ANALISIS
STRUKTURAL NOVEL MENDHUNG KESAPUT ANGIN
KARYA
Ag. SUHARTI
(BERDASARKAN
TINJAUAN STRUKTURAL ROBERT STANTON)
A.
Latar Belakang
Kebudayaan sebagai warisan dari masa lampau
merupakan sesuatu hal yang membanggakan. Budaya yang terwujud dalam berbagai
bentuk di antaranya bangunan, benda, tulisan dan lain sebagainya. Semua itu
menuntut untuk dipelihara dan dilestarikan agar nilai yang terkandung tidak
musnah secara sia-sia. Pada kenyataannya banyak sekali ajaran maupun sejarah
yang terkandung dalam peninggalan-peninggalan tersebut, terutama dalam
teks-teks naskah lama (Siti Baroroh Baried, 1985:87).
Karya sastra adalah tulisan atau karangan yang unsur
estetiknya dominan, yang dinyatakan dengan kata-kata: hasil dan bahasa yang indah. Karya sastra yang bermutu ialah karya
sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaan-penciptaan baru (kreativitas)
dan keaslian cipta di samping itu yang bersifat seni (Rachmat Djoko Pradopo,
1997:36). Sebuah karya sastra akan indah apabila pengarangnya telah membawakan
dalam karyanya segala yang dimaksudkan ke dalam karyanya (N. G. Tjerni Seviki,
1961:16 dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1997:40). Dalam karya sastra berisi
pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman subjektif seseorang
(fakta individual atau libidinal), dan pengalaman sekelompok masyarakat (fakta
sosial) (Sangidu, 2004:41).
Karya sastra diciptakan oleh pengarang berdasarkan
realita (kenyataan) sosial yang ada dalam masyarakat (Sangidu, 2004:39). Sastra
memang mencermintak kenyataan (Luxemburg, 1989:16) sastra hanyalah mimesis,
tiruan atau gambaran dari kenyataan (alam, ide, alam gagasan) jadi kurang dari
kenyataan.
Karya sastra yang baik tidak hanya merekam dan
melukiskan kenyataan yang ada dalam masyarakat tetapi merekam dan melukiskan
kenyataan dalam keseluruhan. Aspek penting dalam kenyataan yang perlu
dilukiskan oleh pengarang yang dituangkan dalam karya sastra adalah masalah
kemajuan manusia (Sangidu, 2004:41).
Karya sastra tulis meliputi cerkak, cerbung, novel
dan sebagainya. Novel adalah karya sastra tulis yang berbentuk fiksi. Karya
fiksi yaitu cerita rekaan (cerkan) atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan
fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyarankan pada kebenaran
sejarah (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010:2). Fiksi juga merupakan sebuah
cerita yang terkandung di dalam tujuan estetik. Betapapun syaratnya pengalaman
dan permasalahan kehidupan ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap
merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren
dan tetap mempunyai tujuan estetik (Wellek & Warren, dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2010:3). Jadi fiksi adalah cerita rekaan yang tetap mementingkan
tujuan estetik pada peristiwa-peristiwa yang berada dalam khayalan.
Salah satu karya sastra tulis yang berbentuk
novel yaitu novel yang berjudul Mendhung Kasaput Angin karya Ag.
Suharti. Novel Mendhung Kasaput Angin adalah
novel yang diterbitkan oleh PN Balai Pustaka tahun 1980. Novel Mendhung Kasaput Angin karya Ag. Suhati
adalah novel berbahasa Jawa dan mempunyai tebal 123 halaman. Terbitnya novel Mendhung Kasaput Angin dapat menjadi
bukti keeksistensian karya novel Jawa pada jaman dahulu meskipun kini sudah
jarang dan susah untuk dicari.
Novel Mendhung
Kasaput Angin karya Ag. Suharti adalah wujud dari kreasi pengarang baik
sebagai tiruan atau kenyataan sosial. Novel Mendhung
Kasaput Angin karya Ag. Suharti menceritakan perjalanan hidup seorang gadis
desa yang bernama Kadarwati yang penuh penderitaan namun akhirnya menjumpai
kebahagiaan di akhirnya (happy ending).
Alasan lain yang menjadi pertimbangan dalam
melakukan penelitian terhadap novel Mendhung
Kesaput Angin karya Ag. Suharti karena masalah yang disampaikan oleh pengarang
memberikan banyak pelajaran bagi para pembaca.
Analisis struktural novel Mendhung Kesaput Angin karya Ag. Suharti dilakukan dengan
menggunakan tinjauan struktural Robert Stanton karena masalah yang tercermin
dalam novel ini merupakan masalah yang sudah sering terjadi dalam lingkungan
masyarakat yaitu tentang penderitaan hidup di masa lalu yang pada akhirnya
menemui kebahagiaan hidup di masa depan. Analisis dilakukan dengan membaca
terlebih dahulu novel Mendhung Kasaput
Angin karya Ag. Suharti kemudian membedahnya dengan menggunakan teori fiksi
Robert Stanton yang terdiri dari fakta-fakta cerita yang meliputi karakter,
alur, latar, tema dan sarana-saran sastra yang meliputi judul, sudut pandang,
gaya dan tone, simbiolisme dan ironi.
B.
Perumusan Masalah
Perumusan
masalah berasal dari novel Mendhung
Kasaput Angin karya Ag. Suharti. Masalah-masalah yang ada dirumuskan
sebagai masalah yang akan dibahas secara detail. Perumusan masalah ini
bertujuan agar penelitian yang dilakukan terfokus pada masalah yang akan
diteliti dan tidak meluas pada masalah-masalh di luar penelitian. Perumusan
masalahnya sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah
struktur novel Mendhung Kasaput Angin
karya Ag. Suharti berdasarkan teori fiksi dari Robert Stanton yaitu fakta-fakta
cerita yang meliputi karakter, alur, latar, tema, serta sarana-sarana sastra
yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian novel Mendhung Kasaput Angin
karya Ag. Suharti dapat diperoleh dari perumusan masalah yang sudah ditulis di atas,
maka tujuan penelitiannya adalah sebagai berikut:
1.
Mendeskripsikan
struktur novel Mendhung Kasaput Angin
karya Ag. Suharti berdasarkan teori fiksi dari Robert Stanton yaitu fakta-fakta
cerita yang meliputi karakter, alur, latar, tema, serta sarana-sarana sastra
yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi.
BAB
2
LANDASAN TEORI
A.
Teori Struktural
Teori Struktural termasuk dalam
pendekatan objektif, yaitu pendekatan yang menganggap karya sastra sebagai
“makhluk” yang berdiri sendiri, menganggap bahwa karya sastra bersifat otonom,
terlepas dari alam sekitarnya, baik pembaca, bahkan pengarangnya sendiri (Sri
Wahyuningtyas dan Wijaya Heru Santosa, 2011: 1). Sebuah karya sastra, fiksi
atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun
secara koherensi oleh berbagai unsur (pembangun)-nya. Di satu
pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan dan
gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama
membentuk kebulatan yang indah (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010:
36). Di pihak
lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur
(intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi,
yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri,
terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak
penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi penting dan berarti
setelah ada hubungan antarunsur serta sumbangannya terhadap keseluruhan wacana
(Burhan Nurgiyantoro, 2010: 36).
Analisis struktural karya sastra
fiksi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan
fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik. Pendekatan struktural
tidak cukup dilakukan hanya sekedar memahami unsur-unsur tertentu karya sastra,
namun lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur dan
sumbangan apa yang diberikan terhadap sastra yaitu tema, amanat, penokohan,
setting dan alur memberikan sebuah gambaran bagi para pembaca (Burhan
Nurgiyantoro, 2010: 37). Kesimpulan dari pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa pendekatan struktural merupakan pendekatan yang membongkar unsure-unsur
intrinsik sebuah karya sastra yang berupa tema, alur, penokohan, latar, amanat,
dan mencari hubungan antarunsur tersebut.
Teori
yang digunakan dalam menganalisis struktur novel Singkar karya Siti Aminah dengan menggunakan teori fiksi dari
Robert Stanton. Analisis strukturalnya yaitu fakta-fakta cerita yang meliputi
karakter, alur, latar, tema, serta sarana-sarana sastra yang meliputi judul,
sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme,
dan ironi (Stanton, 2007: 20).
1.
Fakta-fakta cerita
Karakter,
alur dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi
sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum semua
elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual. Struktur
faktual merupakan aspek cerita (Stanton, 2007: 22).
a.
Karakter
Menurut
Stanton (2007: 33), Terma karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks
pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita.
Karakter yang kedua, karakter yang merujuk pada percampuran dari berbagai
kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu.
Sebagian
besar cerita dapat ditemukan satu “karakter utama” yaitu karakter yang terkait
dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Karakter seseorang mempunyai
alasan untuk bertindak sebagaimana yang ia lakukan dinamakan ‘motivasi’.
‘Motivasi spesifik’ seorang karakter adalah alasan spontan, yang mungkin juga
tidak disadari, yang ditunjukkan oleh adegan atau dialog tertentu. ‘Motivasi
dasar’ adalah aspek umum dari satu karakter atau dengan kata lain hasrat dan
maksud yang memandu sang karakter dalam melewati keseluruhan cerita. Karakter
seseorang juga bisa diketahui dari nama, deskripsi eksplisit, dan komentar
pengarang tentang karakter yang bersangkutan (Stanton, 2007: 33).
b.
Alur
Secara
umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah
alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal
saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak
dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh
pada keseluruhan karya (Stanton, 2007: 26).
Menurut
Stanton (2007: 28), alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan
elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang
diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Sebuah ceria tidak akan penah
seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peritiwa-peristiwa yang
mempertautkan alur, hubungangan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya
dengan elemen-elemen lain, alur memiliki hukum-hukum sendiri; alur hendaknya
memiliki memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan
logis, dapat menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri
ketegangan-ketegangan.
Dua
elemen dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya
fiksi setidak-tidaknya memiliki ‘konflik internal’ (yang tampak jelas) yang
hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan
lingkungannya. ‘Klimaks’ adalah saat konflik terasa sangat intens sehingga
ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan
kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat
terselesaikan (‘terselesaikan’ bukan ‘ditentukan’). Klimaks utama sering
berwujud satu peristiwa yang tidak terlalu spektakuler (Stanton, 2007: 31-32).
c.
Latar
Latar
adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang
berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat
berwujut dekor, waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu
periode sejarah. Meski tidak langsung merangkum sang karakter utama, latar
dapat merangkum orang-orang yang menjadi dekor dalam cerita (Stanton, 2007:
35).
2.
Tema
Tema
merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ’makna’ dalam pengalaman manusia;
sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman menjadi diingat. Ada banyak cerita
yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami oleh manusia
seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, penghianatan manusia
terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua (Stanton, 2007:3 6-37).
Menutut
Stanton (2007: 37), tema merupakan pernyataan generalisasi, akan sangat tidak
tepat diterapkan untuk cerita-cerita yang mengolah emosi karakter-karakternya.
Istilah yang akan digunakan ada tiga, yaitu ‘tema’, ‘gagasan utama’, dan
‘maksud utama’ secara fleksibel, tergantung pada onteks yang ada. Tema menyorot
dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai
yang melingkupi cerita. Sekali lagi, sama seperti makna pengalaman manusia,
tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian
awal dan akhir cerita akan menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan
tema.
3.
Sarana-sarana Sastra
Sarana-sarana
sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail
cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena
dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang,
mahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi.
Sarana-sarana paling signifikan diantara berbagai sarana yang kita kenal adalah
karakter utama, konflik utama, dan tema utama. Tiga sarana ini merupakan ‘kesatuan
organis’ cerita. Ketiga-tiganya terhubung demikian erat; ketiga-tiganya menjadi
fokus cerita itu sendiri (Stanton, 2007: 46-50).
a.
Judul
Judul
selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu
kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada sang karakter
utama atau satu latar tertentu. Sebuah judul kerap memiliki beberapa tingkatan
makna (Stanton, 2007: 52).
b.
Sudut Pandang
Sudut
pandang adalah pusat kesadaran tempat kita dapat memahami setiap peristiwa
dalam cerita. Posisi ini memiliki hubungan yang berbeda dengan tiap peristiwa
dalam tiap cerita: di dalam atau di luar satu karakter, menyatu atau terpisah
secara emosional.
Menurut
Stanton (2007: 53), dari sisi tujuan, sudut pandang dibagi menjadi empat tipe
utama. Meski demikian, perlu diingat bahwa kombinasi dan variasi dari keempat
tipe tersebut bias sangat tidak terbatas. Pada ‘orang pertama-utama’, sang
karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. Pada ‘orang
pertama-sampingan’, cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama
(sampingan). Pada ‘orang ketiga-terbatas’, pengarang mengacu pada semua
karakter dan memosisikannya sebagai orag ketiga tetapi hanya menggambarkan apa
yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter. Pada
‘orang ketiga-tidak terbatas’, pengarang mengacu pada setiap karakter dan
memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarng juga dapat membuat beberapa
karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat ketika tidak ada satu
karakter pun hadir.
c.
Gaya dan Tone
Gaya
adalah cara pengarang menggunakan bahasa. Campuran dari berbagai aspek seperti
kerumitan, ritme, panjang pendek, kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan
banyaknya imaji dan metafora (dengan kadar tertentu) akan mengahsilkan gaya.
Satu elemen yang amat dengan gaya adalah ‘tone’.
Tone adalah sikap emosional pengarang yang dtampilakan dalam cerita. Tone bisa menampak dalam berbagai wujud,
baik yang ringan, romantic, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi atau penuh
perasaan (Stanton, 2007: 61-63).
d.
Simbolisme
Salah
satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi agar tampak nyata adalah dengan
menggunakan ‘simbol’; simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki
kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Simbol
dapat berwujud apa saja, dari sebutir telur hingga latar cerita seperti satu
objek bertipe sama, substansi fisis, bentuk, gerakan, warna, suara, atau
keharuman. Semua hal tersebut dapat menghadirkan satu fakta terkait kepribadian
seorang manusia, ambisi yang semu, kewajiban manusia, atau romantisme masa muda
(Stanton, 2007: 64).
Menurut
Stanton (2007: 64-65), simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang
masing-masing bergantung pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama,
semua simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita menunjukkan
makna peristiwa tersebut. Dua, satu simbol yang ditampilkan berulang-ulang
mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam cerita. Tiga, simbol yang
muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menemukan tema.
e.
Ironi
Secara
umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan
dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Ironi dapat ditemukan dalam hampir
semua cerita (terutama yang dikategorikan ‘bagus’). Bila dimanfaatkan dengan
benar, ironi dapat memperkaya cerita seperti menjadikannya menarik,
menghadirkan efek-efek tertentu, humor atau pathos,
memperdalam karakter, merekatkan struktur alur, menggambarkan sikap
pengarang, dan menguatkan tema (Stanton, 2007: 71).
Menurut
Stanton (2007: 71-72), ada dua jenis ironi yang dikenal luas, yaitu ‘ironi
dramatis’ dan ‘tone ironis’. ‘ironi
dramatis’ atau ironi alur dan situasi biasayanya muncul melalui kontras
diametric antara penampilan dan realitas, antara maaksud dan tujuan seorang
karakter dengan hasilnya, atau antara harapan dengan apa yang sebenarnya
terjadi. Pasangan elemen-elemen di atas terhubung satu sama lain secara logis
(biasanya melalui hubungan kausal atau sebab-akibat). ‘Tone ironis’ atau ‘ironi
verba;’ digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna
dengan cara berkebalikan.
BAB
3
PEMBAHASAN
Fakta cerita
A.
Tokoh
1.
Kadarwati
“ Oh hiya, Den Kadarwati
teka banjur ora ketok-ketok ta, ya?” celathune Ponirah [ halaman 7]
2.
Sulistyo
“nDerek
nepangaken, kula Sulistyo” [halaman 24]
3.
Sumadi
“Dereng
saged tilem,”wangsulane Sumadi katon ora jenjem.” [hal. 15]
4.
Satriyo
“Iya
, Bu.” Satriyo banjur metu [halaman 40]
5.
Sulistiyowati
(Listi)
“ Jenenge Sulistyowati cah bagus. Nanging dicekak
Listi bae, supaya luwih gampang.”
[halaman 52]
6.
Mbok
Minem
“...akeh
pituture mbok Minem marang Kadarwati.” [hal. 10]
7.
Orang
Tua Kadarwati
a.
Bapak
Hadiwiyoto
“Jam lima isuk,
kabeh keluarga pak Hadiwiyoto wis nglumpuk...” [hal. 12]
b.
Bu
Hadi
“Bu Hadi
tansah nyedhaki putrane lan akeh-akeh pituture marang Kadarwati.” [hal. 12]
8.
Mertua
Kadarwati ( Bu Soma)
“Mantele mbok
korapetake, Darwati,” mengkono celathune Bu Soma, ibu mara tuwane.
9.
Para
tetangga Kadarwati :
a.
Unah
“Polatane Unah
katon semu abang, awit panggrecoke kanca-kancane mau pancen ngenani atine.” [hal.
7]
b.
Ponirah
“O hiya, Den
Kadarwati...”celathune Ponirah.” [hal. 7]
c.
Wagirah
“Tindakan
apa, wong jare malah...”wangsulane Wagirah.” [hal. 7]
d.
Mugiyem
“Jarene nek
cara priyayi, wong arep dadi nganten kuwi...”celathune Mugiyem.” [hal. 7]
e.
Jinem
“Ngendi
ana wong lagi susah kober mikir kothekan?”celathune Jinem.” [hal. 9]
f.
Mbakyu
Sugih
“….badhe
sowan kaliyan mBakyu Sugih, nanging
wusananipun mBakyu Sugih malah lajeng gerah waos…..” [halaman 21]
g.
Mbakyu
Guritno
“mBakyu Guritno punika warga enggal,
kula kinten dereng priksa menawi pakempalan kita sampun gadhah prabot-prabot
dhapur….”
10.
Sajem
“ Sajem ana ngendi, ta?” [halaman 35]
11.
Bu
Onggo
“Iki ibu Onggo
lagi tindakan, ta?” [halaman 65]
12.
Mas
Baskoro
“Mas…..
Mas Baskoro.”[halaman 64]
13.
Susi
“Lan anehe, Bu,
kathik Dhik Susi iku rupane jare cah-cah...” [hal. 105]
B.
Karakter
1.
Kadarwati
kadarwati
dalam novel tersebut memiliki karakter yang bermacam-macam, karakter tersebut
diambil dari ucapan tokoh langsung, dari cara berpikir maupun bertindak
Kadarwati dalam kehidupan sehari-hari ataupun dari penilaian tokoh lain.
Berikut merupakan karakter yang dimilki oleh tokoh Kadarwati;
a.
Sekolahnya
tinggi, dan parasnya cantik
“ ……. Nanging yen kaya Den Kadarwati, rak dhuwur sekolahe,
wragade ngentekake dhuwit sapirang-pirang, wah mana priyayine ayu tenan,
mesthine yen krama ya bisa milih…….” [ halaman 8]
kalimat diatas jelas mengambarkan tokoh Kadarwati yang memiliki
pendidikan yang tinggi serta memilki paras yang cantik berdasar dari penilaian
tokoh lain.
b.
Suka
Menolong / ringan tangan dan tidak pamrih
“….. Yen disuwuni tulung wong gampang, disuwuni tulung
njaitake klambi ya ora ngarani mundhut pira, opahe dikon ngira-ira dhewe….”
[ halaman 8]
dalam kutipan diatas menggambarkan bahwa tokoh Kadarawati ringan
tangan dalam membantu orang lain serta jika membantu tidak pernah meminta
imbalan apapun.
c.
Tahu
sopan santun
“ ….anggone mangsuli kang sarwa cekak, mung ngelingi paugeraning tata krama bae.” [halaman 14]
d.
Ramah
dan suka tersenyum
“….nanging dhasar bocah kang grapayak
lan sumanak, polatane katon padhang
lan sumringah, gawe renaning penggalihe kang nyawang. Carane ngulungkae
cangkir marang tamu uduhake pangertene marang tata susila.” [ halaman 15]
e.
Selalu
ceria dan ramah
“….sipate Kadarwati kang gembira lan grapyak wiwit bisa thukul lan
pulih maneh..” [ halaman 21]
f.
Paham
kedudukannya sebagai seorang istri
“….Kadarwati ora tau
nglirwakae jejere wanita, kang kudu ngudi gawe mareme kakung. Apa kang dadi pekareme bojone diudi supaya
dheweke bisa nyawisake, bisa olah dhewe”
[halaman 22]
“….Diladeni dening bojo kang
setya tuhu, bekti ngajeni terusing batin…” [halaman 60]
g.
Pandai
memasak
“Dhek wingi kowe rak ngelem gudheg lan rendhang kang ndak suguhake,
rasane nyamleng ta, Listyo. Yen kowe
arep weruh sapa priyayine sing masak, ya Jeng sumadi iki. Priyayi asal saka Ngayogja, mula ya baut nggudheg.” [ halaman 24]
Kalimat yang diucapkan oleh mBakyu Guritno diatas menandakan bahwa
( Jeng Sumadi) Kadarwati pandai memasak dengan adanya perkataan yang menyatakan
rasa masakan ynag dibuat oleh Kadarwati “nyamleng” . Selain itu juga menandakan bahwa Kadarwati
seorang wanita Yogya.
h.
Awet
muda
“ ……..nanging katingalipun teka kados taksih timur kemawon. Sejatosipun resepipun punapa ta, Jeng,
panjenengan teka saged awet timur
punika?” [halaman 26]
i.
Rendah
hati atau merendah
“….. kula namung satunggiling lare ingkang tanpa teges, inggih tuni
ing seserepan, anakipun tiyang mboten gadhah, ingkang ugi gadhah tanggelan adhi
kathah.” [halaman 34]
j.
Berselingkuh
atau berkhianat dari suaminya
“ ……..Aku wis ora sudi urip bebarengan karo wong wadon kang wis
laku khianat marang bojone….” [halaman 43]
k.
Bijaksana
“….. luwih utama kita banjur pepisahan kanthi becik, isih tetep
anggone padha seduluran, senajan wis ora nerusake urip bebarengan maneh.”
[halaman 44]
Selain bijaksana dalam hal itu, Kadarwati juga bijaksana dalam
mendidik anak-anaknya, dimana meski Kadarwati membenci suaminya ia tetap
mengajarkan pada anak-anaknya untuk tetap mencintai dan hormat pada
Bapaknya.Hal itu terdapt pada kutipan sebagai berikut;
“……Sapira gedhene panarimane marang sisihane, kang tetep ndhidhik
anake nduweni rasa hormat lan tresna marang bapake….” [halaman 116]
l.
Jujur/
Berterus terang
“ Aku…oh…kaya bakal luwih prayoga yen aku terus terang matur apa saanane lan ora ndak gawe wadi marang
sliramu utawa marang Bu Onggo,….” [halaman 66]
m.
Semangat
dalam membesarkan anak-anaknya
“….Ewasemono aku ora arep
banjur nglokro. Aku tansah arep
mbudidaya bisaa aku nggulawenthah anakku sakrone, supaya ing mbesuk padha
dadi wong kang utama. Apa dupeh aku randha, banjur ora bakal kasil ngayati
kuwajibanku, kiraku ora, Mas.” [halaman 70]
n.
Pendendam
“ Hm , wangune ewa lan
sengitmu marang aku ora tanggung-tanggung Darwati,” celathune Sulistyo,
kebak rasa sedhih mandeng marang Kadarwati. “Nganti kowe ora sudi ngingeti aku, ora
sudi guneman karo aku…..” [ halaman 88]
Dalam kalimat percakapan yang dilontarkan oleh Sulistyo diatas
secara tersirat menggambarkan bagaimana karkter Kadarwati yang masih menyimpan
kekecewaan sekaligus benci pada Sulistyo sehingga dia tidak mau melihat dan
berbicara dengan Sulistyo.
2.
Sulistyo
a.
Berwibawa
“…..Daya prabawane pemudha iku, terus
nuwuhake rasa ora jenjem ing sajroning atine, nagnti esthining ati, kepengin
arep terus ketemu karo Sulistyo ….” [halaman 29]
b.
Sangat
mencintai Kadawarwati
“ Kowe wis
ngerti , Darwati tresnaku marang kowe
ngungkuli katresnanku marang sapa bae….” [ halaman 48]
c.
Bijaksana
“ Apa tegese
beda umur kang mung sawatara tahun iki? Sing dadi rak nyatane, aku rumangsa
begja bisa duwe bojo kowe. Wis ta, aja sok seneng ngomongake prekara kang
ora-ora. Aku kepengin kowe tansah katon sumringah lan gembira.” Celathune
Sulistyo [halaman 50]
d.
Gagah
dan tampan rupawan
“…….. meksa
isih kaglewang marang sawijining jejaka
gagah bagus rupane….” [halaman 59]
“…..Bapak
priyayine gagah ya Bu, Listi mongkog
dadi putrane.”[halaman 120]
Akan tetapi
karakter yang dimiliki Sulistyo diatas , pada saat dia sudah tua
mengalami perubahan yakni menjadi kurus dan agak bungkuk serta tampak lebih
tuwa. Karakter tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut;
“……..Saiki
kaanane Sulityo beda banget karo dhek semana. Badane kang kukuh, kuwat, waras wiris, malih dadi kuru lan rada
bungkuk, marai katon tuwa
katimbang Baskoro, kang setemene luwih tuwa enem taun…..”[halaman 91]
“….Rambute kang
mbiyen ketel ireng wis nipis banget,
malah wis katon sulak putih, mripate
kang mbiyen tansah sumorot, saiki katon sedhih….” [halaman 110]
e.
Lapang
dada , mau mengakui kesalahan tetapi juga mudah tergoda.
“….sapisan
maneh, aku ngakoni kesalalahanku;
kesalahan kang dak lakoni, jalaran karingkihanku, ora bisa nglawan pambujuking godha….” [halaman 59]
3.
Sumadi
a.
Perhatian
“ Kowe isih katon pucet,
mbokmanawa laramu durung mari babar pisan. Apa
sirahmu isih ngarasa ngelu ? “ pitakone
Sumadi kebak kawigaten karo banjur ngadeg, mbrukutake mantel kang dianggo
Kadarwati. [halaman 12]
Pertanyaan yang dicetak tebal tersebut secara tersirat
menggambarkan bentuk perhatian Sumadi kepada Kadarwati.
b.
Berpangkat
tinggi dan mapan
“…… Apa maneh ingatase jejaka kang wis duwe pangkat lan bayar cukup,
gampang banget bisa kajunglup ing godhaning kasenengan lan karoyalan….” [
halaman 14, karakter Sumadi dinyatakan eksplisit oleh Ibunya]
c.
Baik
hati
“….. Wong Dhik Sumadi karo rayine gematine dubilah, samubarang kang dipengeni keng rayine, mesthi
bakal dibayari.” [halaman 20]
d.
Sabar
dan halus
“ Kadarwati mandeng ora percaya marang bojone. Dhewke ora ngira
menawa bojone kang sabar lan alus
nganti bisa kawetu ngucapkake tetembungan kang kasar kaya mengkono…..” [halaman
43]
e.
Mencintai
anak-anaknya
“…..Sumadi mesthi ngedusi dhewe, ketang saka gemati lan tresnane marang anake.” [halaman 45]
f.
Ikhlas
dan Bijaksana
“….Dheweke bakal lila legawa
menehi pangapura. Uga wewayangan kang banget mbakar atine, yaitu tindake
Sulistyo kang ngrangkul kenceng lan ngarasi bojone, bakal dilalekake salawas-lawase,……” [halaman 45]
4.
Satriyo
a.
Sering
menangis
“
Inggih, lare kula asring nangis,
manawi dipuntilar dangu-dangu.” [halaman 26]
Kalimat diatas
merupakan karakter Satriyo ketika masih bayi.
b.
Bagus,
berbudi luhur dan rendah hati
“ …… Satriyo kena diaranai sawijining pemudha kang sembada, kajaba
bagus, landhep panggraitane, becik bebudene lan lembah manah…..” [halaman 101]
c.
Gagah, pintar dan menjadi idola
“…..Prakara Mas Sat mengko arep milih bocah liya, kangmasku pancen gagah, nggantheng, pinter, digandrungi
dening bocah wadon sepirang-pirang, mesthi bae bisa milih bocah wadon
liyane Dhik Susi”. [halaman 104]
5.
Listi
a.
Manja
“…….sebab lagi ngladeni Listi kang aleman….”
b.
Cantik,
baik hati, dan berbelas kasihan pada orang lain
“….. Dene Sulistyawati, sembada karo jenenge, sulistyo ing rupa, merak ati, nanging kakon aten. Anehe uga welasan, gampang tuwuh rasa asih marang
wong kang nandhang kasekengan…..” [halaman 101]
c.
Suka
blak-blakan atau apa adanya
“…..Aku pancen seneng blak-blakan, ……” [halaman 103]
d.
Tidak
mau mengalah
“Ngalaha bae Sat, kowe yen ngomong karo adhimu. Wong dheweke yen
omong mesthi ngotote, senajan wis ngrumangsani salah, nanging apa tau ta gelem ngaku,harak terus ngeyel
bae, ora gelem kalah…” [halaman 104]
e.
Mencintai
kedua orang tuanya
“O, temtu kemawon dalem tresna
dhateng Bapak, sami kaliyan tresna
dalem marang Ibu…..” [halaman 115-116]
6.
Mbok
Minem
Berdasar fisik :
a.
Setengah
Tua
“….. Ora let suwe ana wong wadon
setengah tuwa katon nyedhaki kenya mau lan banjur mapan lungguh ana
sisihe.”
7.
Orang
Tua Kadarwati
a.
Bapak
Hadiwiyoto
b.
Bu
Hadi
karakter yang dimiliki oleh kedua orang tua Kadarwati ialah
bijaksana hal ini terdapat dalam penjabaran oleh pengarang, dapat dibuktikan
dalam kutipan sebagai berikut ; “........ Bu Hadi tansah nyedhaki putrane lan
akeh-akeh pituture marang Kadarwati, supaya kang bisa mapanake awake, bisaa
lestari ngladeni bojone........” [halaman 12]
kutipan diatas terjadi ketika akan mengantarkan Kadarwati pergi ke
Betawi.
8.
Mertua
Kadarwati ( Bu Soma)
a.
Sayang
kepada menantunya dan tekun
“….ibu mara tuwane kang eman
banget marang mantune lan ya wis kepengin duwe putu, satiti banget angone ngrukti Kadarwati. Saminggu pisan Kadarwati
digawekake cabe lempuyang….” [halaman 52]
hal diatas mencerminkan tentang karakter yang dimiliki oleh Bu Soma
sebagai mertuwa Kadarwati yang sangat sayang kepada menantunya dengan memberi
perhatian seperti memberi cabe lempuyang.
9.
Para
tetangga Kadarwati :
a.
Unah
b.
Ponirah
c.
Wagirah
d.
Mugiyem
e.
Jinem
karakter yang
dimiliki oleh para tetangga Kadarwati tidak terlalu dijelaskan dalam cerita
diatas, para tetangga tersebut hanya sebagai figuran saja, dan tidak banyak
dimunculkan. Hanya saja mereka suka mengunjing tetangga yang satu dengan yang
lain, hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan;
“ O hiya, Den
Kadarwati teka banjur ora ketok-ketok ta, ya?” celathune Ponirah. “Apa lagi
tindakan, ta?”
“Tindakan apa,
wong jare malah mung mugen ana senthong kok,” wangsulane Wagirah.
“ jarene nek
cara priyayi, wong arep dadi nganten kuwi, pancen kudu ndadak nganggo laku
pasa, ngono apa piye,” celathune Mugiyem.[halaman 7]
Dalam kutipan
diatas para tetangga sedang menceritakan Kadarwati.
f.
Mbakyu
Sugih
Pandai memasak
“ Kadarwati seneng maguru olah-olah lan gawe dhedhaharan ,marga ing
babagan iku mBakyu Sugih pancen mumpuni.” [halaman 21]
10. Mbakyu Guritno
a.
Ramah
“….pambagene
mBakyu Guritno grapyak.” [halaman
22]
b.
Hobi
melukis ataupun menggambar
“
mBakyu kagungan kasenengan orek-orekan
wonten ing kanvas…..” [halaman 23]
c.
Humoris
“ Sampun Jeng, dipun tampi kemawon. Buku lowakan rak reginipun
mirah, mbok menawi namung sasen kalih sen. Pramila Dhik Utomo inggih wegah
nampi artanipun. Haarak kangge tumbas rokok sabungkus kemawon dereng cekap ,“
celathune mBakyu Guritno karo gumuyu
Kabeh padha melu gumuyu
ngrungokake omongane kang lucu iku. [halaman 28]
Kata yang dicetak tebal tersebut menegaskan bahwa mereka tertawa
mendengar ucapan mBakyu Guritno yang lucu, sehingga nampak karakternya yang
humoris.
11. Sajem
a.
Setia
“ ……Sajem, rewang kang setya
mung pisah sawatara taun karo Kadarwati,iya iku nalika Kadarwati pegatan karo
Sumadi…….” [halaman 76]
b.
Banyak
bicara
“ Kowe kui pancen seneng
ngoceh kok, Jem. …..” [halaman 82]
c.
Penakut
“….. Tiwas nggawa kanca mlaku kowe, jebul malah jirih banget ta. Wong jirih, pikire terus
diumbar, nggagas sing ora-ora. Ya malah saya wedi…..” [halaman 82]
12. Bu Onggo
a.
Janda
dan tua
“…..Priyayine
wis warandha, watara wis sawidakan tahun.’[halaman 64]
13. Mas Baskoro
a.
Setia
akan cintanya kepada Kadarwati , seorang yang berpangkat dan berkecukupan.
“ ….Satemene karana Kadrawati, dheweke
banjur ora rabi.Senajan ta wis duwe kalungguhan
becik lan blanja cukup kanggo mbangun kaluwarga, tekad ora arep rabi yen ora bisa
ketemu bocah wadon kang memper Kadarwati.Atine trenyuh mikir nasibe
Kadarwati…..” [ halaman 68]
b.
Baik
hati dan menyayangi anak-anak Kadarwati
“…..Mulane
gematine Baskoro marang Satriyo lan
Listi saya tambah.” [ halaman 68]
“……Mas
Baskoro tresna lan gemati banget
marang bocah-bocah….” [halaman 84]
c.
Cinta
pada tanah air
“….Dheweke uga eling marang Baskoro kang ndharmakake uripe kanggo kawigatene Republik…..” [halaman 91]
14. Susi
a.
Cantik
“…..kajaba
bocahe ayu, bapake sawijining
presdir, hartawan…..” [halaman 103]
C.
Motivasi
1.
Mbok
Minem
“ Den Lara,” pambujuke wong tuwa mau, “ sadaya kersane priyantun
sepuh niku rak sami sae. mBoten onten priyantun sepuh teka ajeng gawe suasah,
njomprongake putrane teng dalan sangsara. Ngoten ugi keng ibu alit, ketang
ngeman dhateng sampeyan, mila inggih tumut nggalih dhateng Den Lara. Tiyang
putrane Den Ngaten Driji kiyambak namung setunggal, mila nggih lajeng tumut
mrihatosake kalih sadhereke sing putrane kathah. Den Lara, tiyang gadhah anak
estri niku, nek dilamar teng tiyang ngantos mbangsulake lamaran tiyang jaler,
tembene bakal dados ciri kangge tiyang sanes-sanes. Tiyang lajeng sami ajrih
ajeng nglamar, kuwatos mangke diwangsulake kados sing empun. Pun ta, mang
dherek maweon teng kersane priyayi sepuh. Sulihe Gusti Allah teng donya niki nggih priyantun sepuh niku.
Yen putra mboten ajeng nggega teng kersane priyatun sepuh njur sinten sing
ajeng digega? Napa ajeng nggugu karepe dhewe? Mangke yen tembe mburine sampeyan
ngalami aral napa-napa, sinten sing ajeng disambat-sebuti?” Akeh pituture mBok
Minem marang Kadarwati.
2.
Bu
Onggo member motivasi kepada Kadarwati agar ia rujuk dan pulang ke rumah
suaminya lagi.
“ Nak Ajeng, kawontenan ingkang kados mekaten punika sampun limrah
kanggenipun tiyang sesemahan. Dredah sekedhik utawi benthik antawisipun tiyang
sesemahan punika malah dados margi, satunggal lan satunggalipun lajeng sami
saged mangertos dhateng kekiranganipun piyambak-piyambak. Wusana tumunten sami
saged apunte-ingapunten, ingkang tundhonipun saya nuwuhaken tambahaing
katresnan”. Akeh-keh [ituture Ibu Onggo matrang Kadarwati lan mbaka sathithik
Ibu Onggo mbujuk supaya Kadarwati gelem bali rujuk meneh karo bojone.[halaman
68]
3. Mas Baskoro member motivasi kepada Kadarwati untuk memaafkan dan
menerima kembali suaminya Sulistyo.
“
Dhik, aja lali yen manungsa iku sipate ringkih, gampang tumiba ing godha. Manut
ngendikamu dhewe, rakamu wis ngakoni kaluputane, wis njaluk pangapuramu lan
malah ya banjur kawetu janji, arep terus megat sisishane saiki, ing samangsa
wis nglairake. Iku rak sawijing bukti
kang nyata yen temene bae, panjenengane isih tresna marang sliramu. Kena apa
sliramu ora bisa nampa rakamu maneh, awit tindake kang kleru iku satemene
pancen ora dijarag, nanging kelakone jalaran mung saka ora bisa ngekang
hardaning hawa napsu iku mau.” [halaman 70]
4.
Sulistyo memberi motivasi kepada Kadarwati
agar melupakan peristiwa yang telah terjadi di masa lalu dan membangun
kehidupan baru menuju rumah tangga yang bahagia dan mulia seperti yang
diimpikan dahulu ketika memulai hidup berumah tangga.
Wasana unjal ambegan, Sulistyo banjur celathu;
“Awake dhewe nganti kudu
ngalami pepisahan kang pait, getir, jalaran mung saka cupeting pikir kang ora
dinalar kanthi wening. Nanging saka kamirahing Pangeran, awake dhewe
diparengake padha bisa ketemu maneh. Darwati, ora ana gunane barang kang wis
kelakon tansah arep dieling-eling. Luwih becik lelakon iku banjur dilalekake
lan sateruse awake dhewe wiwit mbangun urip anyar kang tumuju marang
katentreman lan karukunan, kaya kang dadi panggontha-ganthane awake dhewe,
nalika arep wiwit mbangun urip bebrayan.”
2.
Alur dalam novel Mendhung Kasaput Angin
A.
Tahap Awal
Kadarwati adalah seorang anak desa yang baru saja lulus sekolah,
karena kemiskinan dan beban hidup keluarganya yang berat dengan tanggungan
adiknya banyak dengan kondisi keuangan keluarganya yang sangat sederhana. Latar
belakang kehidupan keluarganya yang begitu susah itu membuat orang tua
Kadarwati berniat untuk menjodohkan anaknya dengan anak seorang temannya dari
kota Betawi bernama Sumadi yang sudah mempunyai pekerjaan mapan.
Pertama kali Sumadi bertemu dengan Kadarwati, ia langsung jatuh
hati kepada perempuan desa ini padahal di kota ia juga sudah banyak
melihat wanita-wanita lain pilihan orang
tuanya yang akan dijodohkan dengannya tetapi Sumadi sama sekali tidak tertarik.
Beberapa waktu setelah itu Sumadi menikah dengan Kadarwati dan memboyongnya ke
Batawi tetapi dalam hati Kadarwati masih setengah hati untuk menerima
pernikahan hasil perjodohan orang tuanya tersebut. Kadarwati hanya bisa pasrah
dengan nasibnya, dia berfikir yang penting dia dapat berbakti dan meringankan
beban hidup orang tuanya dan Sumadi juga laki-laki yang sangat perhatian dengan
Kadarwati kelak pasti ia dapat hidup berkecukupan materi walaupun ia tidak
mencintai Sumadi.
Keluarga kecil Sumadi dan Kadarwati dikaruniai anak laki-laki yang
bernama Satriyo, kehidupan mereka berkecukupan, apapun yang diminta oleh
Kadarwati selalu dituruti oleh suaminya, Sumadi. Tidak hanya Sumadi yang gemati dengan Kadarwati tetapi juga ibu
Sumadi yang sangat perhatian dengan Kadarwati. Keluarga mereka juga cukup
terpandang di lingkungan tempat mereka tinggal, Kadarwati mudah bergaul dan
dekat dengan ibu-ibu sekitar rumahnya karena sering berbincang-bincang bersama
di pelataran rumahnya yang sering digunakan tetangga sekitar rumahnya untuk
bermain badminton. Posisi Kadarwati yang menjadi ibu rumah tangga yang
mengurusi anak dan pekerjaan rumah sangat ditolong dengan pembantunya yaitu
Sajem yang setia menemaninya
.
B.
Tahap Tengah
Konflik
Kadarwati
berkenalan dengan seorang pemuda adik keponakan dari mbakyu Guritno (tetangga akrab yang rumahnya tidak jauh dari rumah
Kadarwati) yang akan melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum, bernama Sulistyo.
Saat pertama kali berkenalan membuat hati Kadarwati bergetar tidak karuan,
jantungnya berdebar kencang, saat berjabatan tangan mereka saling berpandangan
dan tangannya seakan enggan terlepas dari Kadarwati, matanya menatap tajam
seperti menerabas relung hatinya. Setelah beberapa saat Sulistyo sadar akan kesalahannya
dan segera melepaskan tangan Kadarwati. Kadarwati merasa tidak enak dan bingung
akan sikap Listyo, bayang-bayang Listyo selalu muncul dalam benak Kadarwati.
Sehingga membuat hatinya resah dan selalu terbayang-bayang Sulistyo.
Awalnya
Kadarwati menghindari jika berduaan dengan Listyo, saat diajak berbincangpun
Kadarwati sedikit menjaga jarak karena ia tau perasaannya yang timbul ini
berbeda dengan perasaan kepada laki-laki lain bahkan suaminya sendiri, Sumadi.
Baru Listyo yang mampu membuat hatinya setidak karuan ini, setiap saat selalu
terbayang-bayang Listyo. Kadarwati sadar bahwa itu perasaan cinta yang timbul
dalam hatinya untuk Listyo tetapi ia tau ia sudah menikah. Hal ini membuat
Kadarwati tambah bingung.
Lama kelamaan
mereka akrab dan sering berbincang-bincang karena mereka menemukan kecocokan
dalam berbagai obrolan mereka. Kadarwati menyambut itikat baik pertemanan dari dik Listyo itu, dik Listyo sering memuji Kadarwati karena kepribadiannya sesuai
dengan criteria perempuan yang sangat ia idam-idamkan sebagai pasangan hidupnya
kelak. Setelah itu Listyo sering bertamu ke rumah Kadarwati saat suaminya
bekerja atau sedang pergi. Sulistyo dengan terbuka selalu mengutarakan
perasaannya yang dalam pada Kadarwati. Tidak berapa lama Sumadi tau akan hal
itu, dengan kesabaran dan kebijaksanaan Sumadi lalu berpesan kepada Kadarwati
agar menghindar dari Sulistyo karena para tetangga sekitar rumah mereka mulai
membicarakan kelakuan Listyo yang sering bertamu di rumah Sumadi. Hal tersebut
jika terjadi berulang-ulang akan mendapat pandangan yang negatif dari
tetangganya. Pesan dari Sumadi membuat Kadarwati semakin gelisah dan membuat
hatinya bimbang.
Klimaks
Suatu hari
Listyo bertamu lagi di rumah Kadarwati, ia mengungkapkan seluruh hatinya kepada
Kadarwati. Ia menyatakan bahwa ia sangat mencintai Kadarwati dan ingin
Kadarwati menjadi istrinya setelah itu Sulistyo memeluk dan mencium bibir
Kadarwati. Sulistyo sangat berani melakukan hal itu karena ia tau bahwa
Kadarwati sebenarnya mencintainya, pernikahan yang dilakukan Kadarwati hanya
karena terpaksa menuruti keinginan orang tuanya. Kadarwati tidak bisa
membohongi hatinya sendiri bahwa sebenarnya ia juga mencintai Sulistyo tetapi
Kadarwati sadar apa yang dilakukannya itu salah karena ia sudah bersuami. Dia
lalu menyingkir dan membentak Listyo tetapi Listyo tetap tidak mau berhenti
memeluk Kadarwati. Tidak dikira ternyata Sumadi melihat perilaku mereka berdua,
seketika itu juga ia marah dan menyuruh Listyo untuk pergi dari rumahnya.
Sumadi tidak mengira istrinya melakukan perbuatan seperti itu, ia menyuruh
Kadarwati untuk pergi dari rumahnya karena ia sudah tidak mau lagi melihat
Kadarwati, tanpa mendapat perintah Kadarwati langsung mengemasi dan mengajak
anaknya pergi dari rumah. Sebenarnya sikap Sumadi hanya sebagai gertakan dan
tidak sebenarnya, tetapi Kadarwati sudah terlanjur sakit hati dibentak oleh
suaminya dan akhirnya ia pun pergi karena lebih memilih hidup dengan Listyo.
Setelah menikah
dengan Listyo hidup Kadarwati dikaruniai seorang anak perempuan bernama
Sulistyowati dipanggil Listi, keluarga muda ini bahagia walaupun hidupnya
sederhana. Kadarwati bisa menerima kehidupan yang demikian ( tidak seperti saat
bersama Sumadi yang serba berkecukupan) karena memang sudah pilihan hidupnya.
Suatu hari Kadarwati menemukan surat kecil bertuliskan dari Partiningsih di
saku celana Sulistyo. Surat itu berisi bahwa Partiningsih telah hamil 2 bulan
dan menuntut pertanggungjawaban Listyo untuk menikahinya. Setelah membaca surat
Kadarwati langsung menangis seperti tidak percaya kelakuakn suaminya, membuat
pemikirannya kepada Listyo berubah 180 derajat. Dia menganggap bahwa semua
laki-laki sama saja, dulu ia mengira bahwa Listyo adalah laik-laki yang berbeda
karena mau menerima seorang janda beranak 1 tetapi ternyata dia serong dengan
wanita lain. Sehabis pulang dari kantor Listyo menanyakan celana yang terdapat
surat kecil tetapi Kadarwati hanya diam saja, apapun pertanyaan Listyo tidak
digubrisnya. Kadarwati sudah terlanjur sakit hati.
Kejadian itu
berbarengan dengan kondisi Listi anak perempuannya yang baru berusia beberapa
bulan sedang sakit, karena tidak mempunyai uang Kadarwati memutuskan menjual
cincin kawin yang terukir namanya dan Sulistyo. Dia beranggapan suudah tidak
ada gunanya lagi cincin kawin tersebut, karena Listyo sudah mengkhianati
ketulusan cintanya. Setelah tau bahwa cincin kawinnya dijual, ia marah besar
dan tidak sadar memukul pipi Kadarwati. Kadarwati menangis dan dilemparnya
surat kecil itu dari sakunya, Listyo melihat lalu langsung memunggutnya karena
dari tadi surat itu dicarinya ia takut jika Kadarwati mengetahuinya tetapi
terlambat Kadarwati sudah mengetahuinya. Seketika itu Sulistyo memohon maaf
kepada Kadarwati tetapi Kadarwati tidak memperdulikan, Listyo membujuk terus
tetapi tetap sama saja. Saat Listyo berangkat bekerja, Kadarwati membawa kedua
anaknya pergi dari rumah meninggalkan Listyo.
C.
Tahap Akhir
Sekian
tahun Kadarwati berjuang keras untuk kelangsungan hidup anak-anaknya, bekerja
membanting tulang sebagai orang tua tunggal. Jalan hidup yang dilalui Kadarwati
tidak mudah, berbagai masalah dan beban berat ditanggung olehnya namun
Kadarwati tidak gentar. Dia tinggal di rumah bu Onggo yang beralamat di
Jatinegara yang merupakan kenalannya saat masih menjadi istri Sumadi yang juga
budhe mantan pacarnya ketika masih sekolah di Jogja. Kondisi hidup yang serba
susah dan penuh penderitaan itu tidak ditanggung sendiri oleh Kadarwati, tetapi
juga dibantu oleh Baskoro yang member sumbangan dari segi materi maupun
perawatan terhadap anak-anaknya yang sudah dianggap seperti anak keponakannya
sendiri. Semuanya jerih payah serta didikan Kadarwati kepada anak-anaknya
membuahkan hasil yang luar biasa, kedua anaknya mampu melanjutkan belajarnya
sampai perguruan tinggi. Satriyo hampir lulus kuliah dan adiknya di tingkat 2,
pendek cerita Satriyo berpacaran dengan seorang wanita bernama Susilowati yang
tidak lain adalah anak hasil selingkuhan Listyo dengan Partiningsih dulu.
Pada suatu
malam Listyo datang ke rumah Kadarwati, kedatangannya karena mengetahui Satriyo
dan Listi menghadiri pesta anaknya Susi. Dia berniat untuk bertanggung jawab
terhadap anaknya karena dia bapaknya yang lebih utama untuk menafkahi
anak-anaknya. Namun demikian kedatangan Listyo tersebut belum bisa membuka hati
Kadarwati meskipun Listyo sudah berulangkali memohon maaf atas kekhilafannya di
masa lalu. Hingga akhirnya Kadarwati terbuka hatinya melihat wajah Sulistyo
yang sudah banyak kerutan dan rambutnya yang tipis serta penuh dengan uban yang
menandakan bahwa cobaan hidup yang dia alami sangat berat. Kadarwati menangis
sambil meminta maaf lalu mencium kaki suaminya Sulistya. Sulistya bersyukur
karena istrinya telah terbuka hatinya. Sulistya meminta kepada Kadarwati agar
melupakan masa lalu dan membangun kembali keluarga bahagia dan sejahtera
seperti yang diimpikan dulu ketika mulai berumah tangga. Setelah itu mereka
membahas kedekatan hubungan Satriyo dengan Susi dan juga Listi dengan Santosa.
Setelah Satriyo dan Listi pulang dari pesta Susi, Listy kaget karena ada bapak
Listyo (bapak Susi) di rumahnya. Ibunya mengatakan bahwa doamu sudah terkabul
nak karena bapakmu sudah datang. Listy masih bingung tapi kemudian dia mengerti
dari keterangan bapak dan ibunya. Mereka bahagia bisa berkumpul kembali. Suatu
hari Kadarwati, suami, ketiga anaknya dan Santosa pergi ke Jogja untuk
mengunjungi orang tua dan saudara-saudaranya yang selama 21 tahun sudah tidak
dikunjungi. Kedua orang tuanya bahagia melihat anak perempuannya yang dikira
sudah hilang datang diiringi oleh suaminya yang gagah dan ank-anaknya yang
cantik-cantik dan tampan. Orang tuanya kemudian diajak ke Jakarta sekalian dan
sebagai rasa syukurnya Kadarwati menepati nadzarnya yaitu mengadakan syukuran
dengan tetangga kanan kiri jika keluarganya bisa berkumpul kembali sekaligus
melakukan acara tunangan untuk kedua anaknya. Akhirnya Kadarwati mantu dan
Sulistyo serta Kadarwati memuji syukur kepada Tuhan karena sudah mempersatukan
keluarga mereka kembali.
3. Setting/pelataran
Setting merujuk pada hubungan tempat,waktu, dan terjadinya
peristiwa yang diceritakan.
Tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang
bersebab akibat yang perlu pijakan dimana dan kapan. Unsur latar /kategori latar selanjutnya dapat dikelompokan menjadi
3,yaitu :
1.
Tempat
2.
Waktu
3.
Peristiwa
Latar tempat yaitu tempat dimana suatu peristiwa itu terjadi. Latar
tempat yang terdapat didalam novel ‘’mendung kesaput angin’’ adalah sebagai
berikut :
·
Latar tempat :
1.lincak/amben :
’’sinambi teturon leyeh-leyeh ana ing lincak utawa amben’’………….kaca
7.
2.Ing senthong :
’’wong jare malah mung mugen ana senthong
kok,’’………………..kaca 7.
3.Ing papan kang peteng :
’’nanging dheweke sengaja milih papan kang peteng.’’…………………kaca
9.
4.Ing njaba :
’’ugi lagi lungguh ana ing njaba.’’……………………….kaca 9.
5.Ngisor wit jambu :
’’hiya ana ing sangisoring wit jambu kang
ngrembuyung.’’………………kaca 9.
6.Ing Betawi :
’’Sampeyan pun krama lan dedalem ing Betawi.’’………………kaca
9.
7.Pasar gambir :
’’Pasar Gambir iku
nek ana Yoja, kena diumpamakake karo keramean sekatenan.’’………kaca 14.
8.Ing kutha :
’’Pak Hadi ketemuan sadulure kang ana ing kutha.’’……….kaca 15.
9.Ing ngomah :
’’prawan mau terus mundur , mlebu ngomah lan ora ngetok
maneh.’’………..kaca 15.
10.Ing panere lawang :
’’mripate tansah ngewasake panere lawang kang dinggo
metu…..’’………..kaca 15.
11.Ing kursi :
’’jejaka mau isih lungguh ing kursi karo udut.’’……….kaca 15.
12.Pinggiring tempat tidur :
’’banjur mapan lungguh ana ing pinggiring tempat tidur.’’……kaca 15.
13.Omahe Sumadi :
’’para ibu padha nekani omahe Sumadi,’’………...kaca 18.
14.Plataran bawera :
’’kang duwe plataran bawera,cukup dinggo
lapangan badminton.’’………………kaca 18.
15.Bank :
’’Wong kangmas ngastane ana ing Bank wae kok.’’………………kaca
20.
16.Ing dokter gigi :
’’Dados kula lajeng kepeksa ndherekaken dhateng dokter gigi.’’…………..kaca
21.
17.Ing ndaleme mbakyu Guritno :
’’arep dijak dolan ing ndaleme mbakyu Guritno.’’………….kaca
22.
18.Ing wit jambet :
’’sampun katingal nylingkrik wonten ing wit jambet.’’………….kaca
22.
19.Ing Pasar Baru :
’’Kula ingkang kajibah madosaken barangipun ing Pasar
Baru.’’………….kaca 23.
20.Ing Fakultas Hukum :
’’badhe nglajengaken sinaunipun wonten ing Fakultas Hukum.’’……….kaca
24.
21.Ing kamar :
’’mbakyu Guritno banjur ngadeg mlebu ing kamar.’’…………..kaca
26.
‘’Kadarwati banjur ninggalake bojone lan mlebu ing kamar.’’…………….kaca
44.
22.Ing Lowakan :
’’Tiyang buku anggene kula tumbas namung wonten lowakan.’’…………….kaca
28.
23.Ing Glodok :
’’awit kepengen ngejak kowe lunga menyang Glodok.’’…………………kaca
36.
24.Sawah :
’’saka kono nyawang sawah kang katon ijo royo-royo.’’……………………….kaca
39.
25.Ing tengah-tengahing lawang :
’’awit ing tengah-tengahing lawang Sumadi katon nggejejer
ngadek,…’’……kaca 42.
26.Omah gedhek :
’’omah iku ya mung omah gedhek.’’……………..kaca 46.
27.Kantor :
’’sawise mulih saka kantor, Sulistyo banjur nindakake
gawean,….’’………………….kaca 47.
28.Ing dipan :
’’nalika padha ngaso ana ing dipan.’’……………….kaca 48.
29.Ndaleme dik Winarto :
’’nalika awak e dewe layat ana ing ndaleme dik Winarto.’’…………….kaca
50.
30.Ing paturon :
’’weroh celanane bojone sumampir ing paturon.’’………………….kaca
54.
31.Dhapur :
’’Sulistyo tangi lan banjur menyang dhapur.’’………….kaca 60.
32.Ing jedhing :
’’sawise iku banjur nimba, ngebaki jedhing terus
adus.’’……………kaca60.
38.Ing meja :
’’weruh layang gumlethek ana ing meja,…’’…………..kaca 61.
39.Omahe maratuwane :
’’dilacak nganti tekan omahe maratuwane.’’…………..kaca 63.
40.Ing Yoja :
’’banjur lagi arep tilik ana ing Yoja.’’………………….kaca 63.
41.Ing Kediri :
’’sakarone padha njujug disik ana ing Kediri.’’……………kaca
63.
42.Jatinegara :
’’manggone ana ing Pisangan Lama, ing Jatinegara.’’…………..kaca
64.
43.Kemayoran :
’’ana ing Kemayoran, wangsulane Kadarwati
gagap.’’……………kaca 65.
44.Surabaya :
’’Apa rayimu isih kotinggal ana Surabaya?’’…………….kaca 65.
45.Ing dalan :
’’wong mlaku ing dalan kang weruh
sesawangan.’’………………….kaca 73.
46.Wonogiri :
’’Baskoro lan ibu Onggo padha mulih menyang Wonogiri.’’……………..kaca
75.
47.Daleme Bu Sosro :
’’dene kudu mondhok ana daleme Bu Sosro.’’……………..kaca 75.
48.Ing Sala :
’’Baskoro enggal bisa oleh pegawean ana ing Sala.’’……………..kaca
75.
49.Stasiun Balapan Sala :
’’mulih marang wong tuwane, ing Stasiun Balapan Sala.’’………….kaca
76.
50.Mbulak :
’’inggih punika wonten ing Mbulak,’’……………..kaca 77.
‘’Sampun meh dugi ing Mbulak
ingkang gawat punika, Den,’’………………..kaca 77.
51.Pondhokan :
’’ora betah nganggur ana ing pondhokane.’’…………….kaca 77.
52.Warung :
’’yen kowe ngelih tukuo sega ana warung kana!’’……………….kaca
80.
53.Pasar gedhe :
’’ Aku isih arep menyang Pasar`Gedhe.’’…………………kaca 80.
54.Los-losan :
’’Kadrwati lan rewange banjur padha nuju marang Los-losan.’’……………….kaca
80.
55.Padesan :
’’sepur lakune saya suwe saya cepet, ngliwati padesan.’’……………..kaca 85.
56.Stasiun Tugu :
’’sepur wis mlebu Stasiun Tugu.’’…………………..kaca 85.
57.Ing Desa :
’’mung kala-kala bae mulih menyang Desa.’’………………….kaca 85.
58.Ndaleme Budhene :
’’ana ing kutha lan dititipake mondhok ana ing ndaleme Budhene.’’……………..kaca
85.
59.Papan Komandan :
’’enggal ninggal papan komandan mau lan
bali.’’……………….kaca 87.
60.Ing kursi :
’’supaya lingguh ana ing kursi ing
sangarepe.’’…………………kaca 88.
61.Kebon :
’’oara ana liya kajaba kudu mlayu menyang kebon.’’…………………..kaca 90.
62.Purwakerto :
’’nanging bareng ana ontran-ontran perang, padha mulih ing Purwakerto.’’…………….kaca
91.
63.Griya sakit :
’’sapunika taksih lerem ing griya sakit.’’……………….kaca 92.
64.Pos jagi :
’’sapengkeripun ibu-ibu mampir wonten pos jagi.’’……………….kaca
92.
‘’sakarone padha gugur, seda nalika pos jaga kita diserang musuh.’’………………….kaca 93. .
65.Plataran ngomah :
’’teka bareng ngambah plataran ngomah,’’………………kaca 93.
66.Ing Jatinegara :
’’Dene dalem kang ana ing Jatinegara.”……………..kaca 95.
67.Ing Grogol :
’’Kadarwati bisa oleh omah ana ing Grogol.’’…………………kaca 95.
‘’jib wes ninggal Grogol.’’……………kaca 96.
‘’yen ora katon ana ing
Grogol,..’’………………kaca 101.
68.Pasar Baru :
’’piye yen ngicipi es krim ana ing Pasar Baru.’’……………..kaca
96.
’’Panjenengan priksa aku
karo mas Baskoro padha blanja ana Pasar Baru.’’……………kaca 109.
69.Ing toko :
’’terus padha mlebu ing toko.’’………………kaca 96.
‘’Kadarwati metu saka toko.’’……………kaca 99.
70.Kafetaria :
’’sawise rampung anggone padha blanja,banjur padha marani kafetaria.’’……………kaca
96.
71.Ing fakultas :
’’nganti anake bisa nerusake sinaune ing fakultas.’’…………..kaca
101.
72.Ing SMP lan SMA :
’’kanggo ngenthengake sesanggane ibune, sarana padha ngajar ana ing SMP lan SMA.’’……………kaca 101.
73.Mangkunegaran :
’’palilahe arep njupuk putri saka Mangkunegaran.’’………………kaca
101.
74.Panglima Polim :
’’mesthi lagi ana ing Panglima Polim.’’………………….kaca
101.
‘’mengko ibu tindak panglima Polim.’’……………..kaca 106.
75.Luar negri :
’’wong Pak Sulistyo kuwi sering banget tindak luar negri.’’……………kaca
105.
76.Kamar :
’’Ikem rewange mlebu kamar.’’……………..kaca 106.
77.Ing Jakarta :
’’Kalebu akeh kok sing saiki ana ing Jakarta.’’……………..kaca
112.
78.Stasiun Tugu :
’’mbakyu lagi bae medun saka sepur,ana ing Stasiun Tugu.’’………………..kaca
112.
‘’anggonku ketemu karo panjenengane dhek ana Stasiun Tugu.’’…………..kaca
112.
79.Yoja/Bintaran :
’’Jeng, kula sapunika ngungsi wonten Yoja, wonten Bintaran.’’……………kaca
112.
80.Kamar ngarep :
’’padha lungguhan ana ing kamar ngarep.’’…………….kaca 113.
81.Ing jaba :
’’Sat ngejak kancane lungguhan ing jaba.’’……………..kaca 113.
82.Pasar Grogol :
’’Bu, dhik Susi kepengin arep weruh Pasar Grogol.’’……………kaca
121.
83.Jl.Tirtayasa :
’’Daleme Pakdhe Baskoro yo mung cedhak bae karo Jl.Tirtayasa…’’………..kaca
121.
89.Omahe Kadarwati :
’’ padha katon kumpul , ngebaki omahe Kadarwati.’’……….kaca
122.
·
Setting waktu :
1.Malam hari :
’’angembaring soroting rembulan
kang sumunar.’’…………….kaca 7.
2.Sore hari :
’’plataran kang wis disapu resik dhek mau sore.’’………………kaca
7.
3.Jam 12 malam :
’’Unah nyritakake anggone lunga menyang pasar jam 12 bengi.’’…………..kaca
7.
4.Pagi hari :
’’esuke bareng wes padha bali saka kutha…..’’……………….kaca 7.
5.Jam lima pagi :
’’jam lima esuk, kabeh keluarga pak Hadiwiyata wis padha nglumpuk.’’……………..kaca
12.
6.Sore jam 8 :
’’nalika iku wes sore jam 8, pak Hadi……………’’……………..kaca
15.
7.Jam satu malam :
’’watara jam 1 bengi , anggone jejagongan lagi padha leren.’’………………kaca 15.
8.Jam 2 siang :
’’nalika wayah jam 2 awan, wis ana sawetara wanita
kang padha kumpul.’’………………kaca18.
9.Kemarin :
’’pancen kala wingi sampun badhe
sowan…..’’…………………..kaca 21.
10.Besok :
’’kados pundi menawi benjing
yen giliran masak….’’……………….kaca 21.
Bab 4
11.Kemarin :
’’dhek wingi
kowe rak ngelem gudhek lan rendhang…..’’……………kaca 24.
12.Malam hari :
’’wong bengi-bengi
keng raka ya diaturi nyrempeng
ta.’’…………….kaca kaca 25.
13.Siang hari :
’’sampun wau siyang jeng.’’…………….kaca 25.
14.Jam 9 malam :
’’saiki jam 9
luwih, kurang prayoga kang arep tilik priyayi kang lagi gerah.’’…………………kaca28.
15.Jam 12 malam :
’’watara jam
12 banjur padha pamit,’’…………….kaca29.
16.Malam hari :
’’nalika wengi wis sepi,’’……………….kaca 29.
17.Pagi hari :
’’taksih enjing teka sampun kondur
dhik?’’…………………kaca 31.
18.Sore hari :
’’pancen wis dadi pakulinane saben sore.’’………………kaca 45.
19.Semalaman :
’’sewengi natas
Sumadi ora bias turu.’’……………….kaca 45.
20.Sore hari :
’’sawijining sore,
nalika lagi padha ngaso,’’……………kaca 48.
21.Pagi hari :
’’mau esuk, mbakyu Dewa rawuh mrene.’’………………….kaca 49.
22.Kemarin :
’’kaya dhek wingi bae….’’……………kaca 50.
‘’yen wingi aku ora
teka.’’………………….kaca 51.
23.Seminggu sekali :
”seminggu
sepisan Kadrwati
digawekake cabe lempuyang.’’……………….kaca52.
24.Beberapa hari :
”sawetara dina, Listi awake panas.’’………………..kaca 54.
25.Jam 9 malam :
”bareng jam 9
bengi, Sulistyo teka.’’…………………kaca 56.
26.Seharian :
’’sedina muput aku
ngenteni tekamu.’’……………..kaca 56.
27.Beberapa minggu :
”pirang-pirang
minggu ora bias tentrem.’’…………………kaca 57.
28.Sampai malam :
”lan nganti bengi, anake wis padha turu.’’………………kaca 59.
29.Pagi hari :
”tekan bangun esuk, Sulistyo ora bias turu.’’……………….kaca
60.
30.Hampir 7 bulan :
”kira-kira wis meh 7 sasi sliramu ana kene ya dhik?’’………………kaca
69.
31.Jam 10 malam :
”nalika deweke
mangkat karo Sajem jam 10 bengi.’’………………..kaca 76.
32.Malam hari :
”keprungu pating
klonthanging wengi ngunduri sepi iku.’’………………….kaca 76.
“wong wadon kang isih enom,
lunga bengi-bengi.’’……………………kaca 77.
“wengi kang sepi
nyenyet.’’………………kac a 79.
33.Siang hari :
”nanging nganti awan,
during ana wong kang gelem nuku.’’………………..kaca 79.
“serehna wis awan lan
wis uga krasa kesel.’’………………kaca 79.
34.Sore hari :
”ngarepake sore, sepur wis tekan papan kang
dituju.’’………………..kaca 86.
35.Jam 11 siang :
”water jam
11 awan, sepur wis mlebu Stasiun Tugu.’’…………………kaca 85.
36.Magrib :
”ngarepake surup
srengenge.’’………………..kaca 89.
37.Akhir tahun 1945 :
”akhir tahun
1945 Pemerintah Indonesia…’’……………….kaca
95.
38.2 tahun yang lalu :
”watawis kalih
taun kepangker mergi sakit typus.’’………………….kaca 98.
39. 5 tahun lalu :
”mula sepira leganing atine, nalika 5 tahun kepungkur.’’………………kaca
101.
40. 12 agustus :
”supaya saben
tanggal 12 agustus…’’…………………………kaca 102.
41. Jam 8 malam :
”Bu, mengko jam 8
bengi wong tuwane Susi….”……………….kaca 103.
42. Pagi hari :
”esuke Sat karo Listi wes katon padha mulih.’’……………..kaca 121.
43. Sore hari :
”arep sowan
eyang mengko sore.’’………………kaca 121.
44. Jam 11 siang :
”watara jam
11 awan, kabeh kuwarga……..’’kaca 122.
·
Setting suasana
Ramai :’’Bocah-bocah cilik padha
rame pating bengok,’’………………kaca 7.
‘’Kabeh keluarga Pak
Hadiwiyoto padha nglumpuk,’’………kaca 12.
‘’Pak Hadi ketamuan
sadulure saka kutha.’’………………….kaca 15.
‘’Mula platarane
Sumadi ajek katon rame.”…………………..kaca 16.
Sepi :”Nalika wengi wis sepi,’’……………..kaca 29.
‘’Tekan
ngomah,atine wes ngrasa khawatir, jalaran omahe katon sepi kabeh.’’……kaca62.
‘’Kaanane omah
katon sepi,’’…………….kaca 64.
Tegang :”Kadarwati ora kepenak ditinggal ijen karo
Sulistyo.’’………………kaca 26.
“Sanalika raine katon
pucet lan badane gemeter, awit ing tengah-tengahing lawang Sumadi katon
nggejejer ngadek.’’…………..kaca 42.
4.
Tema novel Mendhung Kesaput Angin
Tema utama novel Mendhung Kesaput
Angin karya Ag. Suharti adalah Penderitaan hidup sedangkan sub temanya
adalah penderitaan hidup di masa lalu akhirnya menjumpai kebahagiaan di
masa depan. Kisah novel ini menceritakan perjalanan hidup seorang gadis
yang bernama Kadarwati yang menikah dengan Sumadi pria pilihan orang tuanya
yang semula tidak dicintainya namun demikian rumah tangga mereka lama kelamaan
terlihat mesra dan tentram. Ketentraman itu berubah karena adanya godaan
seorang perjaka bernama Sulistyo yang mencintai Kadarwati begitu pula Kadarwati
sebaliknya sangat mencintai pemuda itu. Hal ini akhirnya diketahui oleh
Suaminya Sumadi dan menyebabkan perceraian antara Kadarwati dan Sumadi.
Selanjutnya Kadarwati membangun rumah tangga baru dengan Sulistya dalam hidup
yang penuh prihatin, tinggal di rumah sewaan yang terbuat dari bambu. Rumah
tangga yang mereka bina hanya bertahan 1,5 tahun karena Sulistya mendapat goda
menghamili gadis bernama Partiningsih. Akhirnya karena Kadarwati sakit hati dan
tidak rela dimadu maka ia kabur dari rumah suaminya Sulistya dengan membawa
kedua anaknya. Penderitaan hidup yang dialami Kadarwati itu karena hukum
karmanya telah mengkhianati cinta suaminya Sumadi yang tulus murni dan watak Kadarwati
yang keras hati dan tidak dipikir dengan logika yang jernih akibat akhirnya.
Sejak perpisahan itu Sulistya menderita, hatinya sakit, terlunta-lunta karena
terus kepikiran di mana keberadaan anak istrinya yang dia cintai begitu pula
Kadarwati hidupnya sengsara, prihatin karena harus mencari nafkah sendirian
untuk dirinya dan kedua anaknya dan sesungguhnya hatinya senantiasa merindukan
Sulistya. Perpisahan antara Sulistya dengan Kadarwati beserta anak-anaknya berlangsung
± 20 tahun. Pada suatu hari berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa Sulistya dipertemukan
kembali dengan Kadarwati lantaran mengetahui kedua anaknya menghadiri pesta
ulang tahun Susi (anak Sulistyo dengan Partiningsih) sehingga Sulistya datang
ke rumah Kadarwati dan meminta maaf. Mereka berdua saling menangis dan memaafkan
satu sama lain. Akhirnya mereka sekeluarga bisa berkumpul kembali membangun
keluarga yang bahagia, sejahtera, dilimpahi banyak harta seperti yang diimpikan
ketika memulai hidup bersama.
5.
Sarana-sarana Sastra
A.
Judul
Judul novel karangan Ag. Suharti
yang kami analisis ini adalah Mendhung Kesaput Angin. Mengapa novel ini diberi
judul Mendhung Kesaput Angin? Karena mengacu pada latar belakang kisah tokoh
utama yang terdapat dalam novel tersebut yaitu Kadarwati dan Sulistya yang
menerima berbagai macam ujian dan penderitaan, menanggung sengsara batin.
Penderitaan yang mereka berdua alami ini karena mendapat karma dari Tuhan Yang
Maha Esa dan juga karena sikap nalar yang dangkal dan tidak berpikir panjang
apakah akibat akhirnya. Uraiannya adalah sebagai berikut:
Pertama tokoh Kadarwati yang sudah
berumah tangga dengan Sumadi pria yang sudah bisa nyembadani berbuat serong
dengan Sulistya hingga akhirnya pada suatu hari ketahuan suaminya dan
menimbulkan pertengkaran hebat yang berujung pada perceraian kemudian Kadarwati
menikah dengan Sulistya dan membangun hidup baru di sebuah rumah sewaan yang
terbuat dari bambu dengan perabot rumah tangga yang serba minim walaupun tanpa
restu orang tua dan banyak saudara yang mencacat.
Kedua, namun demikian keluarga yang
mereka bangun hanya bertahan ±1,5 tahun karena Sulistya mendapat goda menghamili
gadis bernama Partiningsih dan terpaksa menikahinya.
Dari perbuatan yang dilakukan oleh 2 tokoh utama tersebut maka
mereka mendapat hukuman yang setimpal dari Tuhan. Mendengar suaminya telah
berbuat serong, Kadarwati bersama kedua anaknya pergi dari rumah suaminya tanpa
izin karena terlanjur sakit hati akibat cintanya yang suci telah dikhianati dan
tidak ingin dimadu. Selama Kadarwati berpisah dari suaminya hidupnya prihatin
karena harus mencari nafkah untuk dirinya dan kedua anaknya meskipun masih
dibantu Baskoro kekasihnya ketika masih muda dan menanggung sengsara batin
karena sesungguhnya dia senantiasa merindukan suaminya Sulistyo. Begitupula
Sulistyo hidup menderita, terlunta-lunta karena berpisah dengan anak istri yang
dia cintai. Hukuman itu berlangsung selama 20 tahun.Hingga akhirnya pada suatu
hari mereka dipertemukan kembali lantaran Satriyo anak buah perkawinannya
dengan Sumadi mencintai Susilowati anak Sulistyo dengan Partiningsih. Dengan
kemurahan Tuhan mereka akhirnya berkumpul kembali membangun keluarga yang
bahagia, mulya dan dilimpahi banyak harta seperti yang mereka impikan ketika
awal mula membangun keluarga karena Sulistyo sudah menjadi seorang pengusaha
dagang yang sukses dan menjadi presdir.
Demikianlah alasan mengapa novel
karangan Ag. Suharti tersebut diberi judul Mendung Kesaput Angin
berlatar belakang pada kisah tokoh utama sepasang suami istri yang bernama
Kadarwati dan Sulistyo yang semula hidup prihatin, terlunta-lunta hatinya
karena pilihan hidup yang mereka ambil namun akhirnya dapat hidup bahagia,
mulia dan dilimpahi oleh banyak harta seperti yang mereka impikan dari awal
mula membangun hidup bersama lantaran Sulistya sudah menjadi orang yang sukses
dan anak-anak mereka sudah menjadi sarjana.
B.
Sudut pandang
·
Orang
pertama pelaku utama
”Gagasanmu ora beda adoh karo bulik, ya bulik sing gawe`sengsarane
urip ku.’’ (halaman 10).
“Bapakne Listi,…..apuranen sekabehing keluputanku” (halaman 110).
“Ora Sat, ibu bungah-bungah bae, menawa kowe pancen wis ndue
pandengan” (halaman 103)
·
Orang
ketiga serba tahu
“Kanti sangu
ati suwung, sepi ing seneng, Kadarwati kepeksa ninggalake alam remaja kang kebak
pangangen-angen.’’ “Nalika Sulistyo mulih, tekan ngomah atine wis krasa
kuwatir,....” (halaman 10).
“Kadarwati isih
klisikan, durung bisa ngeremake mripate” “Nalika Sulistyo mulih, tekan ngomah
atine wis krasa kuwatir,....” (halaman 29).
Kadarwati lagi ndondomi
klambine anake, nalika Sajem ngandakake ana tamu.” “Nalika Sulistyo mulih,
tekan ngomah atine wis krasa kuwatir,....” (halaman 31).
“Nanging
Kadarwati tansah eling uripe sing wingi-wingi, kebak pait getir iku.” “Nalika
Sulistyo mulih, tekan ngomah atine wis krasa kuwatir,....” (halaman 95).
“Umure
Kadarwati wis ndungkap 42 tahun, saiki rambute sawetara wis ana sing katon
putih.’ “Nalika Sulistyo mulih, tekan ngomah atine wis krasa kuwatir,....” (halaman
101)
C.
Gaya dan Tone
Bahasa yang digunakan oleh pengarang
dalam novel yang berjudul “Mendhung Kesaput Angin” adalah bahasa krama
alus dan ngoko alus. Pengarang sangat detil dalam menceritakan novel tersebut
mulai dari awal hingga akhir sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami jalan
cerita masing-masing tokoh. Bahasa novel ini sarat dengan kata, kalimat dan
ungkapan kesedihan yang dialami oleh banyak tokoh. Keprihatinan banyak tokoh
yang ada di dalamnya seperti Baskoro yang tidak tega melihat penderitaan wanita
yang dicintai di masa lalu, keprihatihan Kadarwati, keprihatinan Sulistyo yang
berpisah dengan anak istri yang dia cintai dan juga keprihatinan bu Onggo yang
memikirkan anaknya meninggal di medan perang hingga akhirnya meninggal. Keprihatinan
tokoh Kadarwati, misalnya seperti dalam kutipan berikut :
“Kadarwati kaca-kaca nyawang wong
telu mau.
Kadarwati ngekep dhadhane kang
dumadakan krasa lara, krasa sesak. Sirahe gedheg-gedheg...”
“Kadarwati trenyuh krungu celathune
Baskoro kang mengkono iku.”
Bahasa novel ini selain sarat dengan
ungkapan-ungkapan sedih juga penuh dengan cerita sejarah zaman penjajahan
Belanda dan Jepang di Indonesia yang menunjukkan bahwa novel ini mungkin dibuat
ketika masih zaman perang (Belanda dan Jepang menjajah Indonesia) atau mungkin
perang sudah berlalu tapi pengarang masih ingat dengan peristiwa semasa
peperangan sehinga beliau ingin menjadikan kisah zaman peperangan tersebut
sebagai latar suasana novel karyanya.
Dalam novel ini juga terdapat gaya
bahasa yang menyebabkan bahasa novel menjadi indah, misalnya adalah kalimat
yang dibubuhi gaya bahasa perumpamaan, seperti berikut:
“Anak lan bojo kang ditresnani
kaya-kaya wis ilang tapak tilase, kaya ambles ana ing bumi.”
“Sulistyo lungguh tanpa obah, kaya
tugu sinukarta.”
Selain itu penggunaan
istilah-istilah seperti ketupat bangkahulu, pesta emas, dan lain-lain juga
menjadikan bahasa novel semakin berkualitas dan enak dibaca.
Tone yang
terdapat dalam novel Mendhung Kesaput Angin ini antara lain sebagai berikut:
A.
Tone
benci
“Nek aku sepisan gething, ya tetep gething bae. Apa maneh karo wong
siji iki...marga dheweke...aku...aku dadi sangsara.” (halaman 9)
“Sampun, Den, sapisan punika kemawon kita sade areng, Sajem
nelakake ora senenge atine.”
“Kowe...kowe...,”celathune
Kadarwati gagap. Badane sakojur katon gemeter, mripate kebak pancaran kanepson,
mandeng Sulistyo.” (halaman 80)
“Dheweke gething banget marang priya mau,...” (halaman 79)
“Atine ngrasa perih, tanpa upama...” (halaman 97)
B. Tone sedih
“...,
Kadarwati nangis mingseg-mingseg.” (halaman 10)
“Kanthi sangu ati suwung, sepi ing seneng, Kadarwati kapeksa
ninggalake alam remaja kang kebak ing pangangen-angen...” (halamn 10)
“Kowe putrane bapak sing bagus tenan, Sat, kowe mesakake karo bapak.
Satriyo dirangkul kanthi trenyuh.” (halaman 59)
“Luhe kang panas, dleweran nelesi kajang sirah. Kadarwati nangisi
uripe kang wis kapungkur.” (halaman 55)
“Saking
keranta-rantaning atine, dheweke nganti nangis.” (halaman 60)
“...,dheweke
wis ora kuwawa maneh wusana eluhe dleweran nelesi pipine.” (halaman 66)
“Atine
melu trenyuh mikir nasibe Kadarwati.” (halaman 66)
“...,
celathune Sulistyo kebak rasa sedhih mandeng marang Kadarwati.” (halaman 67)
“Baskoro,
mripate uga kaca-kaca karanta-ranta.” (halaman 94)
“Guritno
ora bisa nahan trenyuhing atine,...” (halaman 99)
C.
Tone
berdebar-debar hatinya
“Mak pyur, sanalika atine ngrasa dheg-dhegan, geter. Pemudha mau terus
mandeng dheweke, mripate kang ruruh tajem, kaya-kaya nrabas nusuk relunging
atine.” (halaman 24)
“Kadarwati...,”ucape tamu mau ndhredheg.” (halaman 106)
D.
Tone
khawatir
“Kadarwati
rumangsa ora kepenak ditinggal ijen karo Sulistyo,...” (halaman 26)
“Sawengi
natas Sumadi ora bisa turu, pikire ora jenjem lan bunek banget.” (halaman 45)
“...,atine saya krasa kurang kepenak,...” (halaman 65)
“..., celathune Satriyo kang katon banget wiwit ora jenjem atine.” (halaman
78)
“Wiwit ana ing ndalan atine wis krasa ora kepenak.” (halaman 93)
“..., dheweke banjur krasa, yen ana kadadeyan kang ora gawe enaking
piker.” (halaman 93)
“Aku
krasa yen ana apa-apa kang ora gawe enaking pikir.” (halaman 93)
“...,
sakala Kadarwati ngrasa geter.” (halaman 105)
“Nalika
Sulistyo mulih, tekan ngomah atine wis krasa kuwatir,....” (halaman 45)
E.
Tone
penyesalan
“Kadarwati nangisi uripe kang wis kapungkur. Kena apa ora dhek
awake isih kenya anggone ketemu Sulistyo?” (halaman 29)
“Darwati,
aku njaluk pangapuramu saka lancanging tindakku mau...” (halaman 57)
“Kuciwanipun Ibu mboten rawuh, eyang
kakung putrid sami gela penggalihipun.” (halaman 121)
F.
Tone
kagum atau heran
“Dhek Listyo
lajeng badhe krama?” celathune Kadarwati gawok.” (halaman 41)
“Aku dhewe ya
gumun, apa karepe dhik Listyo kerep teka rene...” (halaman 36)
“Listi isih
during jumangkah, during mari anggone gumun.” (halaman 115)
G.
Tone
malu
“O, sapira
wirange Kadarwati krungu kabar kang mengkono iku.” (halaman 42)
“Kadarwati,
nangis mingseg-mingseg tangane loro pisan dienggo nutupi raine.” (halaman 42)
H.
Tone
malas
“Nanging
sadhela bae wis diselehake, jalaran krasa aras-arasen.” (halaman 40)
I.
Tone
penuh birahi
“Sulistyo
banjur ngadeg marani Kadarwati lan sawise ngadeg cedhak ana ing sangarepe
wanita mau, tangane banjur nyekel lan ngangkat janggute terus tumungkul
lan...lambene Kadarwati banjur dikecup kanthi birahi.” (halaman 42)
J.
Tone
takut
“..., nanging Kadarwati
mundur ngendhani. Lan sanalika raine katon pucet, badane gemeter, awit ing
tengah-tengahing lawang ana Sumadi katon nggejejer ngadeg.” (halaman 42)
“...,Kadarwati ngedhap atine.” (halaman 77)
“..., celathune
Kadarwati kanthi rasa kang ora karu-karuan, dheg-dhegan, kuwatir, miris, campur
bawur dadi siji.” (halaman 78)
“Bu Mangku
katon pucet krungu ucapane Sulistyo...” (halaman 87)
“Kadarwati
krasa dheg-dhegan lan ora kendhat nyenyuwun marang pangeran,...” (halaman 79)
“Ing atine
terus ketuwuhan rasa wedi kang tanpa upama.” (halaman 80)
“Ing dalan
rasane Kadarwati wis ora karu-karuan, tansah dheg-dhegan lan nratab” (halaman 81)
K.
Tone
marah
“Dene Sumadi,
abang mbranang raine kagawa saka nepsune.” (halaman 42)
“Darwati...!”Sulistyo
katon abang polatane,...” (hal. 109)
L.
Tone
penuh keikhlasan
“Nanging kang
mengkono mau pancen wis jaragan, mula iya ditampa kanthi eklasing ati.” (halaman
46)
“Mula saiki ya
kudu wani ndhadha, rila lan tabah ngadhepi pacobaning urip sateruse.” (halaman 46)
“Keparenga aku
ngaturake bela sungkawaku kang tulus eklas, Mas.” (halaman 93)
“..., Manawa
kanthi tulus eklasing ati, aku rila kowe dadi sisihane mas Baskoro.” (halaman
108)
“Sapira gedhene
panarimane marang sisihane,...” (halaman 116)
M.
Tone
romantis
“Tangane
ngelus-elus tangane bojone kang dirangkulake ing gulune.” (halaman 48)
“Sulistyo
ngasokake kapange kang wis direndhem rong puluh taun lawase, Kadarwati
dirangkul kenceng, diarasi kanthi trenyuhing ati.” (halaman 120)
N.
Tone
bingung
“Bareng
pamacane saya diterusake suwe-suwe tangane katon saya wel-welan. Kadarwati
lemes, bayune kaya dilolosi lan sanalika rasa pet-petan.” (halaman 55)
“Kadarwati saya
bingung, arep lunga menyang dokter...” (halaman 55)
“Wis ana
sawatara dina iki pikiranku pancen buneg lan bingung.” (halaman 58)
“Listi banjur
gagap, ora bisa nerusake guneme, pikire banjur ruwet,...” (hal. 115)
O.
Tone
tegang
“Apa kandhamu, Darwati, kowe nganggep sepele...” (halaman 57)
“Darwati, dadi kowe njarag nyepelekake aku.” (halaman 57)
“Plok!!!tangane Sulistyo kumlawe, kagawa saka wis ora bisa nahan
nepsune. (halaman 57)
P.
Tone
penuh imaji
“Pancen aku
sing wong cubluk, wani-wani ngimpi bisa nggayuh urip mulya ing sisihe priya
sembada.” (halaman 59)
Q.
Tone
sakit hati
“Atiku wis dijuwing-juwing,
digawe remuk sumyur. Tindake kang natoni atiku, ora bakal bisa ndaklalekake...”
(halaman 70)
R.
Tone
penuh rasa syukur
“Sokur
Alhamdulillah, kita sampun dipunparingi kawilujengan, Den.” (halaman 79)
“Sokur, kabeh
pepuji konjuk ing ngarsane Pangeran. Panyuwune wanita sakarone dilulusake
dening Pangeran,...” (halaman 79)
“Rahayune
sabanjure ora ana alangan sawiji apa. Nganti tekan Jakarta, diparingi slamet.” (halaman
82)
“Sokur Baskoro
sajak ora nggatekake tekane kulawarga Guritno...” (hal. 97)
“Darwati,
sapira puji sokurku marang pangeran kang maha mirah,...” (hal. 110)
“Sapira suka
sokure wong tuwane sakarone, nalika priksa putrane kang dikira ilang,...” (hal.
122)
S.
Tone
penuh kelegaan
“Atiku krasa
lega, bisa ketemu sliramu,...” (halaman 104)
“Mula sapira
leganing atine, nalika limang taun kapungkur,...” (hal. 101)
T.
Tone
penuh rasa rindu
“Rasa kangen
lan trenyuh ngebaki dhadhane.” (halaman 76)
“Sulistyo meh
bae ora kuwawa maneh nahan mbludaging atine...”(hal. 97)
U.
“Tone
penuh rasa cinta
“...nanging ora
kuwawa nglalekake priya mau.” (halaman 92)
“Ketang
tresnane marang bapa,...” (hal. 102)
“O, temtu
kemawon dalem tresna dhateng bapak,...” (hal. 115)
V.
Tone
penuh kesabaran
“...,celathune
Sulistyo kebak kesabaran.” (halaman 108)
“Sulistyo unjal
ambegan, disabar-sabarake atine ngrungokne...” (hal. 108)
W.
Tone
ironi
“Badane kang
kukuh, kuwat,...malih dadi kuru lan rada bungkuk, marahi katon luwih tuwa
katimbang Baskoro, kang satemene luwih tuwa enem taun.” (halaman 91)
X.
Tone
kaget
“Kadarwati
kaget lan banjur ngeculake rangkulane anak-anake.” (halaman 93)
“Kadarwati saya
kaget nanging terus bisa nguwasani pangrasane.” (hal. 98)
Y.
Tone
angkuh
“...dene Kadarwati isih ngatonake sikape kang angkuh.” (hal. 98)
Z.
Tone
sungkan
“Satriyo mung gumuyu lan katon rikuh,...” (hal. 98)
AB. Tone pucat
“..., tanpa merduli Sulistyo kang katon pucet, ngusapi riwene saka
bathuke.” (hal. 99)
AC. Tone
bahagia
“Kadarwati
ora cilik atine, malah melu bungah.” (hal. 101)
“...,
Bapak...ooo dalem tansah ngajeng-ajeng konduripun bapak.” (hal. 115)
“Anakku,
bapak krasa gedhe penggalihe,...” (hal. 115)
“Ing sabanjure, sakarone padha
ngrasakake urip tentrem lan ayem,...” (hal. 123)
AD. Tone boring
/ bosan
“Manawa pikire lagi buneg, Listi banjur menyang Kemayoran.” (hal.
102)
AE. Tone
penuh misteri
“Sapa satemene
Sulistyo kang dikandhakake anake iku. Saupama wong iku pancen Sulistyo
temenan.....” (halaman 106)
“Saupama pancen
bener Susi iku anake Sulistyo karo Partiningsih...” (hal. 106)
AF. Tone
seperti mimpi
“..., nanging
Kadarwati ora bisa lali marang jenggerenge lan suwarane. Tangane nyaput
raine,...” (halaman 107)
D.
Simbolisme
Simbolisme
yang terdapat dalam novel “Mendhung
Kesaput Angin” antara lain sebagai berikut :
1.
Kacu “sapu tangan”
Sapu tangan Kadarwati yang jatuh ketika berada di rumah mbakyu
Guritno diambil dan disimpan oleh Sulistyo. Sapu tangan itu oleh Sulistyo
dianggap sebagai simbol pengganti diri Kadarwati. Setiap Sulistyo melihat sapu
tangan tersebut dia merasa seperti berduaan dengan Kadarwati.
2.
Sesupe nikah “cincin perkawinan”
Cincin perkawinan yang dijual Kadarwati ketika anaknya sakit
merupakan simbol bersatunya dua insan yang saling mencintai yaitu Sulistyo dan
Kadarwati.
3.
Surat Partiningsih
Surat Partiningsih yang dikirimkan kepada Sulistyo merupakan simbol
bentuk permintaan pertanggungjawaban Partiningsih kepada Sulistyo agar dia mau
menikahi Partiningsih demi membersihkan nama bayi tanpa dosa yang sedang
dikandung oleh Partiningsih. Karena akibat perbuatan yang hanya menuruti nafsu
birahi tersebut membuahkan wiji kang urip “janin” yang bersemayam di dalam
rahim Partiningsih.
E.
Ironi dalam novel Mendhung Kasaput
Angin
“Wasana Baskoro sakulawarga (manut
keyakinane Sulistyo) wis padha ngadeg arep padha mulih.” (halaman 97)
Kutipan di atas Sulistyo menyimpulkan
bahwa Kadarwati dan Baskoro sudah berkeluarga dengan kata lain mereka sudah
menikah, karena jika dilihat dari sikap dan kedatangan Baskora, Kadarwati,
Satrio dan Listi sudah mencerminkan sebuah keluarga kecil yaitu bapak, ibu dan
dua anak. Padahal sebenarnya Kadarwati dan Baskoro tidak menikah dan bukan
sebuah keluarga seperti anggapan Sulistyo.
‘’ “Oh,”
gagasane Kadarwati, “saiki anake wis loro.”
Wanita mudha mau kira-kira barakan karo dheweke, pancen ayu rupane. Sokur dene
baskoro sajak ora ngatekake tekane kulawarga Guritno lan kulawarga Sulistyo,
sebab lagi ngladeni Listi kang aleman.” (halaman 97)
Kutipan di atas termasuk ironi karena
Kadarwati juga beranggapan bahwa Sulistyo sudah menikah dan hidup bahagia
dengan selingkuhannya yang dulu Partiningsih namanya. Kadarwati mengira bahwa
wanita muda yang duduk di sebelah Sulistyo dan menggendok anak kecil itu adalah
Partiningsih dan anak hasil perselingkuhan dengan Sulistyo. Tetapi anggapan
Kadarwati salah, wanita muda itu bukan Partiningsih tetapi istri kedua dari
Guritno.
“Saiki kaanane Sulistyo beda banget karo
dhek semana. Badane kang kukuh, kuat, waras wiris, malih dadi kuru lan rada
bungkuk, marahi katon luwih tuwa katimbang Baskoro” (halaman 91)
Kutipan di atas tergolong ironi karena
pengungkapan keadaan fisik Sulistyo dan penggunaan perbandingan umur Sulistyo
dan Baskoro “marahi katon luwih tuwa
katimbang Baskoro” padahal sesuai realita umur Sulistyo lebih muda daripada
Baskoro dibuktikan dari kutipan teks berikutnya “kang satemene luwih tuwa 6 taun.”
Amanat
dalam novel Mendhung Kasaput Angin
1.
Jangan
suka membicarakan keburukan orang lain
2.
Menghibur
teman yang sedang sedih
3.
Memberi
perhatian kepada teman yang mengalami masalah.
4.
Seorang
anak juga berhak memilih jalan hidup dan pendamping hidupnya sendiri.
5.
Menjaga
kesehatan dengan teratur berolahraga.
6.
Menjaga
tali silaturahmi dengan keluarga yang lain.
7.
Mau
belajar walaupun sudah tua.
8.
Dapat
berbagi berkat kepada orang laing yang membutuhkan.
9.
Sebagai
seorang istri harus mampu melayani suami yang baik.
10. Tidak baik jika seorang
wanita yang sudah mempunyai suami sering kedatangan tamu pria jejaka saat
suaminya tidak berada di rumah.
11. Setia kepada suami
12. Tidak mengandalkan
egoisme pribadi.
13. Tetap menghormati suami
walau bagaimanapun.
14. Selalu berusaha dan
berani mencoba hal-hal yang baru demi mencapai cita-cita.
15. Berani membela
kemerdekaan tanah air walau nyawa taruhannya.
16. Mau memaafkan kesalahan
orang lain.
17. Ikhlas dan tabah
menjalani cobaan hidup.
18. Memberi yang terbaik
untuk masa depan anak.
19. Tidak pernah putus asa
dalam mencapai cita-cita.
20. Selalu ingat pada Tuhan
sumber pertolongan.
21. Berteman dengan banyak
orang.
22. Saling tolong menolong
walaupun pada orang yang baru dikenal dengan ikhlas.
23. Patuh pada nasehat
orang tua.
24. Belum tentu apa yang
dimaksud terbaik dari pandangan orang tua, juga terbaik bagi anak.
25. Selalu berfikiran
positif pada orang lain.
26. Dalam setiap pencobaan
hidup yang sulit pasti ada jalan jika mau berusaha dan akan membuahkan hasil
yang baik pula.
BAB 4
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan menggunakan teori struktural Robert Stanton dalam
menganalisis unsur-unsur struktural novel Mendhung Kesaput Angin karangan Ag. Suharti ternyata ditemukan unsur-unsur struktural
novel tersebut sesuai dengan unsur-unsur struktural yang terdapat dalam teori
fiksi Robert Stanton yaitu fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, alur,
latar, tema, serta sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang,
gaya dan tone, simbolisme dan ironi. Ternyata dalam analisis struktural unsur yang meliputi: karakter, alur, latar, tema, serta sarana-sarana
sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi
mempunyai keterkaitan antara unsur satu dengan unsur yang lain membentuk sebuah
kesatuan yang runtut dan menghasilkan makna dalam karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Ag. Suharti.
1980. Mendhung Kesaput Angin. Jakarta : PN Balai Pustaka.
Burhan
Nurgiyantoro. 2010. Teori Pengkajian
Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Jan Van,
Luxenburg, Miekel Bal, Willem G. Weststeijn. 1984. Pengantar Ilmu Sastra Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: PT.
Gramedia.
Rachmat Djoko
Pradopo, 2007. Pengkajian Puisi.
Gadjah Mada Uiversity Press.
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori,
Metode, Teknik dan Kiat. Yogyakarta: unit Penerbitan Sastra Asia Barat,
Fakultas Ilmu Budaya Univesritas Gadjah Mada.
Stanton, Robert.
2007. Teori fiksi (edisi terjemahan oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wellek, Rene dan
Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan
(edisi terjemahan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
SINOPSIS NOVEL MENDHUNG KESAPUT ANGIN
Disuatu malam yang diterangi rembulan yang bersinar, orang-orang
desa berkumpul diluar setelah seharian penuh bekerja keras memeras tenaga
disawah dan dikebun. Prawan-prawan yang
ada di desa itu berkumpul menceritakan apa yang dialami seharian saat mereka
berjualan. Sedangkan Kadarwati saat itu tidak ikut bergabung teman-temannya di
luar . Kata Wagirah, teman sebayanya ia menyendiri di senthong. Lalu
prawan-prawan itu membicarakan Kadarwati yang katanya akan dijodohkan oleh
orang tuanya dengan seorang pemuda
bernama Sumadi, yang sudah
memiliki pangkat dan menjadi mantri guru serta masih saudara dengan Den Bei,
orang tua Kadarwati tetapi Kadarwati merasa tidak senang dengan perjodohan itu.
Di saat teman-temannya membicarakan dirinya, dia sedang duduk di tempat yang gelap yaitu
dibawah pohon jambu yang lebat. Tidak lama kemudian ia didekati oleh perempuan setengah tua untuk menyuruhnya makan, tetapi
Kadarwati menolaknya, dan kemudian Kadarwati menangis karena tidak ingin
dijodohkan dengan pemuda itu.
Jam lima pagi keluarga Hadiwiyata berkumpul untuk mengantar
kepergian Kadarwati ke Betawi bersama suaminya.
Bu Hadi memberikan wejangan kepada Kadarwati agar dia bisa abadi melayani suami
dan diikuti oleh adik-adiknya yang mengucapkan selamat jalan ketika kereta
sudah hampir berjalan. Hati Kadarwati sedikitpun tidak tergugah, justru dia
merasa seperti anak yang dibuang oleh orang tuanya. Di dalam kereta, Kadarwati
kelihatan pucat, ibu mertuanya menyuruh
untuk merapatkan mantelnya. Kadarwati memang sedang sakit,semenjak tiga hari setelah pernikahannya , dia
terpaksa tidak bisa bangun karena kecapekan. Karena liburnya Sumadi sudah
habis, dia terpaksa diboyong ke Betawi oleh suaminya.
Pertemuan Kadarwati dan Sumadi berawal dari kepulangan Sumadi untuk
menjenguk kedua orang tuanya, utamanya bapaknya yang beberapa tahun terakhir
sudah memiliki penyakit asma. Ketika sampai di rumah orang tuanya, tanpa
menunggu 2 / 3 hari, Sumadi langsung diajak berkunjung ke rumah saudaranya di
desa, pastinya yang mempunyai anak gadis. Padahal Sumadi
tidak mau namun ibunya membohongi dengan alasan tidak akan mengunjungi saudara
yang punya anak gadis. Keluarga Soma pertama-tama mengunjungi keluarga Dwijo
dan kemudian mereka bersama-sama mengunjungi rumah pak Hadiwiyoto yang
mempunyai anak gadis bernama Kadarwati. Sesampainya di rumah bu Hadi , Sumadi
mengetahui Kadarwati menyuguhkan minuman, akhirnya lambat laun ia tertarik dan jatuh cinta kepada Kadarwati
sehingga akhirnya mereka berjodoh.
Saat Kadarwati sudah menjadi istri Sumadi, ia memiliki kebiasaan
bersama ibu-ibu setiap sore hari 2
minggu sekali yaitu bermain badminton, mereka bermain di halaman rumah Sumadi
yang memiliki halaman yang luas.. Ketika kira-kira jam dua siang banyak para
ibu-ibu yang sudah berkumpul dan ngobrol-ngobrol.
Suatu ketika Kadarawati
mengajak anaknya Sat pergi ke rumah mbakyu Guritno mbakyu Guritno untuk
belajar melukis. Ketika itu, adik ipar
mbakyu Guritno datang dan akan meneruskan belajarnya di Fakultas Hukum.
Kadarwati kemudian berkenalan dengan Sulistyo. Ketika Kadarwati beradu pandang dengan Sulistyo, hatinya
merasa deg-degan dan gemetar. Saat mereka saling bercakap, Sulistyo banyak
memuji Kadarwati. Ketika mbakyu Guritno masuk kamar, Kadarwati merasa tidak
enak ditinggal sendirian dengan Sulistyo lalu dia mengikuti mbakyu Guritno
masuk kamar. Ketika keluar kamar, Kadarwati merasa tenang karena Sulistyo sudah
tidak ada. Tidak tau kenapa hatinya merasa tidak tenang. Sebenarnya ia masih
ingin berbincang-bincang dengan pemuda itu, tetapi ia merasa khawatir dan
merasa tidak enak.
Ketika malam yang sepi, di mana orang-orang sudah tidur pulas, begitu
juga dengan Sumadi, Kadrawati belum bisa tidur. Pemuda yang bernama Sulistyo
tadi masih membayangi pikirannya. Ketika
ia kenal dengan seorang laki-laki yang gagah, bahkan dengan bekas temannya yang
dahulu pernah saling mengikat janji sehidup semati ia tidak
memiliki daya tertarik yang sebegitu hebatnya, n amun setelah ketemu dengan
Sulistyo, pemuda itu terus membayangi
pikiran dan hatinya.Kadarwati sadar, dia harus bisa menahan godaan ini.
Dalam hati dia menyesal, kenapa tidak dahulu saja sebelum menikah ia kenal
dengan Sulistyo.
Ketika Kadarwati sedang menjahit baju anaknya , Sajem datang dan
memberi tahu bahwa ada tamu. Ketika dia tahu siapa tamunya, dia merasa senang
karena tamunya adalah Sulistyo dan mereka banyak mengobrol bersama. Sulistyo
tidak ingin melanjutkan kuliahnya, bahkan ia ingin bekerja dan menikah. Setelah
beberapa lama ia mengobrol, kemudian Sumadi datang, lalu ikut berbincang
bersama Sulistyo namun tidak lama kemudian Sulistyo pamit ingin pulang. Sumadi
merasa sedikit curiga karena setiap dia tidak ada di rumah, Sulistyo selalu
datang kerumahnya dan menemui istrinya tetapi ketika Sumadi pulang, tidak lama
kemudian Sulistyo juga pamit pulang. Sumadi menyuruh Kadarwati agar setiap
Sulistyo datang jangan ditemui dan disuruh beralasan sibuk. Karena hal itu bisa
menimbulkan fitnah dan tidak enak dengan tetangganya. Lalu Sumadi mengajak
Kadarwati untuk membeli cincin bermata tiga yang diinginkan Kadrawati. Seharusnya Kadarwati
merasa senang, tetapi ia merasa sedih karena dai tidak diijinkan bertemu lagi
dengan Sulistyo.
Sudah hampir seminggu lebih, Sulistyo tidak kedengaran kabarnya.
Dari iparnya mbakyu Guritno, bahwa Kadarwati dan Sulistyo menjadi buah bibir
para tetangganya atas hubungan dekatnya dengan Sulistyo. Jangankan orang lain,
bahkan suaminya saja juga memiliki prasangka yang jelek terhadap dirinya dan
Sulistyo.
Tidak berapa lama, Sajem memberi tahu bahwa ada surat dari
Sulistyo. Surat itu berisi tentang kabar Sulistyo bahwa dia sudah keluar kuliah
dan bekerja sebagai penyiar radio. Beberapa hari ini Sulistyo juga sedang
sakit, dan Sulistyo meminta Kadarwati untuk menengoknya. Lalu Kadrwati membalas
suratnya bahwa dia juga kurang enak badan dan tidak bisa menjenguknya. Tidak
lama kemudian Sulistyo datang, mereka berdua berbincang –bincang. Dia bercerita
bahwa dia ingin menikah dengan wanita
pilihannya. Kadarwati ikut senang mendengarnya, tetapi dia sedih karena
hubungannya dengan Sulistyo hanya akan
sampai di sini. Kadarwati lalu bertanya siapa nama calon istri Sulistyo.
Betapa kagetnya Kadarwati mendengar bahwa nama calon istri Sulistyo adalah
dirinya. Kemudian Sulistyo berdiri dan mengangkat dagu Kadarwati lalu mencium
bibirnya dengan penuh nafsu. Kemudian Kadarwati
mundur karena Sulistyo merangkulnya, wajahnya pucat pasi setelah
mengetahui Sumadi berdiri tegak di tengah-tengah pintu. Lalu Sulistyo meminta
Kadarwati kepada Sumadi dan dia berpamitan pulang. Amarah Sumadipun tak
tertahankan. Dia menakut-nakuti Kadarwati dengan mengembalikan kepada orang
tuanya namun Kadarwati malah semakin berani. Sumadi tidak sadar bahwa dia telah
mengucapkan kata-kata yang akan disesali selama hidupnya. Akhirnya Kadarwati
dan Sumadi bercerai dan Kadarwati membangun rumah tangga baru dengan Sulistyo.
Di rumah sewa yang kecil, Sulistyo,
Kadarwati, Satriyo anaknya serta janin dalam kandungan Kadarwati. Memang
keadaannya memprihatinkan, tetapi semua itu harus diterima dengan iklas karena
memang sudah menjadi pilihan hidup mereka berdua. Satu yang menjadikan
Kadarwati sedih yaitu Kadrawati merasa sedih jika melihat Sat, karena dia
menjadi korban jalan hidup yang dipilih ibunya sehingga terpaksa harus terputus
kasih sayang bapaknya.
Setelah sekian lama, akhirnya tiba saatnya untuk Kadarwati
melahirkan. Dia melahirkan seorang anak perempuan yang bernama Sulistyowati.
Suatu hari, badan listi panas, Kadarwati bingung karena Sulistyo tak kunjung
pulang. Dia mencari-cari uang di sela saku celana suaminya untuk tambah berobat
ke dokter anaknya. Dia berharap menemukan uang, tetapi yang dia ditemukan
sebuah surat. Surat itu berasal dari seorang perempuan bernama Partiningsih
yang isinya seoarang perempuan yang
bernama Partiningsih telah menjalin hubungan dengan Sulistyo dan dia meminta
pertanggung jawaban karena hamil dua bulan. Kadarwati merasa panik dan tidak sengaja
dia pingsan. Setelah sadar karena anaknya menangis dan menyentuh Listy suhu badannya sangat panas, dia bergegas dan
sadar bahwa ditangannya ada cincin kakawin, lalu dia melepas dan menjualnya
kepada tetangganya untuk biaya berobat ke dokter. Kira-kira jam 9 malam,
Sulistyo pulang, dia merasa aneh karena sifat istrinya tidak seperti biasanya.
Dia bertanya tentang benda yang ada di saku celananya karena itu sangat penting
dan berharap Kadarwati tidak akan tahu tentang surat itu. Kadarwati belum menjawab
dan dia memberi tahu bahwa cincin tunangannya dia jual untuk menambah biaya
berobat anaknya. Sulistyo marah dan merasa disepelekan, dia menampar Kadarwati.
Setelah beberapa lama Kadarwati mencari barang yang ada di dalam kutangnya dan
melemparkannya pada Sulistyo. Sulistyo tidak bisa berbuat banyak karena barang
yang diharap tidak diketahui istrinya justru istrinya yang mengetahui lebih
dahulu. Dengan amat sangat ia memohon maaf kepada istrinya, tetapi istrinya
hanya diam.
Keesokan harinya sebelum Sulistyo berangkat, ia bangun dan memasak
lalu pergi meninggalkan rumah dan meninggalkan selembar surat untuk Kadarwati
karena saat itu Kadarwati dan kedua anaknya masih tertidur pulas. Ketika
Kadarwati terbangun ia membalas surat Sulistyo dan segera bersiap-siap menata
pakaiannya dan kedua anaknya lalu pergi meninggalkan rumah Sulistyo tanpa izin.
Setelah pulang, Sulistyo kaget karena rumahnya terkunci dan sepi. Setelah masuk
rumah dan menemukan surat, Sulistyo membaca suratnya.
Kadarwati menuju ke rumah Bu Onggo, kenalan saat Bu Onggo berdagang
jarit. Setelah berhenti di situ, dia mendekati rumahnya dan mengetahui bahwa
yang membuka rumahnya adalah seorang pemuda. Pemuda itu adalah Baskoro, seorang
pemuda yang dahulu pernah jatuh hati
padanya dan akhirnya semua berakhir karena Kadarwati dijodohkan oleh Sumadi dan
pindah ke Betawi. Setelah menceritakan semuanya, Bu Onggo yang awalnya senang
karena kedatangan Kadarwati, berubah menjadi trenyuh. Bertahun-tahun Kadarwati tinggal di rumah Bu Onggo.
Setelah rakyat Indonesia
merasakan kesengsaraan dan pengorbanan yang berabad-abad, sebab merasa sedikit
hidup senang dari Belanda. Kebaikan Belanda itu hanya siasat untuk mengambil
hati rakyat Indonesia bahwa Belanda itu
tidak memiliki niat untuk member
kemerdekaan kepada Indonesia.
Saat itu Kadarwati merasa tidak tenang jika harus menganggur, maka
ia meminta ijin kepada Bu Onggo dan Bu Sosro untuk ikut berdagang ke kota
seperti perawan desa yang lainnya. Awalnya tidak diijinkan, tetapi lama-lama
diijinkan juga. Di stasiun Balapan, Kadarwati bertemu dengan Sajem, yang dulu
pernah menjadi pembantu Kadarwati ketika masih menjadi suami Sumadi. Lalu Sajem
menemani Kadarwati berdagang. Dia merasa hidupnya lebih sengsara karena harus
meninggalkan anak-anaknya di rumah dan pergi malam-malam untuk berdagang.
Ketika sore hari, kereta sudah sampai di tempat tujuan, para ibu-ibu pedagang
sesampainya di daerah perbatasan surat keterangannya diperiksa. Setelah layang
keterangan diperiksa dan diteliti, semua sudah beres kecuali satu surat
keterangan yaitu milik Kadarwati yang
disitu tertulis keterangan Bu Martono. Karena dia baru pertama kalinya, maka
komandan memintanya untuk menghadapnya. Betapa terkejutnya setelah mengetahui
bahwa komandan itu adalah Sulistyo.
Tetapi Kadarwati masih tetap diam dan tidak banyak bicara kepada Suistyo.
Akhir tahun 1994,
pemerintahan Republik Indonesia yang berada di Yogjakarata pindah lagi di
Jakarta. Bu Onggo pulang ke Jakarta karena anaknya gugur dalam medan perang
tersebut. Dan Baskoro sekarang menjadi
anggota angkatan perang pangkat mayor. Kadarwati terpaksa mencari rumah
kontrakan. Ketika Baskoro mendapat rumah di Kebayoran, Kadarwati diminta supaya
ikut pindah tetapi Kadarwati memilih untuk mencari rumah sendiri, atas bantuan Baskoro, dia mendapat rumah di Grogol. Hubungan
persaudaraan mereka tetap akrab meskipun sudah tidak tinggal serumah bahkan
Baskoro setiap 2 minggu sekali selalu berkunjung ke Grogol untuk menjenguk
anak-anak (Satriyo dan Listy) yang sudah dianggap anak keponakannya sendiri
Tetapi hubungan keduanya masih akrab seperti saudara.
Suatu hari Baskoro mengajak Sat dan listi jalan-jalan ke Pasar
Baru. Setelah selesai berbelanja, mereka lalu pergi ke kafetaria untuk makan.
Di sana Kadarwati bertemu dengan Guritno, Sulistyo dan seorang perempuan
membawa dua anak 1 perempuan dan 1 laki-laki. Kadarwati mengira bahwa perempuan
tersebut adalah istri Sulistyo namun ternyata perempuan tersebut adalah istri
muda Guritno. Ketika hendak keluar dari kafetaria, Kadarwati berbincang
sebentar dengan mas Guritno. Dari perbincangan itu diketahui bahwa perempuan
itu ternyata istri mas Guritno dan mabakyu Guritno ternyata sudah 2 tahun
meninggal karena penyakit typus.Setelah berbincang-bincang, Kadarwati langsung
keluar dan tidak memperhatikan Sulistyo yang keadaannya lemas.
Umur Kadarwati sudah mencapai 42 tahun. Anaknya Satriyo sudah
menjadi perjaka yang cerdas dan tampan serta sudah 25 tahun sedangkan Listy sudah menjadi gadis
yang cantik dancerdas serta sudah berusia 20 tahun. Kadarwati lega sekali
ketika lima tahun yang lalu Baskoro meminta ridhanya bahwa ia akan mengambil
salah satu dari putri dari mangkunegaran yang umurnya selisih lima belas tahun
lebih muda, Kadarwati tidak kecil hati malah ikut senang. Baskoro sekarang
sudah memilikisatu momongan, Sulastomo namanya. Anggapan Satriyo terhadap
Baskoro yang sejak kecil sudah menganggap sebagai pakdhenya sendiri tidak
pernah berubah. Jika mereka mengalami kesulitan larinya tidak lain hanya kepada
pakdhe dan budhenya Baskoro. Kadarwati bisa menyekolahkan kedua anaknya sampai
perguruan tinggi semua itu tidak lepas dari pertolongan Baskoro yang sering
memberikan uang untuk membantu membiayai
pendidikan Satryo dan Listy.
Suatu hari Satrio diundang untuk menghadiri ulang tahun Susi,
pacarnya. Listi menceritakan kepada ibunya bahwa kakaknya sudah memiliki pacar
dan pacar Satriyo mengadakan pesta ulang tahun sehingga Satriyo dan Listy
diundang. Listy juga bercerita bahwa
pacar kakaknya bernama Susi. Menurut penuturan Listy, Susi adalah anak orang
kaya dan ayahnya sering ke luar negeri. Listy juga berkata bahwa kata
teman-temannya wajah Susi mirip dirinya. Sat tahu bahwa Susi adalah anak
pak dr. Sulistyo ,S.H. Mendengar anaknya
menyebut nama Sulistyo, Kadarwati menjadi gemetar. Kadarwati berfikir seandainya
benar yang dimaksud adalah Sulistyo mantan suaminya, alangkah pelik lakon hidup
ini, anak laki-lakinya Satriyo kok malah mencintai Susi anak Partiningsih
dengan Satriyo padahal Partiningsih adalah wanita yang menyebabkan penderitaan
bertubi-tubi menimpa dirinya. Dia tidak bisa berfikir jika harus berbesan
dengan Sulistyo.
Tidak lama kemudian Ikem datang dan memberi tahu bahwa ada tamu.
Ternyata yang datang adalah Sulistyo. Dia datang ke rumah Kadarwati untuk
meminta maaf kepadanya dan karena Sulistyo memiliki rasa tanggung jawab kepada
kedua anaknya yaitu Sat dan Listy tetapi Kadarwati tetap tidak memaafkannya.
hingga akhirnya Kadarwati terbuka hatinya dan memaafkan Sulistyo ketika
Sulistyo sampai pada pembicaraan bahwa kita mengalami perpisahan pait getir
karena cupetnya piker yang tidak dinalar secara bening. Setellah Sulistyo
mengucapkan hal itu Kadarwati memandang wajah Sulistyo yang penuh dengan
garis-garis wajah dan dulu rambut yang tebal menjadi tipis dan beruban menandai
bahwa ujian hidup yang dialaminya memang berat.
Kadarwati menangis tersedu-sedu dan
meminta maaf kepada Sulistyo. Sulistyo pun merasa senang. Tidak lama
kemudian anak-anaknya datang. Listi
kaget karena bapaknya Susi berada dirumahnya lalu Sulistyo menceritakan
semuanya dan kemudian ia memeluk Listi. Keduanya lalu diajak lagi ke ke
Kebayoran untuk berkumpul.
Pagi harinya Sat dan Listi sudah
kelihatan pulang dan diikuti Susi. Kira-kira seminggu setelah
itu,sekitar jam sebelas siang, semua saudara Sulistyo dan Kadarwati berkumpul di rumah Kadarwati karena
Kadarwati mengadakan syukuran untuk memenuhi nadzarnya jikalau dia bisa
berkumpul kembali bersama seluruh orang tuanya serta sanak saudaranya dia akan
makan bersama orang sekampung.Bapak dan Ibu Hadiwiyoto sudah datang lebih
dahulu ke Grogol dijemput oleh Sulistyo, Kadarwati dan ke-3 anaknya serta
Santosa yang tidak mau ketinggalan untuk keperluan menengok sanak saudara di
desa kampung halaman yang sudah 21 tahun tidak dia kunjungi. Betapa senang
bapak dan Ibu Hadiwiyoto di kala mengetahui anaknya yang sudah dikira hilang
tampak pulang diiringi suaminya yang gagah dan anak-anaknya yang tampan serta
cantik. Baskoro menjadi wakil dari kedua keluarga tersebut medhar sabda bahwa
semua tamu yang hadir diminta untuk menjadi saksi bahwa dr. Sulistyo dan
Kadarwati yang karena keadaan terpaksa berpisah selama 20 tahun, karena
kemurahan Tuhan yang Mahakuasa, maka
keduanya bisa berkumpul kembali. Yang kedua kalinya acara tunangan
putra-putrinya yaitu Satrio dengan Susilowati dan Listi dengan Santoso. Demikianlah akhir kisah novel Mendhung
Kesaput Angin pasangan suami istri yang semula hidupnya penuh penderitaan
akhirnya menemukan kebahagiaan. Mereka memuji
syukur kepada Tuhan karena akhirnya bisa hidup tentramdan damai seperti
apa yang diharapkan ketika hendak memulai hidup bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar