Jumat, 08 November 2013

Fonologi bahasa Jawa



TUGAS RESUME FONOLOGI BAHASA JAWA
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH FONOLOGI
YANG DIAMPU OLEH Dra. Dyah Padmaningsih, M. Hum
DISUSUN OLEH
DWI LESTARI (C0111012)

Judul buku                     : Linguistik Umum
Nama pengarang            : Abdul Chaer
Tahun terbit                   : 1994
Penerbit                         : PT. RINEKA CIPTA
Kota terbit                     : Jakarta

POKOK BAHASAN BUKU

1.                       LINGUISTIK SEBAGAI ILMU...................      HAL 6-25
2.                       OBJEK LINGUISTIK : BAHASA.................    HAL  30-82
3.                       TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI…..HAL 100-137
4.                       TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGIHAL 146-195
5.                       TATARAN LINGUISTIK (3) : SINTAKSIS.......HAL 206-274
6.                       TATARAN LINGUISTIK (4) : SEMANTIK...... HAL 284-324
7.                       SEJARAH DAN ALIRAN LINGUISTIK........... HAL 332-375

RESUME FONOLOGI HALAMAN 100-137

POKOK BAHASAN
TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI
1.           Fonetik
1.1                   Alat-alat ucap
1.2                   Proses Fonasi
1.3                   Tulisan Fonetik
1.4                   Klasifikasi bunyi
1.4.1             Vokal
1.4.2             Diftong
1.4.3             Konsonan
1.5                   Unsur Suprasegmental
1.5.1             Tekanan
1.5.2             Nada
1.5.3             Jeda
1.6                   Silabel
2.           Fonemik
2.1                   Identifikasi Fonem
2.2                   Alofon
2.3                   Klasifikasi Fonem
2.4                   Khazana Fonem
2.5                   Perubahan Fonem
2.5.1             Asimilasi dan Desimilasi
2.5.2             Netralisasi dan Arkifonem
2.5.3             Umlaut. Ablaut, dan Harmoni Vokal
2.5.4             Kontraksi
2.5.5             Metatesis dan Epentetis

TATARAN LINGUISTIK (1) : FONOLOGI
Kalau kita mendengar orang berbicara, entah berpidato atau bercakap-cakap maka kita akan mendengar runtunan bunyi bahasa yang terus-menerus, kadang-kadang terdengar suara menaik dan menurun, kadang-kadang terdengar hentian sejenak atau agak lama, kadang-kadang terdengar tekanan keras atau lembut, dan kadang-kadang terdengar pula suara pemanjangan dan suara biasa. Runtunan bunyi bahasa ini dapat dianalisis atau disegmentasikan berdasarkan tingkatan kesatuannya yang ditandai dengan hentian-hentian atau jeda yang terdapat pada runtunan bunyi itu. Misalnya runtunan bunyi dalam bahasa Jawa berikut :
(1)                    Wong loro kuwi ninggalake ruang sidang masiyo rapat durung rampung.
Pada tahap pertama, runtunan bunyi itu dapat disegmentasikan berdasarkan adanya jeda atau hentian yang paling besar menjadi :
[wong loro kuwi ninggalake ruang sidang]
[masiyo rapat durung rampung]
Pada tahap kedua disegmentasikan menjadi :
[wong loro kuwi]
[ninggalake ruang sidang]
[masiyo]
[rapat durung rampung]
Pada tahap ketiga disegmentasikan menjadi :
[wong loro]
[kuwi]
[ninggalake]
[ruang sidang]
[masiyo]
[rapat]
[durung rampung]
Pada tahap berikutnya, segmen-segmen runtunan bunyi itu dapat disegmentasikan lagi sehingga kita sampai pada kesatuan-kesatuan runtunan bunyi yang disebut silabel atau suku kata. Silabel merupakan satuan runtunan bunyi yang ditandai dengan satu satuan bunyi yang paling nyaring, yang dapat disertai atau tidak oleh sebuah bunyi lain di depannya, di belakangnya atau sekaligus di depan dan di belakangnya. Adanya puncak kenyaringan atau sonoritas inilah yang menandai silabel itu. Puncak kenyaringan itu biasanya ditandai dengan sebuah bunyi vokal. Karena itu ada yang mengatakan untuk menentukan banyaknya silabel pada sebuah runtunan bunyi maka dapat dilihat dari banyaknya huruf vokal. Misalnya pada runtunan bunyi [rampung] terdapat 2 buah vokal, yaitu [a, u], maka karena itu di dalamnya terdapat 2 buah silabel.
Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa ini disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secar umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi pembeda makna atau tidak, misalnya bunyi [i] pada kata [tilik] dan wedi. Ketidaksamaan bunyi [i] pada kedua kata tersebut yang akan menjadi objek kajian fonetik. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna, misalnya kata [turu] dan [suru], perbedaan bunyi [t] dan [s] itu menyebabkan berbedanya makna kata [turu] dan [suru] itu.
1.                       Fonetik
Menurut urutan proses terjadinya bunyi bahasa dibedakan adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik artikulatoris, fonetik akustik, dan fonetik auditoris. Fonetik artikulatoris, disebut juga fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan. Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getarannya, amplitudonya, intensitsnya, dan timbrenya. Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita. Fonetik artikulatoris berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi bahasa dihasilkan oleh alat ucap manusia. Fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika. Fonetik auditoris lebih berkenaan dengan bidang kedokteran yaitu neurologi.
1.1                   Alat Ucap
Dalam fonetik artikulatoris hal pertama yang harus dibicarakan adalah alay ucap manusia untuk menghasilkan bunyi bahasa. Alat-alat ucap yang terlibat dalam produksi
Bunyi bahasa adalah sebaga berikut :
1.                       Paru-paru (lung)
2.                       Batang tenggorok (trachea)
3.                       Pangkal tenggorok (larynx)
4.                       Pita suara (vocal cord)
5.                       Krikoid (cricoid)
6.                       Tiroid (thyroid) atau lekum
7.                       Aritenoid (arythenoid)
8.                       Dinding rongga kerongkongan (wall of pharynx)
9.                       Epiglotis (epiglottis)
10.                   Akar lidah (root of tongue)
11.                   Pangkal lidah (back of the tongue, dorsum)
12.                   Tengah lidah (middle of the tongue, medium)
13.                   Daun lidah (blade of the tongue, laminum)
14.                   Ujung lidah (tip of the tongue, apex)
15.                   Anak tekak (uvula)
16.                   Langit-langit lunak (soft palate, velum)
17.                   Langit-langit keras (hard palate, palatum)
18.                   Gusi, lengkung kaki gigi (alveloum)
19.                   Gigi atas (upper teeth, dentum)
20.                   Gigi bawah (lower teeth, dentum)
21.                   Bibir atas (upper lip, labium)
22.                   Bibir bawah (lower lip, labium)
23.                   Mulut (mouth)
24.                   Rongga mulut (oral cavity)
25.                   Rongga hidung (nasal cavity)
Bunyi-bunyi yang terjadi dalam alat ucap tersebut biasanya dikenal dengan nama latin, misalnya bunyi gigi disebut bunyi dental dan bunyi bibir disebut bunyi bilabial. Untuk memudahkan berikut ini akan didaftarkan bentuk-bentuk ajektif untuk nama-nama yang sering muncul dalam studi fonetik.
1.                       Pangkal tenggorok (larynx) - laringal
2.                       Rongga kerongkongan (pharynx) – faringal
3.                       Pangkal lidah (dorsum) – dorsal
4.                       Tengah lidah (medium) – medial
5.                       Daun lidah (laminum) – laminal
6.                       Ujung lidah (apex) – apikal
7.                       Anak tekak (uvula) – uvular
8.                       Langit-langit lunak (velum) – velar
9.                       Langit-langit keras (palatum) – palatal
10.                   Gusi (alveolum) – alveolar
11.                   Gigi (dentum) – dental
12.                   Bibir (labium) – labial
Selanjutnya, sesuai dengan bunyi bahasa itu dihasilkan,  maka harus kita gabungkan istilah dari nama dua alat ucap tersebut. Misalnya labiodental yaitu gabungan antara bibir bawah dengan gigi atas.
1.2                   Proses Fonasi
Terjadinya bunyi bahasa pada umumnya dimulai dengan proses pemompaan udara keluar dari paru-paru melalui pangkal tenggorok ke pangkal tenggorok, yaitu di dalam pita suara. Supaya udara bisa terus keluar, pita itu harus berada dalam posisi terbuka. Setelah melalui pita suara, yang merupakan jalan satu-satunya untuk bisa keluar, entah melalui rongga mulut atau rongga hidung, udara tadi diteruskan ke udara bebas. Kalau udara yang keluar dari paru-paru keluar tanpa mendapat hambatan apa-apa, maka kita tidak akan mendengar suara apapun selain bunyi napas. Hambatan terhadap udara atau arus udara yang keluar dari paru-paru itu dapat terjadi mulai dari tempat yang paling dalam, yaitu pita suara, sampai tempat yang paling luar, yaitu bibir atas dan bawah.
Berkenaan dengan hambatan dalam pita suara ini perlu dijelaskan adanya empat macam posisi pita suara, yaitu (a) pita suara terbuka lebar berarti tidak ada hambatan apa-apa, maka tidak ada bunyi yang dihasilkan. (b) pita suara terbuka agak lebar maka akan menghasilkan bunyi tak bersuara arus udara diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung. Disebut bunyi tak bersuara karena tidak ada getaran apa-apa pada pita suara itu (c) pita suara terbuka sedikit maka akan menghasilkan bunyi bersuara apabila arus udara diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung. Disebut bunyi bersuara karena terjadi getaran pada pita suara ketika arus udara melewatinya. (d) pita suara tertutup rapat-rapat maka akan menghasilkan bunyi hamzah atau bunyi glotal.
Tempat bunyi bahasa ini terjadi atau dihasilkan disebut tempat artikulasi; proses terjadinya disebut proses artikulasi; dan alat-alat yang digunakan juga disebut artikulasi, atau lazim disebut artikulator. Dalam proses artikulasi ini, biasanya, terlibat dua macam artikulator yaitu artikulator aktif dan artikulator pasif. Yang dimaksud dengan artikulator aktif adalah alat ucap yang bergerak atau digerakkan misalnya, bibir bawah, ujung lidah, dan daun lidah. Sedangkan yang disebut artikulator pasif adalah alat ucap yng tidak dapat bergerak, atau yang didekati oleh artikulator aktif, misalnya bibir atas, gigi atas dan langit-langit keras. Sebagai contoh kalau ujung lidah sebagai artikulator aktif,  merapat pada gigi atas, yang menjadi artikulator pasifnya maka akan terjadi bunyi apikodental, yaitu bunyi [t] dan [d]. Keadaan atau cara bertemunya artikulator aktif dengan artikulator pasif disebut striktur. Jenis striktur akan menghasilkan bunyi-bunyi yang berbeda. Bunyi-bunyi tersebut adalah bunyi-bunyi tunggal sebagai hasil satu proses artikulasi. Tetapi dalam berbagai bahasa ada yang dijumpai bunyi ganda. Artinya, ada dua bunyi yang lahir dalam dua proses artikulasi berangkaian. Dalam prosesnya, setelah berlangsung artikulasi pertama, yang menghasilkan bunyi pertama, segera disusul oleh artikulasi kedua, yang menghasilkan bunyi kedua. Artikulasi kedua ini sering disebut artikulasi sertaan, dan bunyi yang dihasilkan juga disebut bunyi sertaan. Artikulasi kedua ini dapat berupa proses yang disebut (a) labialisasi biasanya dilakukan dengan membulatkan bentuk mulut, sesudah berakhirnya artikulasi pertama. (b) velarisasi, sebagai artikulasi susulan, biasanya dilakukan dengan cara menaikkan belakang lidah ke arah langit-langit lunak. (c) palatalisasi dilakukan dengan jalan menaikkan bagian depan lidah sesudah terjadinya artikulasi pertama. (d) faringalisasi dilakukan dengan jalan menarik lidah ke belakang ke arah dinding faring.
1.3                   Tulisan Fonetik
Dalam studi linguistik dikenal adanya beberapa macam sistem tulisan dan ejaan, diantaranya tulisan fonetik untuk ejaan fonetik, tulisan fonemis untuk ejaan fonemis, dan sistem aksara tertentu (seperti aksara Latin, dan sebagainya) untuk ejaan ortografis. Dalam tulisan fonetik setiap huruf atau lambang hanya digunakan untuk melambangkan satu bunyi bahasa. Atau kalau dibalik, setiap bunyi bahasa sekecil apapun bedanya dengan bunyi yang lain, akan juga dilambangkan hanya dengan satu huruf atau lambang. Dalam fonetik bahasa Jawa memiliki 7 lambang untuk bunyi vokal yaitu a, i, u, e,ǝ, o, ͻ. Bunyi vokal tersebut mempunyai variasi lagi yaitu untuk
/ i/     /I/, /u/        /ʊ/, /e/        /E/. Misalnya adalah kata bahasa Jawa eman, kekep, dan elek. Meskipun tulisan ketiga kata tersebut sama namun pengucapannya berbeda maka memiliki lambang fonetik yang berbeda pula yaitu : eman [eman], kekep [kǝkǝp], dan elek [ElE?]. Jadi dalam fonetik bahasa Jawa, setiap bunyi, baik segmental maupun suprasegmental, juga dilambangkan secara akurat, meskipun perbedaannya hanya sedikit.
1.4                  Klasifikasi Bunyi
Pada umumnya bunyi bahasa pertama-tama dibedakan atas vokal dan konsonan . Bunyi vokal dihasilkan dengan pita suara sedikit terbuka. Pita suara yang terbuka   sedikit ini menjadi bergetar ketika dilalui arus udara yang dipompakan dari paru-paru. Selanjutnya arus udara itu keluar melalui rongga mulut tanpa mendapat hambatan apa-apa, kecuali bentuk rongga mulut yang berbentuk tertentu sesuai dengan jenis vokal yang dihasilkan. Bunyi konsonan terjadi, setelah arus udara melewati pita suara yang terbuka sedikit atau agak lebar, diteruskan ke rongga hidung atau rongga mulut dengan mendapat hambatan-hambatan di tempat artikulasi tertentu.
1.4.1                                   Klasifikasi Vokal
Bunyi vokal biasanya diklasifikasikan berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut. Posisi lidah bisa bersifat vertikal bisa bersifat horizontal. Secara vertikal dibedakan adanya vokal tinggi, vokal tengah, dan vokal rendah. Secara horizontal dibedakan adanya vokal depan dan vokal belakang. Kemudian menurut bentuk mulut dibedakan adanya vokal bundar dan vokal tak bundar. Klasifikasi vokal bahasa Jawa tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
Medan vokal

Depan
Tengah
Belakang
Posisi lidah dan mulut
Tidak bundar
Tidak bundar
bundar

Atas
tinggi
i
I

u
Tertutup
Agak tertutup
Agak terbuka

terbuka
Rendah


Tengah
tinggi
e
E

Ə
o
rendah




Bawah
tinggi
a

rendah

1.4.2                                   Diftong atau Vokal Rangkap
Disebut diftong atau vokal rangkap karena posisi lidah ketika memproduksi bunyi ini pada bagian awalnya dan bagian akhirnya tidak sama. Ketidaksamaan itu menyangkut tinggi rendahnya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strikturnya. Namun yang dihasilkan bukan dua bunyi, melainkan hanya satu bunyi karena berada dalam satu silabel. Contoh diftong dalam bahasa Indonesia adalah[au] seperti terdapat pada kata harimau dan kerbau. Apabila ada dua buah vokal berurutan, namun yang pertama terletak pada suku kata yang berlainan dari suku yang kedua maka di situ tidak ada diftong. Jadi vokal [au] pada kata bau bukan diftong. Jadi syarat vokal rangkap dari sebuah kata bisa dikatakan sebagai diftong adalah vokal rangkap tersebut jika dipengga harus terletak pada satu suku kata. Diftong sering dibedakan berdasarkan letak atau posisi unsur-unsurnya, sehingga dibedakan menjadi diftong naik dan diftong turun. Disebut diftong naik karena bunyi pertama posisinya lebih rendah daripada bunyi kedua, misal kata landai. Disebut diftong turun karena posisi bunyi pertama lebih tinggi daripada posisi bunyi kedua, misal kata bahasa Inggris ear. Dalam bahasa Indonesia hanya terdapat diftong naik, sedangkan dalam bahasa Jawa tidak ada kata yang mengandung diftong.
1.4.3                                   Klasifikasi Konsonan
Bunyi-bunyi konsonan biasanya dibedakan berdasarkan tiga patokan atau kriteria, yaitu posisi pita suara, tempat artikulasi, dan cara artikulasi. Berdasrkan posisi pita suara dibedakan adanya bunyi bersuara dan bunyi tidak bersuara. Bunyi bersuara terjadi jika pita suara terbuka sedikit sedangkan bunyi tidak bersuara terjadi jika pita suara terbuka lebar. Yang termasuk bunyi bersuara antara lain [b], [d], [g], [c]. Yang termasuk bunyi tak bersuara antara lain bunyi [s], [k], [p], [t]. Berdasarkan tempat artikulasinya dalam bahasa Jawa dikenal antara lain konsonan :
1.                      Bilabial, yaitu konsonan yang terjadi pada kedua belah bibir, bibir bawah merapat pada bibir atas. Yang termasuk konsonan bilabial ini adalah bunyi [p], [b], [m], dan [w]. Bunyi [p], [b], dan [w] adalah bunyi oral sedangkan bunyi [m] adalah bunyi nasal. Contohnya adalah :
Pari        bapak               margi               weruh
[pari]     [bapa?]             [margi]             [wǝruh]
2.                      Konsonan Dental dibagi menjadi
a.                       Apikodental, yaitu konsonan yang terjadi pada ujung lidah dengan gigi, yaitu bunyi [d] dan [t].
Contoh : dimar       andum        babad
               [dimar]     [andʊm]      [babad]
b.                     Apikoalveolar, yaitu konsonan yang terjadi pada ujung lidah dengan gusi, yaitu bunyi [n], [l], dan [r].
Contoh : nabi          rondha        liman
               [nabi]        [ronDͻ]       [liman]
c.                      Apikopalatal, yaitu konsonan yang terjadi pada ujung lidah dengan langit-langit keras, yaitu bunyi [d] atau [dh] dan [t] atau [th].
Contoh : dhingklik        rodha
               [DiɳklI?]         [roDͻ]
d.                     Laminoalveolar, yaitu konsonan yang terjadi pada daun lidah dan gusi; dalam hal ini, daun lidah menempel pada gusi. Yang termasuk konsonan laminoalveolar adalah bunyi [t] dan [d]. Namun dalam bahasa Jawa yang disebut laminoalveolar adalah bunyi [s].
Contoh : samir        pasa            tilas
              [samIr]      [pͻsͻ]          [tilas]
e.                      Labiodental, yaitu konsonan yang terjadi pada gigi bawah dan bibir atas; gigi bawah merapat pada bibir atas. Yang termasuk konsonan labiodental adalah bunyi [f] dan [v]. Dalam bahasa Jawa sangat jarang sekali ditemui kata yang mengandung konsonan [f] dan [v].
3.                      Bunyi tenggorokan yaitu :
a.                      Dorsovelar, yaitu konsonan yang terjadi pada pangkal lidah dan velum atau langit-langit lunak. Yang termasuk konsonan dorsovelar adalah bunyi [k] dan [g], sedangkan dalam bahasa Jawa yang termasuk konsonan dorsovelar adalah bunyi [k], [g], dan [ɳ].
Contoh : kuru         griya           ngombe
               [kuru]       [griyͻ]         [ɳombe]
Berdasarkan cara artikulasinya dapat dibedakan adanya konsonan :
a.                      Hambat (letupan, plosif, stop). Yang termasuk konsonan letupan ini antara lain bunyi [p], [b], [t], [d], [k], dan [g].
b.                      Geseran atau frikatif. Contoh yang termasuk konsonan geseran adalah bunyi [f], [s] dan [z]. Dalam bahasa Jawa yang termasuk konsonan geseran adalah bunyi [s] dan [h].
c.                      Paduan atau afrikatif. Cara ini merupakan paduan antara hambatan dan frikatif. Yang termasuk konsonan paduan adalah bunyi [c], dan [j].
d.                     Getaran atau trill. Di sini artikulator aktif melakukan kontak beruntun dengan artikulator pasif, sehingga getaran bunyi terjadi berulang-ulang. Contohnya adalah konsonan [r].
e.                      Sampingan atau lateral. Di sini artikulator aktif menghambat aliran udara pada bagian tengah mulut; lalu membiarkan udara keluara melalui samping lidah. Contohnya adalah konsonan [l].
f.                       Hampiran atau aproksiman. Di sini artikulator aktif dan pasif membentuk ruang yang mendekati posisi terbuka seperti dalam posisi vokal, tetapai tidak cukup sempit utuk menghasilkan konsonan geseran. Oleh karena itu, bunyi yang dihasilkan sering disebut semi vokal. Di sini hanya ada dua bunyi yaitu [w] dan [y].
Peta konsonan bahasa Jawa







BBl
LLD
AD
AA
AAP
FFP
DV
GL

Letup / stop
Bs
p


d


g


o

r




l
Tbs
b


t


k
?
Frikatip / desis
Bs








Tbs



s



h
Afrikatif
Bs





j


Tbs





c


Getar
Bs








Tbs



r





Bs



l





Dari peta di atas kita dapat melihat bahwa [p] adalah konsonan hambat bilabial tak bersuara; sedangkan [b] adalah konsonan hambat bilabial bersuara. Oleh karena itu, dalam bahasa Jawa, kedua bunyi itu pada akhir silabel sering bertukar-tukar tanpa membedakan maknanya. Contohnya kata anteb lazim dilafalkan antep.
1.5                  Unsur Suprasegmental
Ujaran merupakan suatu runtunan bunyi yang sambung bersambung terus menerus diselang-seling dengan jeda singkat atau jeda agak singkat, disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah bunyi, panjang pendek bunyi, dan sebagainya. Dalam arus ujaran itu ada bunyi yang dapat disegmentasikan sehingga disebut bunyi segmental;tetapi yang berkenaan dengan keras lembut, panjang pendek, dan jeda bunyi tidak dapat disegmentasikan. Bagian dari bunyi tersebut disebut bunyi suprasegmental atau prosodi. Dalam studi mengenai bunyi atau unsur suprasegmental ini, biasanya dibedakan atas :
1.5.1                                   Tekanan atau Stres
Tekanan menyangkut masalah keras lunaknya bunyi, suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang kuata sehingga menyebabkan amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat sehingga amplitudonya menyempit, pasti dibarengi dengan tekanan lunak. Tekanan ini mungkin terjadi secara sporadis, mungkin juga telah berpola; mungkin juga bersifat distingtif dapat membedakan makna, mungkin juga tidak distingtif. Dalam bahasa Indonesia tidak ada tekanan distingtif, misalnya kata orang tua bila tekanan dijatuhkan baik pada unsur orang maupun tua maknanya tetap sama saja. Begitu pula dalam bahasa Jawa kata wong tuwa bila tekanan dijatuhkan baik pada unsur wong maupun tuwa maknanya tetap sama saja.
1.5.2                                   Nada atau Pitch
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada yang tinggi. Sebaliknya, kalau diucapkan dengan frekuensi getaran yang rendah, tentu juga akan disertai dengan nada yang rendah. Dalam bahasa tonal seperti bahasa Vietnam perbedaan tinggi rendahnya suatu nada dapat mempengaruhi arti akan tetapi dalam bahasa Jawa tinggi rendahnya bahasa tidak mempengaruhi arti karena bahasa Jawa bukan termasuk bahasa tonal.
1.5.3                                   Jeda atau Persendian
Jeda atau persendian berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar. Disebut jeda karena hentian itu, dan disebut persendian karena di tempat perhentian itulah terjadinya persambungan antara segmen yang satu dengan segmen yang lain. Jeda ini dapat bersifat penuh dan dapat juga bersifat sementara. Biasanya dibedakan adanya sendi dalam atau internal juncture dan sendi luar atau open juncture.
Sendi dalam yang menunjukkan batas antara silabel satu dengan silabel yang lain biasanya diberi tanda (+).
Misal /ju + puk/
Sendi luar menunjukkan batas yang lebih besar dari segmen silabel. Dalam hal ini dibedakan :
1)                     Jeda antarkata dalam frase diberi tanda (/)
2)                     Jeda antarfrase dalam klausa diberi tanda ( //)
3)                     Jeda antar kalimat dalam wacana diberi tanda (#)
Tekanan dan jeda dalam bahasa sangat penting, tidak terkecuali dengan bahasa Jawa. Karena tekanan dan jeda itu dapat mengubah makna dalam kalimat. Misal :
# buku // sejarah / anyar#
# buku / sejarah // anyar #
1.6                  Silabel
Silabel atau suku kata adalah satuan ritmis terkecil dalam suatu arus ujaran. Satu silabel biasanya meliputi satu vokal, atau satu vokal dan satu konsonan atau lebih. Dalam bahasa Jawa urutan silabelnya berjumlah enam yaitu : V, VK, KV, KVK, KKV dan KKVK.
Contoh:  (V)             iki (i-ki)
Silabel sebagai satuan ritmis mempunyai puncak kenyaringan atau sonoritas yang biasanya jatuh pada sebuah vokal. Kenyaringan atau sonoritas, yang menjadi puncak silabel karena adanya ruang resonansi berupa rongga mulut, rongga hidung atau rongga-rongga lain di kepala atau dada. Misalnya kata dalam bahasa Jawa lan. Bunyi [l] dan [n] adalah buyi konsonan, sedangkan bunyi [a] pada kata itu menjadi puncak silabis atau kenyaringan.
Dalam silabel terdapat onset yaitu bunyi pertama pada sebuah silabel, misalnya huruf (s) pada kata sumpah. Sedangkan yang dimaksud dengan koda adalah bunyi akhir pada sebuah silabel, misal kata sumpah jika diuraikan menjadi [sum + pah], [m] pada akhir suku kata pertama itu disebut koda. Selain dua hal tersebut terdapat juga yang disebut interlude, yaitu bunyi yang sekaligus dapat menjadi onset dan koda pada dua buah silabel yang berurutan. Contohnya adalah :
Demonstrasi                      De-mon-stra-si(penyukuan pertama)
                                          De-mons-tra-si (penyukuan kedua)
Dari pembahasan di atas kata demonstrasi disebut interlude karena huruf (s) selain berkedudukan sebagai onset (pada penyukuan pertama) juga menjadi koda pada penyukuan kedua.

2.                      Fonemik
Di depan telah disebutkan bahwa obyek penelitian fonetik adalah fon, yaitu  bunyi bahasa tanpa memperhatikan bunyi bahasa tersebut dapat membedakan makna kata atau tidak. Sedangkan objek penelitian fonemik adalah fonem,  yaitu bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Dalam fonemik kita meneliti apakah perbedaan bunyi itu berfungsi sebagai pembeda makna atau tidak.
2.1                  Identifikasi Fonem
Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi fonem atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka bunyi tersebut adalah sebuah fonem. Misalnya adalah kata bahasa Jawa berikut.
Suru            turu
Lemper        lemper
[lEmpEr]     [lǝmpǝr]
Pada kata pertama perbedaannya hanya terdapat pada bunyi pertama yaitu bunyi [s] dan bunyi [t]. Sedangkan pada kata yang kedua perbedaannya hanya terdapat pada bunyi [E] dan bunyi [ǝ]. Kedua bunyi tersebut menyebabkan kedua kata yang mirip berbeda maknanya. Dua kata yang mirip seperti kata turu dan suru serta kata lemper [lEmpEr] dan lemper [lǝmpǝr] disebut kata-kata yang berkontras minimal, atau dua buah kata yang merupakan pasangan minimal (minimal pair). Jadi, untuk membuktikan sebuah bunyi fonem atau bukan haruslah dicari pasangan minimalnya. Namun kadang-kadang pasangan minimal ini tidak memiliki jumlah bunyi yang persis            sama. Misalnya adalah kata dalam bahasa Jawa suruh dan suru juga merupakan pasangan minimal. Sebab adanya bunyi [h] pada kata pertama dan tidak adanya bunyi [h] pada kata kedua menyebabkan kedua kata itu berbeda maknanya. Fonem dalam suatu bahasa ada yang memiliki beban fungsional yang tinggi adapula yang rendah. Fonem dalam bahasa Jawa beban fungsionalnya tinggi  karena sering ditemukan kata yang memiliki pasangan minimal.
Contoh : ala : apa          adu : apu
              Turu : suru       lara : dara

2.2                  Alofon
Alofon adalah bunyi-bunyi yang merupakan realisasi dari sebuah fonem atau alofon adalah rubahnya  bunyi yang tidak merubah makna. Dalam bahasa Indonesia fonem /o/ memiliki dua buah alofon yaitu /o/ seperti dalam kata toko dan /ͻ/ seperti dalam kata tokoh. Dalam bahasa Jawa pada umumnya vokal yang termasuk alofon adalah bunyi [i] dan [I] serta bunyi [u] dan [ʊ].
Contoh : [payung] ~ [payʊɳ]             [luri?] ~ [lurI?]
                Payung      payung                lurik      lurik
Alofon-alofon dari sebuah fonem mempunyai kemiripan fonetis. Artinya memiliki banyak kesamaan dalam pengucapannya. Atau kalau kita lihat dalam peta fonem letaknya masih berdekatan atau saling berdekatan. Tentang distribusinya ada yang bersifat komplementer dan bersifat bebas. Yang dimaksud dengan distribusi komplementer adalah distribusi yang tempatnya tidak bisa dipertukarkan, meskipun dipertukarkan juga tidak akan menimbulkan perbedaan makna. Contohnya adalah bunyi /o/ yang berada pada silabel terbuka diucapkan /o/ seperti pada kata bodho dan ogak; dan yang terdapat pada silabel tertutup diucapkan /ͻ/ seperti pada kata goroh [gͻrͻh]. Yang dimaksud distribusi bebas adalah bahwa alofon-alofon itu boleh digunakan tanpa persyaratan lingkungan bunyi tertentu. Contohnya adalah bunyi /o/ dan /ͻ/ adalah alofon dari fonem /o/ maka ternyata pada kata obat  dapat dilafalkan /obat/ dan bisa juga /ͻbat/. Dalam hal distribusi bebas ini ada bunyi oposisi yang jelas merupakan dua buah fonem yang berbeda karena ada pasangan minimalnya, namun dalam pasangan yang lain hanya merupakan variasi bebas. Contoh yang merupakan variasi bebas dalam bahasa Jawa adalah :
Bae– wae
Kegedhen – gegedhen
Takon – tekon
Lanang – lenang
2.3                  Klasifikasi Fonem
Fonem terbagi atas fonem vokal dan fonem konsonan. Fonem-fonem yang berupa bunyi, yang didapat sebagai hasil segmentasi terhadap arus ujaran disebut fonem segmental. Sebaliknya fonem yang berupa unsur suprasegmental disebut fonem suprasegmental atau fonem nonsegmental. Jadi, pada tingkat fonemik, ciri-ciri prosodi itu, seperti tekanan, durasi, dan nada bersifat fungsional alias dapat membedakan makna. Dalam bahasa Jawa unsur suprasegmental terletak pada intonasi. Misalnya adalah kalimat dheweke maca komik. Dengan memberi tekanan pada dheweke berarti yang membaca bukan orang lain;  dengan memberi tekanan pada maca berarti dia tidak menulis atau mendengarkan; dan dengan memberi tekanan pada komik berarti yang dibaca bukan koran. Begitu juga tanpa perubahan struktur, hanya dengan memberi intonasi tanya maka akan berubah menjadi kalimat tanya dan dengan memberi intonasi seruan maka akan menjadi kalimat seru.
2.4                  Khazanah Fonem
Yang dimaksud khazanah fonem adalah banyaknya fonem yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat 7 fonem vokal yaitu : /a/, /ͻ/, /i/, /u/, /e/, /ǝ/ dan /o/ sedangkan fonem konsonan terdiri dari 21 fonem konsonan yaitu : p, b, m, w, th, dh, t, d, n, s, r, l, c, j, N, y, k, g, ɳ, h dan fonem glotal ? yang merupakan alofon dari fonem /k/.
2.5                  Perubahan Fonem
Ucapan sebuah fonem dapat berbeda-beda sebab tergantung pada lingkungannya, atau fonem-fonem lain di sekitarnya. Misalnya adalah seperti pada uraian berikut :
 Fonem  /i/ dalam bahasa Jawa jika dalam silabel terbuka akan berbunyi /i/ seperti pada kata berikut.
Ilu               siji
Bali             risi
Sedangkan jika terdapat dalam fonem tertutup maka akan berbunyi /I/ seperti pada kata berikut :
Aring [arIɳ]     alit [alIt]
Jarik [jari?]        lurik [luri?]
Fonem /u/ jika terdapat dalam silabel terbuka maka akan berbunyi /u/ seperti pada kata berikut :
Upa [upͻ]    kuku [kuku]
Ulam [ulam]     kayu [kayu]
Fonem /u/ jika terdapat dalam silabel tertutup maka akan berbunyi /ʊ/ seperti pada kata berikut :
Irung [irʊɳ]                 kidung [kidʊɳ]
Dumuk [dumʊ?]         sembur [sǝmbʊr]

2.5.1                                   Asimilasi dan Desimilasi
Asimilasi adalah peristiwa berubahnya suatu bunyi yang lain sebagai akibat dari bunyi yang ada di lingkungannya, sehingga bunyi itu menjadi sama atau mempunyai ciri-ciri yang sama dengan bunyi yang mempengaruhinya. Biasanya dibedakan asimilasi progresif. Regresif, dan resiprokal. Pada asimilasi progresif bunyi yang diubah itu terletak pada belakang bunyi yang mempengaruhinya. Misal kata dalam bahasa Jawa : stasiun. Bunyi /t/ yang diucapkan secara apiko-dental, tetapi  /t/ diucapkan apiko-alveolar karena pengaruh bunyi /s/ di depannya. Pada asimilasi regresif, bunyi yang diubah terletak di muka bunyi yang mempengaruhinya. Misal kata dalam bahasa Jawa : pandan        pandhan.  /n/ dilafal apiko-alveolar tetapi ada nasal sebelum /dh/ diucapkan apiko-palatal, perubahan tersebut secara progresif dari bunyi letup palatal /dh/ . asimilasi resiprokal perubahan bunyi itu terjadi pada kedua bunyi yang saling mempengaruhi. Dalam bahasa Jawa tidak ada asimilasi resiprokal.
Desimilasi merupakan perubahan bunyi karena pergantian tempat bunyi dan tidak merubah makna kata.contoh kata dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut.
Lara-lara             lara-lapa
Lara ireng          rara ireng
2.5.2            Netralisasi dan Arkifonem
Netralisasi adalah alternasi fonem akibat pengaruh lingkungan atau pembatalan perbedaan minimal fonem pada posisi tertentu. Contohnya adalah pasangan kata [sabtu] dan [saptu], baik ditulis dengan huruf /b/ maupun /p/ maka tidak akan merubah makna. Jadi disini fungsi pembeda makna menjadi batal. Meskipun sebenarnya dalam kaidah ejaan yang betul adalah bentuk sabtu.
Arkifonem merupakan satu fonem yang bisa berwujud lebih dari satu. Contohnya dalam bahasa Jawa adalah kata anteb yang diucapkan /antep/ atau juga /anteb/; tetapi bila diberi imbuhan –ing bentuknya menjadi antebing. Jadi, disini berlaku arkifonem /B/ yang realisasinya bisa menjadi /b/ atau /p/.
         2.5.3         Umlaut, Ablaut, dan Harmoni Vokal
Umlaut adalah perubahan vokal sedemikian rupa sehingga vokal itu diubah menjadi vokal yang lebih tinggi sebagai akibat dari vokal berikutnya yang tinggi. Dalam bahasa Jawa umlaut adalah rubahnya bunyi pada akhir suku kata karena adanya imbuhan tertentu. Umlaut juga disebut sebagai harmoni vokal atau modifikasi vokal. Contohnya dalam bahasa Jawa adalah bunyi [ʊ] dan [I] yang termasuk bunyi renggang, tetapi setelah diberi imbuhan –e menjadi bunyi kencang, yaitu suara [i] dan [u].
Contoh : [piriɳ] + -e             [piriɳe]
                [timʊn] + -e          [timune]
Ablaut perubahan vokal bukan hanya terbatas pada peninggian vokal akibat pengaruh bunyi berikutnya dan bukan pula terbatas hanya pada peninggian bunyi tetapi juga pada pemanjangan, pemendekan atau penghilangan vokal. Contohnya dalam bahasa Jawa adalah kata garing [garIɳ] artinya kering, tapi biasa keringnya, tapi apabila pengucapannya garing berarti maknanya sangat kering atau kering sekali.
2.5.4        Kontraksi
Dalam percakapan yang cepat atau situasi informal seringkali penutur memperpendek atau mempersingkat ujarannya. Contohnya adalah kata dalam bahasa Jawa ora weruh diucapkan menjadi ra ruh.
2.5.5        Metatesis dan Epentesis
Metatesis adalah proses merubah urutan fonem yang terdapat dalam suatu kata. Lazimnya, bentuk asli dan bentuk metatesisnya sama-sama terdapat dalam bahasa tersebut. Contoh metatesis dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut.
Wira-wiri          riwa-riwi
Bejad               jebad
Epentesis adalah penyisipan sebuah fonem tertentu di dalam sebuah kata. Contoh epentesis dalam bahasa Jawa adalah sebagai berikut.
Akasa             angkasa
Upama           umpama          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar