuah fonem. Misalnya adalah kata bahasa Jawa berikut.
Suru turu
Lemper lemper
[lEmpEr] [lǝmpǝr]
Pada
kata pertama perbedaannya hanya terdapat pada bunyi pertama yaitu bunyi [s] dan
bunyi [t]. Sedangkan pada kata yang kedua perbedaannya hanya terdapat pada
bunyi [E] dan bunyi [ǝ].
Kedua bunyi tersebut menyebabkan kedua kata yang mirip berbeda maknanya. Dua
kata yang mirip seperti kata turu dan suru serta kata lemper [lEmpEr] dan
lemper [lǝmpǝr] disebut
kata-kata yang berkontras minimal, atau dua buah kata yang merupakan pasangan
minimal (minimal pair). Jadi, untuk membuktikan sebuah bunyi fonem atau bukan
haruslah dicari pasangan minimalnya. Namun kadang-kadang pasangan minimal ini
tidak memiliki jumlah bunyi yang persis sama.
Misalnya adalah kata dalam bahasa Jawa suruh dan suru juga merupakan pasangan
minimal. Sebab adanya bunyi [h] pada kata pertama dan tidak adanya bunyi [h]
pada kata kedua menyebabkan kedua kata itu berbeda maknanya. Fonem dalam suatu
bahasa ada yang memiliki beban fungsional yang tinggi adapula yang rendah.
Fonem dalam bahasa Jawa beban fungsionalnya tinggi karena sering ditemukan kata yang memiliki
pasangan minimal.
Contoh
: ala : apa adu : apu
Turu
: suru lara : dara
2.2
Alofon
Alofon
adalah bunyi-bunyi yang merupakan realisasi dari sebuah fonem atau alofon adalah
rubahnya bunyi yang tidak merubah makna.
Dalam bahasa Indonesia fonem /o/ memiliki dua buah alofon yaitu /o/ seperti
dalam kata toko dan /ͻ/
seperti dalam kata tokoh. Dalam bahasa Jawa pada umumnya vokal yang termasuk
alofon adalah bunyi [i] dan [I] serta bunyi [u] dan [ʊ].
Contoh
: [payung] ~ [payʊɳ] [luri?]
~ [lurI?]
Payung payung lurik lurik
Alofon-alofon
dari sebuah fonem mempunyai kemiripan fonetis. Artinya memiliki banyak kesamaan
dalam pengucapannya. Atau kalau kita lihat dalam peta fonem letaknya masih
berdekatan atau saling berdekatan. Tentang distribusinya ada yang bersifat
komplementer dan bersifat bebas. Yang dimaksud dengan distribusi komplementer
adalah distribusi yang tempatnya tidak bisa dipertukarkan, meskipun
dipertukarkan juga tidak akan menimbulkan perbedaan makna. Contohnya adalah
bunyi /o/ yang berada pada silabel terbuka diucapkan /o/ seperti pada kata
bodho dan ogak; dan yang terdapat pada silabel tertutup diucapkan /ͻ/ seperti pada
kata goroh [gͻrͻh]. Yang
dimaksud distribusi bebas adalah bahwa alofon-alofon itu boleh digunakan tanpa
persyaratan lingkungan bunyi tertentu. Contohnya adalah bunyi /o/ dan /ͻ/ adalah alofon
dari fonem /o/ maka ternyata pada kata obat
dapat dilafalkan /obat/ dan bisa juga /ͻbat/. Dalam hal
distribusi bebas ini ada bunyi oposisi yang jelas merupakan dua buah fonem yang
berbeda karena ada pasangan minimalnya, namun dalam pasangan yang lain hanya
merupakan variasi bebas. Contoh yang merupakan variasi bebas dalam bahasa Jawa
adalah :
Bae–
wae
Kegedhen
– gegedhen
Takon
– tekon
Lanang
– lenang
2.3
Klasifikasi
Fonem
Fonem
terbagi atas fonem vokal dan fonem konsonan. Fonem-fonem yang berupa bunyi,
yang didapat sebagai hasil segmentasi terhadap arus ujaran disebut fonem
segmental. Sebaliknya fonem yang berupa unsur suprasegmental disebut fonem
suprasegmental atau fonem nonsegmental. Jadi, pada tingkat fonemik, ciri-ciri
prosodi itu, seperti tekanan, durasi, dan nada bersifat fungsional alias dapat
membedakan makna. Dalam bahasa Jawa unsur suprasegmental terletak pada
intonasi. Misalnya adalah kalimat dheweke maca komik. Dengan memberi tekanan
pada dheweke berarti yang membaca bukan orang lain; dengan memberi tekanan pada maca berarti dia
tidak menulis atau mendengarkan; dan dengan memberi tekanan pada komik berarti
yang dibaca bukan koran. Begitu juga tanpa perubahan struktur, hanya dengan
memberi intonasi tanya maka akan berubah menjadi kalimat tanya dan dengan
memberi intonasi seruan maka akan menjadi kalimat seru.
2.4
Khazanah
Fonem
Yang
dimaksud khazanah fonem adalah banyaknya fonem yang terdapat dalam satu bahasa.
Dalam bahasa Jawa terdapat 7 fonem vokal yaitu : /a/, /ͻ/, /i/, /u/,
/e/, /ǝ/
dan /o/ sedangkan fonem konsonan terdiri dari 21 fonem konsonan yaitu : p, b,
m, w, th, dh, t, d, n, s, r, l, c, j, N, y, k, g, ɳ, h dan fonem
glotal ? yang merupakan alofon dari fonem /k/.
2.5
Perubahan
Fonem
Ucapan
sebuah fonem dapat berbeda-beda sebab tergantung pada lingkungannya, atau
fonem-fonem lain di sekitarnya. Misalnya adalah seperti pada uraian berikut :
Fonem
/i/ dalam bahasa Jawa jika dalam silabel terbuka akan berbunyi /i/
seperti pada kata berikut.
Ilu siji
Bali risi
Sedangkan
jika terdapat dalam fonem tertutup maka akan berbunyi /I/ seperti pada kata
berikut :
Aring
[arIɳ] alit
[alIt]
Jarik
[jari?] lurik
[luri?]
Fonem
/u/ jika terdapat dalam silabel terbuka maka akan berbunyi /u/ seperti pada
kata berikut :
Upa
[upͻ] kuku [kuku]
Ulam
[ulam] kayu [kayu]
Fonem
/u/ jika terdapat dalam silabel tertutup maka akan berbunyi /ʊ/ seperti pada
kata berikut :
Irung
[irʊɳ] kidung
[kidʊɳ]
Dumuk
[dumʊ?] sembur [sǝmbʊr]
2.5.1
Asimilasi
dan Desimilasi
Asimilasi adalah peristiwa berubahnya suatu bunyi
yang lain sebagai akibat dari bunyi yang ada di lingkungannya, sehingga bunyi
itu menjadi sama atau mempunyai ciri-ciri yang sama dengan bunyi yang
mempengaruhinya. Biasanya dibedakan asimilasi progresif. Regresif, dan resiprokal.
Pada asimilasi progresif bunyi yang diubah itu terletak pada belakang bunyi
yang mempengaruhinya. Misal kata dalam bahasa Jawa : stasiun. Bunyi /t/ yang
diucapkan secara apiko-dental, tetapi
/t/ diucapkan apiko-alveolar karena pengaruh bunyi /s/ di depannya. Pada
asimilasi regresif, bunyi yang diubah terletak di muka bunyi yang
mempengaruhinya. Misal kata dalam bahasa Jawa : pandan pandhan. /n/ dilafal apiko-alveolar tetapi ada nasal
sebelum /dh/ diucapkan apiko-palatal, perubahan tersebut secara progresif dari
bunyi letup palatal /dh/ . asimilasi resiprokal perubahan bunyi itu terjadi
pada kedua bunyi yang saling mempengaruhi. Dalam bahasa Jawa tidak ada
asimilasi resiprokal.
Desimilasi
merupakan perubahan bunyi karena pergantian tempat bunyi dan tidak merubah
makna kata.contoh kata dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut.
Lara-lara
lara-lapa
Lara ireng
rara ireng
2.5.2 Netralisasi
dan Arkifonem
Netralisasi
adalah alternasi fonem akibat pengaruh lingkungan atau pembatalan perbedaan
minimal fonem pada posisi tertentu. Contohnya adalah pasangan kata [sabtu] dan
[saptu], baik ditulis dengan huruf /b/ maupun /p/ maka tidak akan merubah
makna. Jadi disini fungsi pembeda makna menjadi batal. Meskipun sebenarnya
dalam kaidah ejaan yang betul adalah bentuk sabtu.
Arkifonem
merupakan satu fonem yang bisa berwujud lebih dari satu. Contohnya dalam bahasa
Jawa adalah kata anteb yang diucapkan /antep/ atau juga /anteb/; tetapi bila
diberi imbuhan –ing bentuknya menjadi antebing. Jadi, disini berlaku arkifonem
/B/ yang realisasinya bisa menjadi /b/ atau /p/.
2.5.3 Umlaut, Ablaut,
dan Harmoni Vokal
Umlaut
adalah perubahan vokal sedemikian rupa sehingga vokal itu diubah menjadi vokal
yang lebih tinggi sebagai akibat dari vokal berikutnya yang tinggi. Dalam
bahasa Jawa umlaut adalah rubahnya bunyi pada akhir suku kata karena adanya
imbuhan tertentu. Umlaut juga disebut sebagai harmoni vokal atau modifikasi
vokal. Contohnya dalam bahasa Jawa adalah bunyi [ʊ] dan [I] yang
termasuk bunyi renggang, tetapi setelah diberi imbuhan –e menjadi bunyi
kencang, yaitu suara [i] dan [u].
Contoh : [piriɳ] + -e
[piriɳe]
[timʊn] + -e [timune]
Ablaut
perubahan vokal bukan hanya terbatas pada peninggian vokal akibat pengaruh
bunyi berikutnya dan bukan pula terbatas hanya pada peninggian bunyi tetapi
juga pada pemanjangan, pemendekan atau penghilangan vokal. Contohnya dalam
bahasa Jawa adalah kata garing [garIɳ]
artinya kering, tapi biasa keringnya, tapi apabila pengucapannya garing berarti
maknanya sangat kering atau kering sekali.
2.5.4 Kontraksi
Dalam
percakapan yang cepat atau situasi informal seringkali penutur memperpendek
atau mempersingkat ujarannya. Contohnya adalah kata dalam bahasa Jawa ora weruh
diucapkan menjadi ra ruh.
2.5.5 Metatesis
dan Epentesis
Metatesis
adalah proses merubah urutan fonem yang terdapat dalam suatu kata. Lazimnya,
bentuk asli dan bentuk metatesisnya sama-sama terdapat dalam bahasa tersebut.
Contoh metatesis dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut.
Wira-wiri riwa-riwi
Bejad jebad
Epentesis
adalah penyisipan sebuah fonem tertentu di dalam sebuah kata. Contoh epentesis
dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut.
Akasa angkasa
Upama umpama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar