Senin, 04 November 2013

ANALISIS NOVEL MENDHUNG KESAPUT ANGIN


ANALISIS STRUKTURAL NOVEL MENDHUNG KESAPUT ANGIN
KARYA Ag. SUHARTI
(BERDASARKAN TINJAUAN STRUKTURAL ROBERT STANTON)

A.    Latar Belakang
Kebudayaan sebagai warisan dari masa lampau merupakan sesuatu hal yang membanggakan. Budaya yang terwujud dalam berbagai bentuk di antaranya bangunan, benda, tulisan dan lain sebagainya. Semua itu menuntut untuk dipelihara dan dilestarikan agar nilai yang terkandung tidak musnah secara sia-sia. Pada kenyataannya banyak sekali ajaran maupun sejarah yang terkandung dalam peninggalan-peninggalan tersebut, terutama dalam teks-teks naskah lama (Siti Baroroh Baried, 1985:87).
Karya sastra adalah tulisan atau karangan yang unsur estetiknya dominan, yang dinyatakan dengan kata-kata: hasil dan bahasa yang indah. Karya sastra yang bermutu ialah karya sastra yang banyak menunjukkan adanya penciptaan-penciptaan baru (kreativitas) dan keaslian cipta di samping itu yang bersifat seni (Rachmat Djoko Pradopo, 1997:36). Sebuah karya sastra akan indah apabila pengarangnya telah membawakan dalam karyanya segala yang dimaksudkan ke dalam karyanya (N. G. Tjerni Seviki, 1961:16 dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1997:40). Dalam karya sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman subjektif seseorang (fakta individual atau libidinal), dan pengalaman sekelompok masyarakat (fakta sosial) (Sangidu, 2004:41).
Karya sastra diciptakan oleh pengarang berdasarkan realita (kenyataan) sosial yang ada dalam masyarakat (Sangidu, 2004:39). Sastra memang mencermintak kenyataan (Luxemburg, 1989:16) sastra hanyalah mimesis, tiruan atau gambaran dari kenyataan (alam, ide, alam gagasan) jadi kurang dari kenyataan.
Karya sastra yang baik tidak hanya merekam dan melukiskan kenyataan yang ada dalam masyarakat tetapi merekam dan melukiskan kenyataan dalam keseluruhan. Aspek penting dalam kenyataan yang perlu dilukiskan oleh pengarang yang dituangkan dalam karya sastra adalah masalah kemajuan manusia (Sangidu, 2004:41).
Karya sastra tulis meliputi cerkak, cerbung, novel dan sebagainya. Novel adalah karya sastra tulis yang berbentuk fiksi. Karya fiksi yaitu cerita rekaan (cerkan) atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyarankan pada kebenaran sejarah (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010:2). Fiksi juga merupakan sebuah cerita yang terkandung di dalam tujuan estetik. Betapapun syaratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangunan struktur yang koheren dan tetap mempunyai tujuan estetik (Wellek & Warren, dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010:3). Jadi fiksi adalah cerita rekaan yang tetap mementingkan tujuan estetik pada peristiwa-peristiwa yang berada dalam khayalan.
Salah satu karya sastra tulis yang berbentuk novel  yaitu novel yang berjudul Mendhung Kasaput Angin karya Ag. Suharti. Novel Mendhung Kasaput Angin adalah novel yang diterbitkan oleh PN Balai Pustaka tahun 1980. Novel Mendhung Kasaput Angin karya Ag. Suhati adalah novel berbahasa Jawa dan mempunyai tebal 123 halaman. Terbitnya novel Mendhung Kasaput Angin dapat menjadi bukti keeksistensian karya novel Jawa pada jaman dahulu meskipun kini sudah jarang dan susah untuk dicari.
Novel Mendhung Kasaput Angin karya Ag. Suharti adalah wujud dari kreasi pengarang baik sebagai tiruan atau kenyataan sosial. Novel Mendhung Kasaput Angin karya Ag. Suharti menceritakan perjalanan hidup seorang gadis desa yang bernama Kadarwati yang penuh penderitaan namun akhirnya menjumpai kebahagiaan di akhirnya (happy ending).
Alasan lain yang menjadi pertimbangan dalam melakukan penelitian terhadap novel Mendhung Kesaput Angin karya Ag. Suharti karena masalah yang disampaikan oleh pengarang memberikan banyak pelajaran bagi para pembaca.
Analisis struktural novel Mendhung Kesaput Angin karya Ag. Suharti dilakukan dengan menggunakan tinjauan struktural Robert Stanton karena masalah yang tercermin dalam novel ini merupakan masalah yang sudah sering terjadi dalam lingkungan masyarakat yaitu tentang penderitaan hidup di masa lalu yang pada akhirnya menemui kebahagiaan hidup di masa depan. Analisis dilakukan dengan membaca terlebih dahulu novel Mendhung Kasaput Angin karya Ag. Suharti kemudian membedahnya dengan menggunakan teori fiksi Robert Stanton yang terdiri dari fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, alur, latar, tema dan sarana-saran sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbiolisme dan ironi.

B.     Perumusan Masalah
            Perumusan masalah berasal dari novel Mendhung Kasaput Angin karya Ag. Suharti. Masalah-masalah yang ada dirumuskan sebagai masalah yang akan dibahas secara detail. Perumusan masalah ini bertujuan agar penelitian yang dilakukan terfokus pada masalah yang akan diteliti dan tidak meluas pada masalah-masalh di luar penelitian. Perumusan masalahnya sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah struktur novel Mendhung Kasaput Angin karya Ag. Suharti berdasarkan teori fiksi dari Robert Stanton yaitu fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, alur, latar, tema, serta sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi?

C.    Tujuan Penelitian
            Tujuan penelitian novel Mendhung Kasaput Angin karya Ag. Suharti dapat diperoleh dari perumusan masalah yang sudah ditulis di atas, maka tujuan penelitiannya adalah sebagai berikut:
1.      Mendeskripsikan struktur novel Mendhung Kasaput Angin karya Ag. Suharti berdasarkan teori fiksi dari Robert Stanton yaitu fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, alur, latar, tema, serta sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi.

BAB 2
LANDASAN TEORI

A.    Teori Struktural
Teori Struktural termasuk dalam pendekatan objektif, yaitu pendekatan yang menganggap karya sastra sebagai “makhluk” yang berdiri sendiri, menganggap bahwa karya sastra bersifat otonom, terlepas dari alam sekitarnya, baik pembaca, bahkan pengarangnya sendiri (Sri Wahyuningtyas dan Wijaya Heru Santosa, 2011: 1). Sebuah karya sastra, fiksi atau puisi, menurut kaum strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensi oleh berbagai unsur (pembangun)-nya. Di satu pihak, struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 36). Di pihak lain, struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi penting dan berarti setelah ada hubungan antarunsur serta sumbangannya terhadap keseluruhan wacana (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 36).
Analisis struktural karya sastra fiksi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik. Pendekatan struktural tidak cukup dilakukan hanya sekedar memahami unsur-unsur tertentu karya sastra, namun lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur dan sumbangan apa yang diberikan terhadap sastra yaitu tema, amanat, penokohan, setting dan alur memberikan sebuah gambaran bagi para pembaca (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 37). Kesimpulan dari pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan struktural merupakan pendekatan yang membongkar unsure-unsur intrinsik sebuah karya sastra yang berupa tema, alur, penokohan, latar, amanat, dan mencari hubungan antarunsur tersebut.
Teori yang digunakan dalam menganalisis struktur novel Singkar karya Siti Aminah dengan menggunakan teori fiksi dari Robert Stanton. Analisis strukturalnya yaitu fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, alur, latar, tema, serta sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme, dan ironi (Stanton, 2007: 20).
1.      Fakta-fakta cerita
Karakter, alur dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual. Struktur faktual merupakan aspek cerita (Stanton, 2007: 22).
a.      Karakter
Menurut Stanton (2007: 33), Terma karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Karakter yang kedua, karakter yang merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu.
Sebagian besar cerita dapat ditemukan satu “karakter utama” yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Karakter seseorang mempunyai alasan untuk bertindak sebagaimana yang ia lakukan dinamakan ‘motivasi’. ‘Motivasi spesifik’ seorang karakter adalah alasan spontan, yang mungkin juga tidak disadari, yang ditunjukkan oleh adegan atau dialog tertentu. ‘Motivasi dasar’ adalah aspek umum dari satu karakter atau dengan kata lain hasrat dan maksud yang memandu sang karakter dalam melewati keseluruhan cerita. Karakter seseorang juga bisa diketahui dari nama, deskripsi eksplisit, dan komentar pengarang tentang karakter yang bersangkutan (Stanton, 2007: 33).
b.      Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2007: 26).
Menurut Stanton (2007: 28), alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Sebuah ceria tidak akan penah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peritiwa-peristiwa yang mempertautkan alur, hubungangan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya dengan elemen-elemen lain, alur memiliki hukum-hukum sendiri; alur hendaknya memiliki memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan.
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki ‘konflik internal’ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan lingkungannya. ‘Klimaks’ adalah saat konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan (‘terselesaikan’ bukan ‘ditentukan’). Klimaks utama sering berwujud satu peristiwa yang tidak terlalu spektakuler (Stanton, 2007: 31-32).
c.       Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujut dekor, waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah. Meski tidak langsung merangkum sang karakter utama, latar dapat merangkum orang-orang yang menjadi dekor dalam cerita (Stanton, 2007: 35).

2.      Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ’makna’ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman menjadi diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami oleh manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, penghianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua (Stanton, 2007:3 6-37).
Menutut Stanton (2007: 37), tema merupakan pernyataan generalisasi, akan sangat tidak tepat diterapkan untuk cerita-cerita yang mengolah emosi karakter-karakternya. Istilah yang akan digunakan ada tiga, yaitu ‘tema’, ‘gagasan utama’, dan ‘maksud utama’ secara fleksibel, tergantung pada onteks yang ada. Tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai yang melingkupi cerita. Sekali lagi, sama seperti makna pengalaman manusia, tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita akan menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema.

3.      Sarana-sarana Sastra
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, mahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi. Sarana-sarana paling signifikan diantara berbagai sarana yang kita kenal adalah karakter utama, konflik utama, dan tema utama. Tiga sarana ini merupakan ‘kesatuan organis’ cerita. Ketiga-tiganya terhubung demikian erat; ketiga-tiganya menjadi fokus cerita itu sendiri (Stanton, 2007: 46-50).
a.      Judul
Judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul mengacu pada sang karakter utama atau satu latar tertentu. Sebuah judul kerap memiliki beberapa tingkatan makna (Stanton, 2007: 52).
b.      Sudut Pandang
Sudut pandang adalah pusat kesadaran tempat kita dapat memahami setiap peristiwa dalam cerita. Posisi ini memiliki hubungan yang berbeda dengan tiap peristiwa dalam tiap cerita: di dalam atau di luar satu karakter, menyatu atau terpisah secara emosional.
Menurut Stanton (2007: 53), dari sisi tujuan, sudut pandang dibagi menjadi empat tipe utama. Meski demikian, perlu diingat bahwa kombinasi dan variasi dari keempat tipe tersebut bias sangat tidak terbatas. Pada ‘orang pertama-utama’, sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. Pada ‘orang pertama-sampingan’, cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan). Pada ‘orang ketiga-terbatas’, pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai orag ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter. Pada ‘orang ketiga-tidak terbatas’, pengarang mengacu pada setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarng juga dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau saat ketika tidak ada satu karakter pun hadir.
c.       Gaya dan Tone
Gaya adalah cara pengarang menggunakan bahasa. Campuran dari berbagai aspek seperti kerumitan, ritme, panjang pendek, kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan metafora (dengan kadar tertentu) akan mengahsilkan gaya. Satu elemen yang amat dengan gaya adalah ‘tone’. Tone adalah sikap emosional pengarang yang dtampilakan dalam cerita. Tone bisa menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantic, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi atau penuh perasaan (Stanton, 2007: 61-63).
d.      Simbolisme
Salah satu cara untuk menampilkan gagasan dan emosi agar tampak nyata adalah dengan menggunakan ‘simbol’; simbol berwujud detail-detail konkret dan faktual dan memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran pembaca. Simbol dapat berwujud apa saja, dari sebutir telur hingga latar cerita seperti satu objek bertipe sama, substansi fisis, bentuk, gerakan, warna, suara, atau keharuman. Semua hal tersebut dapat menghadirkan satu fakta terkait kepribadian seorang manusia, ambisi yang semu, kewajiban manusia, atau romantisme masa muda (Stanton, 2007: 64).
Menurut Stanton (2007: 64-65), simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang masing-masing bergantung pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama, semua simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut. Dua, satu simbol yang ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam cerita. Tiga, simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menemukan tema.
e.       Ironi
Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Ironi dapat ditemukan dalam hampir semua cerita (terutama yang dikategorikan ‘bagus’). Bila dimanfaatkan dengan benar, ironi dapat memperkaya cerita seperti menjadikannya menarik, menghadirkan efek-efek tertentu, humor atau pathos, memperdalam karakter, merekatkan struktur alur, menggambarkan sikap pengarang, dan menguatkan tema (Stanton, 2007: 71).
Menurut Stanton (2007: 71-72), ada dua jenis ironi yang dikenal luas, yaitu ‘ironi dramatis’ dan ‘tone ironis’. ‘ironi dramatis’ atau ironi alur dan situasi biasayanya muncul melalui kontras diametric antara penampilan dan realitas, antara maaksud dan tujuan seorang karakter dengan hasilnya, atau antara harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pasangan elemen-elemen di atas terhubung satu sama lain secara logis (biasanya melalui hubungan kausal atau sebab-akibat). ‘Tone ironis’ atau ‘ironi verba;’ digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan.

BAB 3
PEMBAHASAN

 Fakta cerita

A.    Tokoh
1.         Kadarwati
“ Oh hiya, Den Kadarwati teka banjur ora ketok-ketok ta, ya?” celathune Ponirah [ halaman 7]
2.         Sulistyo
“nDerek nepangaken, kula Sulistyo” [halaman 24]
3.         Sumadi
“Dereng saged tilem,”wangsulane Sumadi katon ora jenjem.” [hal. 15]
4.         Satriyo
“Iya , Bu.” Satriyo banjur metu [halaman 40]
5.         Sulistiyowati (Listi)
“ Jenenge Sulistyowati cah bagus. Nanging dicekak Listi bae, supaya luwih gampang.” [halaman 52]
6.         Mbok Minem
“...akeh pituture mbok Minem marang Kadarwati.” [hal. 10]
7.         Orang Tua Kadarwati
a.       Bapak Hadiwiyoto
“Jam lima isuk, kabeh keluarga pak Hadiwiyoto wis nglumpuk...” [hal. 12]
b.      Bu Hadi
Bu Hadi tansah nyedhaki putrane lan akeh-akeh pituture marang Kadarwati.” [hal. 12]
8.         Mertua Kadarwati ( Bu Soma)
“Mantele mbok korapetake, Darwati,” mengkono celathune Bu Soma, ibu mara tuwane.
9.         Para tetangga Kadarwati :
a.          Unah
“Polatane Unah katon semu abang, awit panggrecoke kanca-kancane mau pancen ngenani atine.” [hal. 7]
b.         Ponirah
“O hiya, Den Kadarwati...”celathune Ponirah.” [hal. 7]
c.          Wagirah
“Tindakan apa, wong jare malah...”wangsulane Wagirah.” [hal. 7]
d.         Mugiyem
“Jarene nek cara priyayi, wong arep dadi nganten kuwi...”celathune Mugiyem.” [hal. 7]
e.          Jinem
“Ngendi ana wong lagi susah kober mikir kothekan?”celathune Jinem.” [hal. 9]
f.          Mbakyu Sugih
“….badhe sowan kaliyan mBakyu Sugih, nanging wusananipun mBakyu Sugih malah lajeng gerah waos…..” [halaman 21]
g.         Mbakyu Guritno
mBakyu Guritno punika warga enggal, kula kinten dereng priksa menawi pakempalan kita sampun gadhah prabot-prabot dhapur….”
10.     Sajem
Sajem ana ngendi, ta?” [halaman 35]
11.     Bu Onggo
“Iki ibu Onggo lagi tindakan, ta?” [halaman 65]
12.     Mas Baskoro
“Mas….. Mas Baskoro.”[halaman 64]
13.     Susi
“Lan anehe, Bu, kathik Dhik Susi iku rupane jare cah-cah...” [hal. 105]

B.     Karakter

1.       Kadarwati
kadarwati dalam novel tersebut memiliki karakter yang bermacam-macam, karakter tersebut diambil dari ucapan tokoh langsung, dari cara berpikir maupun bertindak Kadarwati dalam kehidupan sehari-hari ataupun dari penilaian tokoh lain. Berikut merupakan karakter yang dimilki oleh tokoh Kadarwati;
a.       Sekolahnya tinggi, dan parasnya cantik
“ ……. Nanging yen kaya Den Kadarwati, rak dhuwur sekolahe, wragade ngentekake dhuwit sapirang-pirang, wah mana priyayine ayu tenan, mesthine yen krama ya bisa milih…….” [ halaman 8]
kalimat diatas jelas mengambarkan tokoh Kadarwati yang memiliki pendidikan yang tinggi serta memilki paras yang cantik berdasar dari penilaian tokoh lain.
b.      Suka Menolong / ringan tangan dan tidak pamrih
“….. Yen disuwuni tulung wong gampang, disuwuni tulung njaitake klambi ya ora ngarani mundhut pira, opahe dikon ngira-ira dhewe….” [ halaman 8]
dalam kutipan diatas menggambarkan bahwa tokoh Kadarawati ringan tangan dalam membantu orang lain serta jika membantu tidak pernah meminta imbalan apapun.
c.       Tahu sopan santun
“ ….anggone mangsuli kang sarwa cekak, mung ngelingi paugeraning tata krama bae.” [halaman 14]
d.      Ramah dan suka tersenyum
“….nanging dhasar bocah kang grapayak lan sumanak, polatane katon padhang lan sumringah, gawe renaning penggalihe kang nyawang. Carane ngulungkae cangkir marang tamu uduhake pangertene marang tata susila.” [ halaman 15]
e.       Selalu ceria dan ramah
“….sipate Kadarwati kang gembira lan grapyak wiwit bisa thukul lan pulih maneh..” [ halaman 21]
f.       Paham kedudukannya sebagai seorang istri
“….Kadarwati ora tau nglirwakae jejere wanita, kang kudu ngudi gawe mareme kakung. Apa kang dadi pekareme bojone diudi supaya dheweke bisa nyawisake, bisa olah dhewe” [halaman 22]
“….Diladeni dening bojo kang setya tuhu, bekti ngajeni terusing batin…” [halaman 60]
g.      Pandai memasak
“Dhek wingi kowe rak ngelem gudheg lan rendhang kang ndak suguhake, rasane nyamleng ta, Listyo. Yen kowe arep weruh sapa priyayine sing masak, ya Jeng sumadi iki. Priyayi asal saka Ngayogja, mula ya baut nggudheg.” [ halaman 24]
Kalimat yang diucapkan oleh mBakyu Guritno diatas menandakan bahwa ( Jeng Sumadi) Kadarwati pandai memasak dengan adanya perkataan yang menyatakan rasa masakan ynag dibuat oleh Kadarwati “nyamleng”  . Selain itu juga menandakan bahwa Kadarwati seorang wanita Yogya.
h.      Awet muda
“ ……..nanging katingalipun teka kados taksih timur kemawon. Sejatosipun resepipun punapa ta, Jeng, panjenengan teka saged awet timur punika?” [halaman 26]
i.        Rendah hati atau merendah
“….. kula namung satunggiling lare ingkang tanpa teges, inggih tuni ing seserepan, anakipun tiyang mboten gadhah, ingkang ugi gadhah tanggelan adhi kathah.” [halaman 34]
j.        Berselingkuh atau berkhianat dari suaminya
“ ……..Aku wis ora sudi urip bebarengan karo wong wadon kang wis laku khianat marang bojone….” [halaman 43]
k.      Bijaksana
“….. luwih utama kita banjur pepisahan kanthi becik, isih tetep anggone padha seduluran, senajan wis ora nerusake urip bebarengan maneh.” [halaman 44]
Selain bijaksana dalam hal itu, Kadarwati juga bijaksana dalam mendidik anak-anaknya, dimana meski Kadarwati membenci suaminya ia tetap mengajarkan pada anak-anaknya untuk tetap mencintai dan hormat pada Bapaknya.Hal itu terdapt pada kutipan sebagai berikut;
“……Sapira gedhene panarimane marang sisihane, kang tetep ndhidhik anake nduweni rasa hormat lan tresna marang bapake….” [halaman 116]
l.        Jujur/ Berterus terang
“ Aku…oh…kaya bakal luwih prayoga yen aku terus terang matur apa saanane lan ora ndak gawe wadi marang sliramu utawa marang Bu Onggo,….” [halaman 66]
m.    Semangat dalam membesarkan anak-anaknya
“….Ewasemono aku ora arep banjur nglokro. Aku tansah arep mbudidaya bisaa aku nggulawenthah anakku sakrone, supaya ing mbesuk padha dadi wong kang utama. Apa dupeh aku randha, banjur ora bakal kasil ngayati kuwajibanku, kiraku ora, Mas.” [halaman 70]
n.      Pendendam
“ Hm , wangune ewa lan sengitmu marang aku ora tanggung-tanggung Darwati,” celathune Sulistyo, kebak rasa sedhih mandeng marang Kadarwati. “Nganti kowe ora sudi ngingeti aku, ora sudi guneman karo aku…..” [ halaman 88]
Dalam kalimat percakapan yang dilontarkan oleh Sulistyo diatas secara tersirat menggambarkan bagaimana karkter Kadarwati yang masih menyimpan kekecewaan sekaligus benci pada Sulistyo sehingga dia tidak mau melihat dan berbicara dengan Sulistyo.
2.      Sulistyo
a.       Berwibawa
“…..Daya prabawane pemudha iku, terus nuwuhake rasa ora jenjem ing sajroning atine, nagnti esthining ati, kepengin arep terus ketemu karo Sulistyo ….” [halaman 29]
b.      Sangat mencintai Kadawarwati
“ Kowe wis ngerti , Darwati tresnaku marang kowe ngungkuli katresnanku marang sapa bae….” [ halaman 48]
c.       Bijaksana
“ Apa tegese beda umur kang mung sawatara tahun iki? Sing dadi rak nyatane, aku rumangsa begja bisa duwe bojo kowe. Wis ta, aja sok seneng ngomongake prekara kang ora-ora. Aku kepengin kowe tansah katon sumringah lan gembira.” Celathune Sulistyo [halaman 50]
d.      Gagah dan tampan rupawan
“…….. meksa isih kaglewang marang sawijining jejaka gagah bagus rupane….” [halaman 59]
“…..Bapak priyayine gagah ya Bu, Listi mongkog dadi putrane.”[halaman 120]
Akan tetapi karakter yang dimiliki Sulistyo diatas , pada saat dia sudah tua mengalami perubahan yakni menjadi kurus dan agak bungkuk serta tampak lebih tuwa. Karakter tersebut dapat terlihat dari kutipan berikut;
“……..Saiki kaanane Sulityo beda banget karo dhek semana. Badane kang kukuh, kuwat, waras wiris, malih dadi kuru lan rada bungkuk, marai katon tuwa katimbang Baskoro, kang setemene luwih tuwa enem taun…..”[halaman 91]
“….Rambute kang mbiyen ketel ireng wis nipis banget, malah wis katon sulak putih, mripate kang mbiyen tansah sumorot, saiki katon sedhih….” [halaman 110]
e.       Lapang dada , mau mengakui kesalahan tetapi juga mudah tergoda.
“….sapisan maneh, aku ngakoni kesalalahanku; kesalahan kang dak lakoni, jalaran karingkihanku, ora bisa nglawan pambujuking godha….” [halaman 59]
3.   Sumadi
a.    Perhatian
Kowe isih katon pucet, mbokmanawa laramu durung mari babar pisan. Apa sirahmu isih ngarasa ngelu ? “ pitakone Sumadi kebak kawigaten karo banjur ngadeg, mbrukutake mantel kang dianggo Kadarwati. [halaman 12]
Pertanyaan yang dicetak tebal tersebut secara tersirat menggambarkan bentuk perhatian Sumadi kepada Kadarwati.
b.   Berpangkat tinggi dan mapan
“…… Apa maneh ingatase jejaka kang wis duwe pangkat lan bayar cukup, gampang banget bisa kajunglup ing godhaning kasenengan lan karoyalan….” [ halaman 14, karakter Sumadi dinyatakan eksplisit oleh Ibunya]

c.    Baik hati
“….. Wong Dhik Sumadi karo rayine gematine dubilah, samubarang kang dipengeni keng rayine, mesthi bakal dibayari.” [halaman 20]
d.   Sabar dan halus
“ Kadarwati mandeng ora percaya marang bojone. Dhewke ora ngira menawa bojone kang sabar lan alus nganti bisa kawetu ngucapkake tetembungan kang kasar kaya mengkono…..” [halaman 43]
e.    Mencintai anak-anaknya
“…..Sumadi mesthi ngedusi dhewe, ketang saka gemati lan tresnane marang anake.” [halaman 45]
f.    Ikhlas dan Bijaksana
“….Dheweke bakal lila legawa menehi pangapura. Uga wewayangan kang banget mbakar atine, yaitu tindake Sulistyo kang ngrangkul kenceng lan ngarasi bojone, bakal dilalekake salawas-lawase,……” [halaman 45]
4.   Satriyo
a.    Sering menangis
“ Inggih, lare kula asring nangis, manawi dipuntilar dangu-dangu.” [halaman 26]
Kalimat diatas merupakan karakter Satriyo ketika masih bayi.
b.   Bagus, berbudi luhur dan rendah hati
“ …… Satriyo kena diaranai sawijining pemudha kang sembada, kajaba bagus, landhep panggraitane, becik bebudene lan lembah manah…..” [halaman 101]
c.     Gagah, pintar dan menjadi idola
“…..Prakara Mas Sat mengko arep milih bocah liya, kangmasku pancen gagah, nggantheng, pinter, digandrungi dening bocah wadon sepirang-pirang, mesthi bae bisa milih bocah wadon liyane Dhik Susi”. [halaman 104]
5.   Listi
a.    Manja
“…….sebab lagi ngladeni Listi kang aleman….”
b.   Cantik, baik hati, dan berbelas kasihan pada orang lain
“….. Dene Sulistyawati, sembada karo jenenge, sulistyo ing rupa, merak ati, nanging kakon aten. Anehe uga welasan, gampang tuwuh rasa asih marang wong kang nandhang kasekengan…..” [halaman 101]
c.    Suka blak-blakan atau apa adanya
“…..Aku pancen seneng blak-blakan, ……” [halaman 103]
d.   Tidak mau mengalah
“Ngalaha bae Sat, kowe yen ngomong karo adhimu. Wong dheweke yen omong mesthi ngotote, senajan wis ngrumangsani salah, nanging apa tau ta gelem ngaku,harak terus ngeyel bae, ora gelem kalah…” [halaman 104]
e.    Mencintai kedua orang tuanya
“O, temtu kemawon dalem tresna dhateng Bapak, sami kaliyan tresna dalem marang Ibu…..” [halaman 115-116]
6.      Mbok Minem
Berdasar fisik :
a.       Setengah Tua
“….. Ora let suwe ana wong wadon setengah tuwa katon nyedhaki kenya mau lan banjur mapan lungguh ana sisihe.”

7.      Orang Tua Kadarwati
a.       Bapak Hadiwiyoto
b.      Bu Hadi
karakter yang dimiliki oleh kedua orang tua Kadarwati ialah bijaksana hal ini terdapat dalam penjabaran oleh pengarang, dapat dibuktikan dalam kutipan sebagai berikut ; “........ Bu Hadi tansah nyedhaki putrane lan akeh-akeh pituture marang Kadarwati, supaya kang bisa mapanake awake, bisaa lestari ngladeni bojone........” [halaman 12]
kutipan diatas terjadi ketika akan mengantarkan Kadarwati pergi ke Betawi.
8.      Mertua Kadarwati ( Bu Soma)
a.       Sayang kepada menantunya dan tekun
“….ibu mara tuwane kang eman banget marang mantune lan ya wis kepengin duwe putu, satiti banget angone ngrukti Kadarwati. Saminggu pisan Kadarwati digawekake cabe lempuyang….” [halaman 52]
hal diatas mencerminkan tentang karakter yang dimiliki oleh Bu Soma sebagai mertuwa Kadarwati yang sangat sayang kepada menantunya dengan memberi perhatian seperti memberi cabe lempuyang.
9.      Para tetangga Kadarwati :
a.       Unah
b.      Ponirah
c.       Wagirah
d.      Mugiyem
e.       Jinem
karakter yang dimiliki oleh para tetangga Kadarwati tidak terlalu dijelaskan dalam cerita diatas, para tetangga tersebut hanya sebagai figuran saja, dan tidak banyak dimunculkan. Hanya saja mereka suka mengunjing tetangga yang satu dengan yang lain, hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan;
“ O hiya, Den Kadarwati teka banjur ora ketok-ketok ta, ya?” celathune Ponirah. “Apa lagi tindakan, ta?”
“Tindakan apa, wong jare malah mung mugen ana senthong kok,” wangsulane Wagirah.
“ jarene nek cara priyayi, wong arep dadi nganten kuwi, pancen kudu ndadak nganggo laku pasa, ngono apa piye,” celathune Mugiyem.[halaman 7]
Dalam kutipan diatas para tetangga sedang menceritakan Kadarwati. 
f.       Mbakyu Sugih
 Pandai memasak
“ Kadarwati seneng maguru olah-olah lan gawe dhedhaharan ,marga ing babagan iku mBakyu Sugih pancen mumpuni.” [halaman 21]
10.  Mbakyu Guritno
a.       Ramah
“….pambagene mBakyu Guritno grapyak.” [halaman 22]
b.      Hobi melukis ataupun menggambar
“ mBakyu kagungan kasenengan orek-orekan wonten ing kanvas…..” [halaman 23]
c.       Humoris
“ Sampun Jeng, dipun tampi kemawon. Buku lowakan rak reginipun mirah, mbok menawi namung sasen kalih sen. Pramila Dhik Utomo inggih wegah nampi artanipun. Haarak kangge tumbas rokok sabungkus kemawon dereng cekap ,“ celathune mBakyu Guritno karo gumuyu
Kabeh padha melu gumuyu ngrungokake omongane kang lucu iku. [halaman 28]
Kata yang dicetak tebal tersebut menegaskan bahwa mereka tertawa mendengar ucapan mBakyu Guritno yang lucu, sehingga nampak karakternya yang humoris.
11.  Sajem
a.       Setia
“ ……Sajem, rewang kang setya mung pisah sawatara taun karo Kadarwati,iya iku nalika Kadarwati pegatan karo Sumadi…….” [halaman 76]
b.      Banyak bicara
“ Kowe kui pancen seneng ngoceh kok, Jem. …..” [halaman 82]
c.       Penakut
“….. Tiwas nggawa kanca mlaku kowe, jebul malah jirih banget ta. Wong jirih, pikire terus diumbar, nggagas sing ora-ora. Ya malah saya wedi…..” [halaman 82]
12.  Bu Onggo
a.       Janda dan tua
“…..Priyayine wis warandha, watara wis sawidakan tahun.’[halaman 64]
13.  Mas Baskoro
a.       Setia akan cintanya kepada Kadarwati , seorang yang berpangkat dan berkecukupan.
“ ….Satemene karana Kadrawati, dheweke banjur ora rabi.Senajan ta wis duwe kalungguhan becik lan blanja cukup kanggo mbangun kaluwarga, tekad ora arep rabi yen ora  bisa ketemu bocah wadon kang memper Kadarwati.Atine trenyuh mikir nasibe Kadarwati…..” [ halaman 68]
b.      Baik hati dan menyayangi anak-anak Kadarwati
“…..Mulane gematine Baskoro marang Satriyo lan Listi saya tambah.” [ halaman 68]
“……Mas Baskoro tresna lan gemati banget marang bocah-bocah….” [halaman 84]
c.       Cinta pada tanah air
“….Dheweke uga eling marang Baskoro kang ndharmakake uripe kanggo kawigatene Republik…..” [halaman 91]
14.  Susi
a.    Cantik
“…..kajaba bocahe ayu, bapake sawijining presdir, hartawan…..” [halaman 103]

C.    Motivasi
1.      Mbok Minem
“ Den Lara,” pambujuke wong tuwa mau, “ sadaya kersane priyantun sepuh niku rak sami sae. mBoten onten priyantun sepuh teka ajeng gawe suasah, njomprongake putrane teng dalan sangsara. Ngoten ugi keng ibu alit, ketang ngeman dhateng sampeyan, mila inggih tumut nggalih dhateng Den Lara. Tiyang putrane Den Ngaten Driji kiyambak namung setunggal, mila nggih lajeng tumut mrihatosake kalih sadhereke sing putrane kathah. Den Lara, tiyang gadhah anak estri niku, nek dilamar teng tiyang ngantos mbangsulake lamaran tiyang jaler, tembene bakal dados ciri kangge tiyang sanes-sanes. Tiyang lajeng sami ajrih ajeng nglamar, kuwatos mangke diwangsulake kados sing empun. Pun ta, mang dherek maweon teng kersane priyayi sepuh. Sulihe Gusti Allah  teng donya niki nggih priyantun sepuh niku. Yen putra mboten ajeng nggega teng kersane priyatun sepuh njur sinten sing ajeng digega? Napa ajeng nggugu karepe dhewe? Mangke yen tembe mburine sampeyan ngalami aral napa-napa, sinten sing ajeng disambat-sebuti?” Akeh pituture mBok Minem marang Kadarwati.
2.      Bu Onggo member motivasi kepada Kadarwati agar ia rujuk dan pulang ke rumah suaminya lagi.
“ Nak Ajeng, kawontenan ingkang kados mekaten punika sampun limrah kanggenipun tiyang sesemahan. Dredah sekedhik utawi benthik antawisipun tiyang sesemahan punika malah dados margi, satunggal lan satunggalipun lajeng sami saged mangertos dhateng kekiranganipun piyambak-piyambak. Wusana tumunten sami saged apunte-ingapunten, ingkang tundhonipun saya nuwuhaken tambahaing katresnan”. Akeh-keh [ituture Ibu Onggo matrang Kadarwati lan mbaka sathithik Ibu Onggo mbujuk supaya Kadarwati gelem bali rujuk meneh karo bojone.[halaman 68]
3. Mas Baskoro member motivasi kepada Kadarwati untuk memaafkan dan menerima kembali suaminya Sulistyo.
“ Dhik, aja lali yen manungsa iku sipate ringkih, gampang tumiba ing godha. Manut ngendikamu dhewe, rakamu wis ngakoni kaluputane, wis njaluk pangapuramu lan malah ya banjur kawetu janji, arep terus megat sisishane saiki, ing samangsa wis nglairake. Iku rak sawijing  bukti kang nyata yen temene bae, panjenengane isih tresna marang sliramu. Kena apa sliramu ora bisa nampa rakamu maneh, awit tindake kang kleru iku satemene pancen ora dijarag, nanging kelakone jalaran mung saka ora bisa ngekang hardaning hawa napsu iku mau.” [halaman 70]
4.    Sulistyo memberi motivasi kepada Kadarwati agar melupakan peristiwa yang telah terjadi di masa lalu dan membangun kehidupan baru menuju rumah tangga yang bahagia dan mulia seperti yang diimpikan dahulu ketika memulai hidup berumah tangga.
    Wasana unjal ambegan, Sulistyo banjur celathu;
  “Awake dhewe nganti kudu ngalami pepisahan kang pait, getir, jalaran mung saka cupeting pikir kang ora dinalar kanthi wening. Nanging saka kamirahing Pangeran, awake dhewe diparengake padha bisa ketemu maneh. Darwati, ora ana gunane barang kang wis kelakon tansah arep dieling-eling. Luwih becik lelakon iku banjur dilalekake lan sateruse awake dhewe wiwit mbangun urip anyar kang tumuju marang katentreman lan karukunan, kaya kang dadi panggontha-ganthane awake dhewe, nalika arep wiwit mbangun urip bebrayan.”
2. Alur dalam novel Mendhung Kasaput Angin
A.    Tahap Awal
Kadarwati adalah seorang anak desa yang baru saja lulus sekolah, karena kemiskinan dan beban hidup keluarganya yang berat dengan tanggungan adiknya banyak dengan kondisi keuangan keluarganya yang sangat sederhana. Latar belakang kehidupan keluarganya yang begitu susah itu membuat orang tua Kadarwati berniat untuk menjodohkan anaknya dengan anak seorang temannya dari kota Betawi bernama Sumadi yang sudah mempunyai pekerjaan mapan.
Pertama kali Sumadi bertemu dengan Kadarwati, ia langsung jatuh hati kepada perempuan desa ini padahal di kota ia juga sudah banyak melihat  wanita-wanita lain pilihan orang tuanya yang akan dijodohkan dengannya tetapi Sumadi sama sekali tidak tertarik. Beberapa waktu setelah itu Sumadi menikah dengan Kadarwati dan memboyongnya ke Batawi tetapi dalam hati Kadarwati masih setengah hati untuk menerima pernikahan hasil perjodohan orang tuanya tersebut. Kadarwati hanya bisa pasrah dengan nasibnya, dia berfikir yang penting dia dapat berbakti dan meringankan beban hidup orang tuanya dan Sumadi juga laki-laki yang sangat perhatian dengan Kadarwati kelak pasti ia dapat hidup berkecukupan materi walaupun ia tidak mencintai Sumadi.
Keluarga kecil Sumadi dan Kadarwati dikaruniai anak laki-laki yang bernama Satriyo, kehidupan mereka berkecukupan, apapun yang diminta oleh Kadarwati selalu dituruti oleh suaminya, Sumadi. Tidak hanya Sumadi yang gemati dengan Kadarwati tetapi juga ibu Sumadi yang sangat perhatian dengan Kadarwati. Keluarga mereka juga cukup terpandang di lingkungan tempat mereka tinggal, Kadarwati mudah bergaul dan dekat dengan ibu-ibu sekitar rumahnya karena sering berbincang-bincang bersama di pelataran rumahnya yang sering digunakan tetangga sekitar rumahnya untuk bermain badminton. Posisi Kadarwati yang menjadi ibu rumah tangga yang mengurusi anak dan pekerjaan rumah sangat ditolong dengan pembantunya yaitu Sajem yang setia menemaninya
.
B.     Tahap Tengah
Konflik
Kadarwati berkenalan dengan seorang pemuda adik keponakan dari mbakyu Guritno (tetangga akrab yang rumahnya tidak jauh dari rumah Kadarwati) yang akan melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum, bernama Sulistyo. Saat pertama kali berkenalan membuat hati Kadarwati bergetar tidak karuan, jantungnya berdebar kencang, saat berjabatan tangan mereka saling berpandangan dan tangannya seakan enggan terlepas dari Kadarwati, matanya menatap tajam seperti menerabas relung hatinya. Setelah beberapa saat Sulistyo sadar akan kesalahannya dan segera melepaskan tangan Kadarwati. Kadarwati merasa tidak enak dan bingung akan sikap Listyo, bayang-bayang Listyo selalu muncul dalam benak Kadarwati. Sehingga membuat hatinya resah dan selalu terbayang-bayang Sulistyo.
Awalnya Kadarwati menghindari jika berduaan dengan Listyo, saat diajak berbincangpun Kadarwati sedikit menjaga jarak karena ia tau perasaannya yang timbul ini berbeda dengan perasaan kepada laki-laki lain bahkan suaminya sendiri, Sumadi. Baru Listyo yang mampu membuat hatinya setidak karuan ini, setiap saat selalu terbayang-bayang Listyo. Kadarwati sadar bahwa itu perasaan cinta yang timbul dalam hatinya untuk Listyo tetapi ia tau ia sudah menikah. Hal ini membuat Kadarwati tambah bingung.
Lama kelamaan mereka akrab dan sering berbincang-bincang karena mereka menemukan kecocokan dalam berbagai obrolan mereka. Kadarwati menyambut itikat baik pertemanan dari dik Listyo itu, dik Listyo sering memuji Kadarwati karena kepribadiannya sesuai dengan criteria perempuan yang sangat ia idam-idamkan sebagai pasangan hidupnya kelak. Setelah itu Listyo sering bertamu ke rumah Kadarwati saat suaminya bekerja atau sedang pergi. Sulistyo dengan terbuka selalu mengutarakan perasaannya yang dalam pada Kadarwati. Tidak berapa lama Sumadi tau akan hal itu, dengan kesabaran dan kebijaksanaan Sumadi lalu berpesan kepada Kadarwati agar menghindar dari Sulistyo karena para tetangga sekitar rumah mereka mulai membicarakan kelakuan Listyo yang sering bertamu di rumah Sumadi. Hal tersebut jika terjadi berulang-ulang akan mendapat pandangan yang negatif dari tetangganya. Pesan dari Sumadi membuat Kadarwati semakin gelisah dan membuat hatinya bimbang.
Klimaks
Suatu hari Listyo bertamu lagi di rumah Kadarwati, ia mengungkapkan seluruh hatinya kepada Kadarwati. Ia menyatakan bahwa ia sangat mencintai Kadarwati dan ingin Kadarwati menjadi istrinya setelah itu Sulistyo memeluk dan mencium bibir Kadarwati. Sulistyo sangat berani melakukan hal itu karena ia tau bahwa Kadarwati sebenarnya mencintainya, pernikahan yang dilakukan Kadarwati hanya karena terpaksa menuruti keinginan orang tuanya. Kadarwati tidak bisa membohongi hatinya sendiri bahwa sebenarnya ia juga mencintai Sulistyo tetapi Kadarwati sadar apa yang dilakukannya itu salah karena ia sudah bersuami. Dia lalu menyingkir dan membentak Listyo tetapi Listyo tetap tidak mau berhenti memeluk Kadarwati. Tidak dikira ternyata Sumadi melihat perilaku mereka berdua, seketika itu juga ia marah dan menyuruh Listyo untuk pergi dari rumahnya. Sumadi tidak mengira istrinya melakukan perbuatan seperti itu, ia menyuruh Kadarwati untuk pergi dari rumahnya karena ia sudah tidak mau lagi melihat Kadarwati, tanpa mendapat perintah Kadarwati langsung mengemasi dan mengajak anaknya pergi dari rumah. Sebenarnya sikap Sumadi hanya sebagai gertakan dan tidak sebenarnya, tetapi Kadarwati sudah terlanjur sakit hati dibentak oleh suaminya dan akhirnya ia pun pergi karena lebih memilih hidup dengan Listyo.
Setelah menikah dengan Listyo hidup Kadarwati dikaruniai seorang anak perempuan bernama Sulistyowati dipanggil Listi, keluarga muda ini bahagia walaupun hidupnya sederhana. Kadarwati bisa menerima kehidupan yang demikian ( tidak seperti saat bersama Sumadi yang serba berkecukupan) karena memang sudah pilihan hidupnya. Suatu hari Kadarwati menemukan surat kecil bertuliskan dari Partiningsih di saku celana Sulistyo. Surat itu berisi bahwa Partiningsih telah hamil 2 bulan dan menuntut pertanggungjawaban Listyo untuk menikahinya. Setelah membaca surat Kadarwati langsung menangis seperti tidak percaya kelakuakn suaminya, membuat pemikirannya kepada Listyo berubah 180 derajat. Dia menganggap bahwa semua laki-laki sama saja, dulu ia mengira bahwa Listyo adalah laik-laki yang berbeda karena mau menerima seorang janda beranak 1 tetapi ternyata dia serong dengan wanita lain. Sehabis pulang dari kantor Listyo menanyakan celana yang terdapat surat kecil tetapi Kadarwati hanya diam saja, apapun pertanyaan Listyo tidak digubrisnya. Kadarwati sudah terlanjur sakit hati.
Kejadian itu berbarengan dengan kondisi Listi anak perempuannya yang baru berusia beberapa bulan sedang sakit, karena tidak mempunyai uang Kadarwati memutuskan menjual cincin kawin yang terukir namanya dan Sulistyo. Dia beranggapan suudah tidak ada gunanya lagi cincin kawin tersebut, karena Listyo sudah mengkhianati ketulusan cintanya. Setelah tau bahwa cincin kawinnya dijual, ia marah besar dan tidak sadar memukul pipi Kadarwati. Kadarwati menangis dan dilemparnya surat kecil itu dari sakunya, Listyo melihat lalu langsung memunggutnya karena dari tadi surat itu dicarinya ia takut jika Kadarwati mengetahuinya tetapi terlambat Kadarwati sudah mengetahuinya. Seketika itu Sulistyo memohon maaf kepada Kadarwati tetapi Kadarwati tidak memperdulikan, Listyo membujuk terus tetapi tetap sama saja. Saat Listyo berangkat bekerja, Kadarwati membawa kedua anaknya pergi dari rumah meninggalkan Listyo.
C.    Tahap Akhir
Sekian tahun Kadarwati berjuang keras untuk kelangsungan hidup anak-anaknya, bekerja membanting tulang sebagai orang tua tunggal. Jalan hidup yang dilalui Kadarwati tidak mudah, berbagai masalah dan beban berat ditanggung olehnya namun Kadarwati tidak gentar. Dia tinggal di rumah bu Onggo yang beralamat di Jatinegara yang merupakan kenalannya saat masih menjadi istri Sumadi yang juga budhe mantan pacarnya ketika masih sekolah di Jogja. Kondisi hidup yang serba susah dan penuh penderitaan itu tidak ditanggung sendiri oleh Kadarwati, tetapi juga dibantu oleh Baskoro yang member sumbangan dari segi materi maupun perawatan terhadap anak-anaknya yang sudah dianggap seperti anak keponakannya sendiri. Semuanya jerih payah serta didikan Kadarwati kepada anak-anaknya membuahkan hasil yang luar biasa, kedua anaknya mampu melanjutkan belajarnya sampai perguruan tinggi. Satriyo hampir lulus kuliah dan adiknya di tingkat 2, pendek cerita Satriyo berpacaran dengan seorang wanita bernama Susilowati yang tidak lain adalah anak hasil selingkuhan Listyo dengan Partiningsih dulu.
Pada suatu malam Listyo datang ke rumah Kadarwati, kedatangannya karena mengetahui Satriyo dan Listi menghadiri pesta anaknya Susi. Dia berniat untuk bertanggung jawab terhadap anaknya karena dia bapaknya yang lebih utama untuk menafkahi anak-anaknya. Namun demikian kedatangan Listyo tersebut belum bisa membuka hati Kadarwati meskipun Listyo sudah berulangkali memohon maaf atas kekhilafannya di masa lalu. Hingga akhirnya Kadarwati terbuka hatinya melihat wajah Sulistyo yang sudah banyak kerutan dan rambutnya yang tipis serta penuh dengan uban yang menandakan bahwa cobaan hidup yang dia alami sangat berat. Kadarwati menangis sambil meminta maaf lalu mencium kaki suaminya Sulistya. Sulistya bersyukur karena istrinya telah terbuka hatinya. Sulistya meminta kepada Kadarwati agar melupakan masa lalu dan membangun kembali keluarga bahagia dan sejahtera seperti yang diimpikan dulu ketika mulai berumah tangga. Setelah itu mereka membahas kedekatan hubungan Satriyo dengan Susi dan juga Listi dengan Santosa. Setelah Satriyo dan Listi pulang dari pesta Susi, Listy kaget karena ada bapak Listyo (bapak Susi) di rumahnya. Ibunya mengatakan bahwa doamu sudah terkabul nak karena bapakmu sudah datang. Listy masih bingung tapi kemudian dia mengerti dari keterangan bapak dan ibunya. Mereka bahagia bisa berkumpul kembali. Suatu hari Kadarwati, suami, ketiga anaknya dan Santosa pergi ke Jogja untuk mengunjungi orang tua dan saudara-saudaranya yang selama 21 tahun sudah tidak dikunjungi. Kedua orang tuanya bahagia melihat anak perempuannya yang dikira sudah hilang datang diiringi oleh suaminya yang gagah dan ank-anaknya yang cantik-cantik dan tampan. Orang tuanya kemudian diajak ke Jakarta sekalian dan sebagai rasa syukurnya Kadarwati menepati nadzarnya yaitu mengadakan syukuran dengan tetangga kanan kiri jika keluarganya bisa berkumpul kembali sekaligus melakukan acara tunangan untuk kedua anaknya. Akhirnya Kadarwati mantu dan Sulistyo serta Kadarwati memuji syukur kepada Tuhan karena sudah mempersatukan keluarga mereka kembali.
3. Setting/pelataran
Setting merujuk pada hubungan tempat,waktu, dan terjadinya peristiwa yang diceritakan.
Tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab akibat yang perlu pijakan dimana dan kapan. Unsur latar /kategori  latar selanjutnya dapat dikelompokan menjadi 3,yaitu :
1.         Tempat
2.         Waktu
3.         Peristiwa
Latar tempat yaitu tempat dimana suatu peristiwa itu terjadi. Latar tempat yang terdapat didalam novel ‘’mendung kesaput angin’’ adalah sebagai berikut :

·         Latar tempat :
1.lincak/amben :
’’sinambi teturon leyeh-leyeh ana ing lincak utawa amben’’………….kaca 7.
2.Ing senthong :
’’wong jare malah mung mugen ana senthong kok,’’………………..kaca 7.
3.Ing papan kang peteng :
’’nanging dheweke sengaja milih papan kang peteng.’’…………………kaca 9.
4.Ing njaba :
’’ugi lagi lungguh ana ing njaba.’’……………………….kaca 9.
5.Ngisor wit jambu :
’’hiya ana ing sangisoring wit jambu kang ngrembuyung.’’………………kaca 9.
6.Ing Betawi :
’’Sampeyan pun krama lan dedalem ing Betawi.’’………………kaca 9.
7.Pasar gambir :
’’Pasar Gambir iku nek ana Yoja, kena diumpamakake karo keramean sekatenan.’’………kaca 14.
8.Ing kutha :
’’Pak Hadi ketemuan sadulure kang ana ing kutha.’’……….kaca 15.
9.Ing ngomah :
’’prawan mau terus mundur , mlebu ngomah lan ora ngetok maneh.’’………..kaca 15.
10.Ing panere lawang :
’’mripate tansah ngewasake panere lawang kang dinggo metu…..’’………..kaca 15.
11.Ing kursi :
’’jejaka mau isih lungguh ing kursi karo udut.’’……….kaca 15.
12.Pinggiring tempat tidur :
’’banjur mapan lungguh ana ing pinggiring tempat tidur.’’……kaca 15.
13.Omahe Sumadi :
’’para ibu padha nekani omahe Sumadi,’’………...kaca 18.
14.Plataran bawera :
’’kang duwe plataran bawera,cukup dinggo lapangan badminton.’’………………kaca 18.
15.Bank :
’’Wong kangmas ngastane ana ing Bank wae kok.’’………………kaca 20.
16.Ing dokter gigi :
’’Dados kula lajeng kepeksa ndherekaken dhateng dokter gigi.’’…………..kaca 21.
17.Ing ndaleme mbakyu Guritno :
’’arep dijak dolan ing ndaleme mbakyu Guritno.’’………….kaca 22.
18.Ing wit jambet :
’’sampun katingal nylingkrik wonten ing wit jambet.’’………….kaca 22.
19.Ing Pasar Baru :
’’Kula ingkang kajibah madosaken barangipun ing Pasar Baru.’’………….kaca 23.
20.Ing Fakultas Hukum :
’’badhe nglajengaken sinaunipun wonten ing Fakultas Hukum.’’……….kaca 24.
21.Ing kamar :
’’mbakyu Guritno banjur ngadeg mlebu ing kamar.’’…………..kaca 26.
‘’Kadarwati banjur ninggalake bojone lan mlebu ing kamar.’’…………….kaca 44.
22.Ing Lowakan :
’’Tiyang buku anggene kula tumbas namung wonten lowakan.’’…………….kaca 28.
23.Ing Glodok :
’’awit kepengen ngejak kowe lunga menyang Glodok.’’…………………kaca 36.
24.Sawah :
’’saka kono nyawang sawah kang katon ijo royo-royo.’’……………………….kaca 39.
25.Ing tengah-tengahing lawang :
’’awit ing tengah-tengahing lawang Sumadi katon nggejejer ngadek,…’’……kaca 42.
26.Omah gedhek :
’’omah iku ya mung omah gedhek.’’……………..kaca 46.
27.Kantor :
’’sawise mulih saka kantor, Sulistyo banjur nindakake gawean,….’’………………….kaca 47.
28.Ing dipan :
’’nalika padha ngaso ana ing dipan.’’……………….kaca 48.
29.Ndaleme dik Winarto :
’’nalika awak e dewe layat ana ing ndaleme dik Winarto.’’…………….kaca 50.
30.Ing paturon :
’’weroh celanane bojone sumampir ing paturon.’’………………….kaca 54.
31.Dhapur :
’’Sulistyo tangi lan banjur menyang dhapur.’’………….kaca 60.
32.Ing jedhing :
’’sawise iku banjur nimba, ngebaki jedhing terus adus.’’……………kaca60.
38.Ing meja :
’’weruh layang gumlethek ana ing meja,…’’…………..kaca 61.
39.Omahe maratuwane :
’’dilacak nganti tekan omahe maratuwane.’’…………..kaca 63.
40.Ing Yoja :
’’banjur lagi arep tilik ana ing Yoja.’’………………….kaca 63.
41.Ing Kediri :
’’sakarone padha njujug disik ana ing Kediri.’’……………kaca 63.
42.Jatinegara :
’’manggone ana ing Pisangan Lama, ing Jatinegara.’’…………..kaca 64.
43.Kemayoran :
’’ana ing Kemayoran, wangsulane Kadarwati gagap.’’……………kaca 65.
44.Surabaya :
’’Apa rayimu isih kotinggal ana Surabaya?’’…………….kaca 65.
45.Ing dalan :
’’wong mlaku ing dalan kang weruh sesawangan.’’………………….kaca 73.
46.Wonogiri :
’’Baskoro lan ibu Onggo padha mulih menyang Wonogiri.’’……………..kaca 75.
47.Daleme Bu Sosro :
’’dene kudu mondhok ana daleme Bu Sosro.’’……………..kaca 75.
48.Ing Sala :
’’Baskoro enggal bisa oleh pegawean ana ing Sala.’’……………..kaca 75.
49.Stasiun Balapan Sala :
’’mulih marang wong tuwane, ing Stasiun Balapan Sala.’’………….kaca 76.
50.Mbulak :
’’inggih punika wonten ing Mbulak,’’……………..kaca 77.
 ‘’Sampun meh dugi ing Mbulak ingkang gawat punika, Den,’’………………..kaca 77.
51.Pondhokan :
’’ora betah nganggur ana ing pondhokane.’’…………….kaca 77.         
52.Warung :
’’yen kowe ngelih tukuo sega ana warung kana!’’……………….kaca 80.
53.Pasar gedhe :
’’ Aku isih arep menyang Pasar`Gedhe.’’…………………kaca 80.
54.Los-losan :
’’Kadrwati lan rewange banjur padha nuju marang Los-losan.’’……………….kaca 80.
55.Padesan :
’’sepur lakune saya suwe saya cepet, ngliwati padesan.’’……………..kaca 85.
56.Stasiun Tugu :
’’sepur wis mlebu Stasiun Tugu.’’…………………..kaca 85.
57.Ing Desa :
’’mung kala-kala bae mulih menyang Desa.’’………………….kaca 85.
58.Ndaleme Budhene :
’’ana ing kutha lan dititipake mondhok ana ing ndaleme Budhene.’’……………..kaca 85.
59.Papan Komandan :
’’enggal ninggal papan komandan mau lan bali.’’……………….kaca 87.
60.Ing kursi :
’’supaya lingguh ana ing kursi ing sangarepe.’’…………………kaca 88.
61.Kebon :
’’oara ana liya kajaba kudu mlayu menyang kebon.’’…………………..kaca 90.
62.Purwakerto :
’’nanging bareng ana ontran-ontran perang, padha mulih ing Purwakerto.’’…………….kaca 91.
63.Griya sakit :
’’sapunika taksih lerem ing griya sakit.’’……………….kaca 92.
64.Pos jagi :
’’sapengkeripun ibu-ibu mampir wonten pos jagi.’’……………….kaca 92.
‘’sakarone padha gugur, seda nalika pos jaga kita diserang musuh.’’………………….kaca 93. .
65.Plataran ngomah :
’’teka bareng ngambah plataran ngomah,’’………………kaca 93.
66.Ing Jatinegara :
’’Dene dalem kang ana ing Jatinegara.”……………..kaca 95.
67.Ing Grogol :
’’Kadarwati bisa oleh omah ana ing Grogol.’’…………………kaca 95.
‘’jib wes ninggal Grogol.’’……………kaca 96.
  ‘’yen ora katon ana ing Grogol,..’’………………kaca 101.
68.Pasar Baru :
’’piye yen ngicipi es krim ana ing Pasar Baru.’’……………..kaca 96.
 ’’Panjenengan priksa aku karo mas Baskoro padha blanja ana Pasar Baru.’’……………kaca 109.
69.Ing toko :
’’terus padha mlebu ing toko.’’………………kaca 96.
          ‘’Kadarwati metu saka toko.’’……………kaca 99.
70.Kafetaria :
’’sawise rampung anggone padha blanja,banjur padha marani kafetaria.’’……………kaca 96.
71.Ing fakultas :
’’nganti anake bisa nerusake sinaune ing fakultas.’’…………..kaca 101.
72.Ing SMP lan SMA :
’’kanggo ngenthengake sesanggane ibune, sarana padha ngajar  ana ing SMP lan SMA.’’……………kaca 101.
73.Mangkunegaran :
’’palilahe arep njupuk putri saka Mangkunegaran.’’………………kaca 101.
74.Panglima Polim :
’’mesthi lagi ana ing Panglima Polim.’’………………….kaca 101.
‘’mengko ibu tindak panglima Polim.’’……………..kaca 106.
75.Luar negri :
’’wong Pak Sulistyo kuwi sering banget tindak luar negri.’’……………kaca 105.
76.Kamar :
’’Ikem rewange mlebu kamar.’’……………..kaca 106.
77.Ing Jakarta :
’’Kalebu akeh kok sing saiki ana ing Jakarta.’’……………..kaca 112.
78.Stasiun Tugu :
’’mbakyu lagi bae medun saka sepur,ana ing Stasiun Tugu.’’………………..kaca 112.
‘’anggonku ketemu karo panjenengane dhek ana Stasiun Tugu.’’…………..kaca 112.
79.Yoja/Bintaran :
’’Jeng, kula sapunika ngungsi wonten Yoja, wonten Bintaran.’’……………kaca 112.
80.Kamar ngarep :
’’padha lungguhan ana ing kamar ngarep.’’…………….kaca 113.
81.Ing jaba :
’’Sat ngejak kancane lungguhan ing jaba.’’……………..kaca 113.
82.Pasar Grogol :
’’Bu, dhik Susi kepengin arep weruh Pasar Grogol.’’……………kaca 121.
83.Jl.Tirtayasa :
’’Daleme Pakdhe Baskoro yo mung cedhak bae karo Jl.Tirtayasa…’’………..kaca 121.
89.Omahe Kadarwati :
’’ padha katon kumpul , ngebaki omahe Kadarwati.’’……….kaca 122.

·         Setting waktu  :
1.Malam hari :
’’angembaring soroting  rembulan kang sumunar.’’…………….kaca 7.
2.Sore hari :
’’plataran kang wis disapu resik dhek mau sore.’’………………kaca 7.
3.Jam 12 malam :
’’Unah nyritakake anggone lunga menyang pasar jam 12 bengi.’’…………..kaca 7.
4.Pagi hari :
’’esuke bareng wes padha bali saka kutha…..’’……………….kaca 7.
5.Jam lima pagi :
’’jam lima esuk, kabeh keluarga pak Hadiwiyata wis padha nglumpuk.’’……………..kaca 12.
6.Sore jam 8 :
’’nalika iku wes sore jam 8, pak Hadi……………’’……………..kaca 15.
7.Jam satu malam :
’’watara jam 1 bengi , anggone jejagongan lagi padha leren.’’………………kaca 15.
8.Jam 2 siang :
’’nalika wayah jam 2 awan, wis ana sawetara wanita kang padha kumpul.’’………………kaca18.
9.Kemarin :
’’pancen kala wingi sampun badhe sowan…..’’…………………..kaca 21.
10.Besok :
’’kados pundi menawi benjing yen giliran masak….’’……………….kaca 21.
Bab 4
11.Kemarin :
’’dhek wingi kowe rak ngelem gudhek lan rendhang…..’’……………kaca 24.
12.Malam hari :
’’wong bengi-bengi keng  raka ya diaturi nyrempeng ta.’’…………….kaca kaca 25.
13.Siang hari :
’’sampun wau siyang jeng.’’…………….kaca 25.
14.Jam 9 malam :
’’saiki jam 9 luwih, kurang prayoga kang arep tilik priyayi kang lagi gerah.’’…………………kaca28.
15.Jam 12 malam :
’’watara  jam 12 banjur padha pamit,’’…………….kaca29.
16.Malam hari :
’’nalika wengi wis sepi,’’……………….kaca 29.
17.Pagi hari :
’’taksih enjing teka sampun kondur dhik?’’…………………kaca 31.
18.Sore hari :
’’pancen wis dadi pakulinane saben sore.’’………………kaca 45.
19.Semalaman  :
’’sewengi natas Sumadi ora bias turu.’’……………….kaca 45.
20.Sore hari :
’’sawijining sore, nalika lagi padha ngaso,’’……………kaca 48.
21.Pagi hari :
’’mau esuk, mbakyu Dewa rawuh mrene.’’………………….kaca 49.
22.Kemarin :
’’kaya dhek wingi bae….’’……………kaca 50.
 ‘’yen wingi aku ora teka.’’………………….kaca 51.
23.Seminggu sekali :
seminggu sepisan Kadrwati digawekake cabe lempuyang.’’……………….kaca52.
24.Beberapa hari :
sawetara dina, Listi awake panas.’’………………..kaca 54.
25.Jam 9 malam :
bareng jam 9 bengi, Sulistyo teka.’’…………………kaca 56.
26.Seharian :
’’sedina muput aku ngenteni tekamu.’’……………..kaca 56.
27.Beberapa minggu  :
pirang-pirang minggu ora bias tentrem.’’…………………kaca 57.
28.Sampai malam :
”lan nganti bengi, anake wis padha turu.’’………………kaca 59.
29.Pagi hari :
”tekan bangun esuk, Sulistyo ora bias turu.’’……………….kaca 60.
30.Hampir 7 bulan :
kira-kira wis meh 7 sasi sliramu ana kene ya dhik?’’………………kaca 69.
31.Jam 10 malam :
nalika deweke mangkat karo Sajem jam 10 bengi.’’………………..kaca 76.
32.Malam hari :
keprungu pating klonthanging wengi ngunduri sepi iku.’’………………….kaca 76.
 “wong wadon kang isih enom, lunga bengi-bengi.’’……………………kaca 77.
 wengi kang sepi nyenyet.’’………………kac a 79.
33.Siang hari :
nanging nganti awan, during ana wong kang gelem nuku.’’………………..kaca 79.
 “serehna wis awan lan wis uga krasa kesel.’’………………kaca 79.
34.Sore hari :
”ngarepake sore, sepur wis tekan papan kang dituju.’’………………..kaca 86.
35.Jam 11 siang :
water jam 11 awan, sepur wis mlebu Stasiun Tugu.’’…………………kaca 85.
36.Magrib :
ngarepake surup srengenge.’’………………..kaca 89.
37.Akhir tahun 1945 :
akhir tahun 1945 Pemerintah Indonesia…’’……………….kaca 95.
38.2 tahun yang lalu :
watawis kalih taun kepangker mergi sakit typus.’’………………….kaca 98.
39. 5 tahun lalu :
”mula sepira leganing atine, nalika 5 tahun kepungkur.’’………………kaca 101.
40. 12 agustus :
supaya saben tanggal 12 agustus…’’…………………………kaca 102.
41. Jam 8 malam :
Bu, mengko jam 8 bengi wong tuwane Susi….”……………….kaca 103.
42. Pagi hari :
esuke Sat karo Listi wes katon padha mulih.’’……………..kaca 121.
43. Sore hari :
arep sowan eyang mengko sore.’’………………kaca 121.
44. Jam 11 siang :
watara jam 11 awan, kabeh kuwarga……..’’kaca 122.

·         Setting suasana
Ramai :’’Bocah-bocah cilik padha  rame pating bengok,’’………………kaca 7.
        ‘’Kabeh keluarga Pak Hadiwiyoto padha nglumpuk,’’………kaca 12.
        ‘’Pak Hadi ketamuan sadulure saka kutha.’’………………….kaca 15.
        ‘’Mula platarane Sumadi ajek katon rame.”…………………..kaca 16.
Sepi :”Nalika wengi wis sepi,’’……………..kaca 29.
          ‘’Tekan ngomah,atine wes ngrasa khawatir, jalaran omahe katon sepi kabeh.’’……kaca62.
           ‘’Kaanane omah katon sepi,’’…………….kaca 64.
Tegang :”Kadarwati ora kepenak ditinggal ijen karo Sulistyo.’’………………kaca 26.
        “Sanalika raine katon pucet lan badane gemeter, awit ing tengah-tengahing lawang Sumadi                    katon nggejejer ngadek.’’…………..kaca 42.

4.      Tema novel Mendhung Kesaput Angin
Tema utama novel Mendhung Kesaput Angin karya Ag. Suharti adalah Penderitaan hidup sedangkan sub temanya adalah penderitaan hidup di masa lalu akhirnya menjumpai kebahagiaan di masa depan. Kisah novel ini menceritakan perjalanan hidup seorang gadis yang bernama Kadarwati yang menikah dengan Sumadi pria pilihan orang tuanya yang semula tidak dicintainya namun demikian rumah tangga mereka lama kelamaan terlihat mesra dan tentram. Ketentraman itu berubah karena adanya godaan seorang perjaka bernama Sulistyo yang mencintai Kadarwati begitu pula Kadarwati sebaliknya sangat mencintai pemuda itu. Hal ini akhirnya diketahui oleh Suaminya Sumadi dan menyebabkan perceraian antara Kadarwati dan Sumadi. Selanjutnya Kadarwati membangun rumah tangga baru dengan Sulistya dalam hidup yang penuh prihatin, tinggal di rumah sewaan yang terbuat dari bambu. Rumah tangga yang mereka bina hanya bertahan 1,5 tahun karena Sulistya mendapat goda menghamili gadis bernama Partiningsih. Akhirnya karena Kadarwati sakit hati dan tidak rela dimadu maka ia kabur dari rumah suaminya Sulistya dengan membawa kedua anaknya. Penderitaan hidup yang dialami Kadarwati itu karena hukum karmanya telah mengkhianati cinta suaminya Sumadi yang tulus murni dan watak Kadarwati yang keras hati dan tidak dipikir dengan logika yang jernih akibat akhirnya. Sejak perpisahan itu Sulistya menderita, hatinya sakit, terlunta-lunta karena terus kepikiran di mana keberadaan anak istrinya yang dia cintai begitu pula Kadarwati hidupnya sengsara, prihatin karena harus mencari nafkah sendirian untuk dirinya dan kedua anaknya dan sesungguhnya hatinya senantiasa merindukan Sulistya. Perpisahan antara Sulistya dengan Kadarwati beserta anak-anaknya berlangsung ± 20 tahun. Pada suatu hari berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa Sulistya dipertemukan kembali dengan Kadarwati lantaran mengetahui kedua anaknya menghadiri pesta ulang tahun Susi (anak Sulistyo dengan Partiningsih) sehingga Sulistya datang ke rumah Kadarwati dan meminta maaf. Mereka berdua saling menangis dan memaafkan satu sama lain. Akhirnya mereka sekeluarga bisa berkumpul kembali membangun keluarga yang bahagia, sejahtera, dilimpahi banyak harta seperti yang diimpikan ketika memulai hidup bersama.

5.   Sarana-sarana Sastra
A.          Judul
Judul novel karangan Ag. Suharti yang kami analisis ini adalah Mendhung Kesaput Angin. Mengapa novel ini diberi judul Mendhung Kesaput Angin? Karena mengacu pada latar belakang kisah tokoh utama yang terdapat dalam novel tersebut yaitu Kadarwati dan Sulistya yang menerima berbagai macam ujian dan penderitaan, menanggung sengsara batin. Penderitaan yang mereka berdua alami ini karena mendapat karma dari Tuhan Yang Maha Esa dan juga karena sikap nalar yang dangkal dan tidak berpikir panjang apakah akibat akhirnya. Uraiannya adalah sebagai berikut:
Pertama tokoh Kadarwati yang sudah berumah tangga dengan Sumadi pria yang sudah bisa nyembadani berbuat serong dengan Sulistya hingga akhirnya pada suatu hari ketahuan suaminya dan menimbulkan pertengkaran hebat yang berujung pada perceraian kemudian Kadarwati menikah dengan Sulistya dan membangun hidup baru di sebuah rumah sewaan yang terbuat dari bambu dengan perabot rumah tangga yang serba minim walaupun tanpa restu orang tua dan banyak saudara yang mencacat.
Kedua, namun demikian keluarga yang mereka bangun hanya bertahan ±1,5 tahun karena Sulistya mendapat goda menghamili gadis bernama Partiningsih dan terpaksa menikahinya.
Dari perbuatan yang dilakukan oleh 2 tokoh utama tersebut maka mereka mendapat hukuman yang setimpal dari Tuhan. Mendengar suaminya telah berbuat serong, Kadarwati bersama kedua anaknya pergi dari rumah suaminya tanpa izin karena terlanjur sakit hati akibat cintanya yang suci telah dikhianati dan tidak ingin dimadu. Selama Kadarwati berpisah dari suaminya hidupnya prihatin karena harus mencari nafkah untuk dirinya dan kedua anaknya meskipun masih dibantu Baskoro kekasihnya ketika masih muda dan menanggung sengsara batin karena sesungguhnya dia senantiasa merindukan suaminya Sulistyo. Begitupula Sulistyo hidup menderita, terlunta-lunta karena berpisah dengan anak istri yang dia cintai. Hukuman itu berlangsung selama 20 tahun.Hingga akhirnya pada suatu hari mereka dipertemukan kembali lantaran Satriyo anak buah perkawinannya dengan Sumadi mencintai Susilowati anak Sulistyo dengan Partiningsih. Dengan kemurahan Tuhan mereka akhirnya berkumpul kembali membangun keluarga yang bahagia, mulya dan dilimpahi banyak harta seperti yang mereka impikan ketika awal mula membangun keluarga karena Sulistyo sudah menjadi seorang pengusaha dagang yang sukses dan menjadi presdir.
Demikianlah alasan mengapa novel karangan Ag. Suharti tersebut diberi judul Mendung Kesaput Angin berlatar belakang pada kisah tokoh utama sepasang suami istri yang bernama Kadarwati dan Sulistyo yang semula hidup prihatin, terlunta-lunta hatinya karena pilihan hidup yang mereka ambil namun akhirnya dapat hidup bahagia, mulia dan dilimpahi oleh banyak harta seperti yang mereka impikan dari awal mula membangun hidup bersama lantaran Sulistya sudah menjadi orang yang sukses dan anak-anak mereka sudah menjadi sarjana.
B.        Sudut pandang
·         Orang pertama pelaku utama
”Gagasanmu ora beda adoh karo bulik, ya bulik sing gawe`sengsarane urip ku.’’ (halaman 10).
“Bapakne Listi,…..apuranen sekabehing keluputanku” (halaman 110).
“Ora Sat, ibu bungah-bungah bae, menawa kowe pancen wis ndue pandengan” (halaman 103)
·         Orang ketiga serba tahu
“Kanti sangu ati suwung, sepi ing seneng, Kadarwati kepeksa ninggalake alam remaja kang kebak pangangen-angen.’’ “Nalika Sulistyo mulih, tekan ngomah atine wis krasa kuwatir,....” (halaman 10).
“Kadarwati isih klisikan, durung bisa ngeremake mripate” “Nalika Sulistyo mulih, tekan ngomah atine wis krasa kuwatir,....” (halaman 29).
Kadarwati lagi ndondomi klambine anake, nalika Sajem ngandakake ana tamu.” “Nalika Sulistyo mulih, tekan ngomah atine wis krasa kuwatir,....” (halaman 31).
“Nanging Kadarwati tansah eling uripe sing wingi-wingi, kebak pait getir iku.” “Nalika Sulistyo mulih, tekan ngomah atine wis krasa kuwatir,....” (halaman 95).
“Umure Kadarwati wis ndungkap 42 tahun, saiki rambute sawetara wis ana sing katon putih.’ “Nalika Sulistyo mulih, tekan ngomah atine wis krasa kuwatir,....” (halaman 101)
C.       Gaya dan Tone
Bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam novel yang berjudul “Mendhung Kesaput Angin” adalah bahasa krama alus dan ngoko alus. Pengarang sangat detil dalam menceritakan novel tersebut mulai dari awal hingga akhir sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami jalan cerita masing-masing tokoh. Bahasa novel ini sarat dengan kata, kalimat dan ungkapan kesedihan yang dialami oleh banyak tokoh. Keprihatinan banyak tokoh yang ada di dalamnya seperti Baskoro yang tidak tega melihat penderitaan wanita yang dicintai di masa lalu, keprihatihan Kadarwati, keprihatinan Sulistyo yang berpisah dengan anak istri yang dia cintai dan juga keprihatinan bu Onggo yang memikirkan anaknya meninggal di medan perang hingga akhirnya meninggal. Keprihatinan tokoh Kadarwati, misalnya seperti dalam kutipan berikut :
“Kadarwati kaca-kaca nyawang wong telu mau.
Kadarwati ngekep dhadhane kang dumadakan krasa lara, krasa sesak. Sirahe gedheg-gedheg...”
“Kadarwati trenyuh krungu celathune Baskoro kang mengkono iku.”
Bahasa novel ini selain sarat dengan ungkapan-ungkapan sedih juga penuh dengan cerita sejarah zaman penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia yang menunjukkan bahwa novel ini mungkin dibuat ketika masih zaman perang (Belanda dan Jepang menjajah Indonesia) atau mungkin perang sudah berlalu tapi pengarang masih ingat dengan peristiwa semasa peperangan sehinga beliau ingin menjadikan kisah zaman peperangan tersebut sebagai latar suasana novel karyanya.
Dalam novel ini juga terdapat gaya bahasa yang menyebabkan bahasa novel menjadi indah, misalnya adalah kalimat yang dibubuhi gaya bahasa perumpamaan, seperti berikut:
“Anak lan bojo kang ditresnani kaya-kaya wis ilang tapak tilase, kaya ambles ana ing bumi.”
“Sulistyo lungguh tanpa obah, kaya tugu sinukarta.”
Selain itu penggunaan istilah-istilah seperti ketupat bangkahulu, pesta emas, dan lain-lain juga menjadikan bahasa novel semakin berkualitas dan enak dibaca.

Tone yang terdapat dalam novel Mendhung Kesaput Angin ini antara lain sebagai berikut:
A.    Tone benci
“Nek aku sepisan gething, ya tetep gething bae. Apa maneh karo wong siji iki...marga dheweke...aku...aku dadi sangsara.” (halaman 9)
“Sampun, Den, sapisan punika kemawon kita sade areng, Sajem nelakake ora senenge atine.”
“Kowe...kowe...,”celathune Kadarwati gagap. Badane sakojur katon gemeter, mripate kebak pancaran kanepson, mandeng Sulistyo.” (halaman 80)
“Dheweke gething banget marang priya mau,...” (halaman 79)
“Atine ngrasa perih, tanpa upama...” (halaman 97)
B.  Tone sedih
“..., Kadarwati nangis mingseg-mingseg.” (halaman 10)
“Kanthi sangu ati suwung, sepi ing seneng, Kadarwati kapeksa ninggalake alam remaja kang kebak ing pangangen-angen...” (halamn 10)
“Kowe putrane bapak sing bagus tenan, Sat, kowe mesakake karo bapak. Satriyo dirangkul kanthi trenyuh.” (halaman 59)
“Luhe kang panas, dleweran nelesi kajang sirah. Kadarwati nangisi uripe kang wis kapungkur.” (halaman 55)
“Saking keranta-rantaning atine, dheweke nganti nangis.” (halaman 60)
“...,dheweke wis ora kuwawa maneh wusana eluhe dleweran nelesi pipine.” (halaman 66)
“Atine melu trenyuh mikir nasibe Kadarwati.” (halaman 66)
“..., celathune Sulistyo kebak rasa sedhih mandeng marang Kadarwati.” (halaman 67)
“Baskoro, mripate uga kaca-kaca karanta-ranta.” (halaman 94)
“Guritno ora bisa nahan trenyuhing atine,...” (halaman 99)
C.     Tone berdebar-debar hatinya
“Mak pyur, sanalika atine ngrasa dheg-dhegan, geter. Pemudha mau terus mandeng dheweke, mripate kang ruruh tajem, kaya-kaya nrabas nusuk relunging atine.” (halaman 24)
“Kadarwati...,”ucape tamu mau ndhredheg.” (halaman 106)
D.    Tone khawatir
“Kadarwati rumangsa ora kepenak ditinggal ijen karo Sulistyo,...” (halaman 26)
“Sawengi natas Sumadi ora bisa turu, pikire ora jenjem lan bunek banget.” (halaman 45)
“...,atine saya krasa kurang kepenak,...” (halaman 65)
“..., celathune Satriyo kang katon banget wiwit ora jenjem atine.” (halaman 78)
“Wiwit ana ing ndalan atine wis krasa ora kepenak.” (halaman 93)
“..., dheweke banjur krasa, yen ana kadadeyan kang ora gawe enaking piker.” (halaman 93)
“Aku krasa yen ana apa-apa kang ora gawe enaking pikir.” (halaman 93)
“..., sakala Kadarwati ngrasa geter.” (halaman 105)
“Nalika Sulistyo mulih, tekan ngomah atine wis krasa kuwatir,....” (halaman 45)
E.     Tone penyesalan
“Kadarwati nangisi uripe kang wis kapungkur. Kena apa ora dhek awake isih kenya anggone ketemu Sulistyo?” (halaman 29)
“Darwati, aku njaluk pangapuramu saka lancanging tindakku mau...” (halaman 57)
“Kuciwanipun Ibu mboten rawuh, eyang kakung putrid sami gela penggalihipun.” (halaman 121)
F.      Tone kagum atau heran
“Dhek Listyo lajeng badhe krama?” celathune Kadarwati gawok.” (halaman 41)
“Aku dhewe ya gumun, apa karepe dhik Listyo kerep teka rene...” (halaman 36)
“Listi isih during jumangkah, during mari anggone gumun.” (halaman 115)
G.    Tone malu
“O, sapira wirange Kadarwati krungu kabar kang mengkono iku.” (halaman 42)
“Kadarwati, nangis mingseg-mingseg tangane loro pisan dienggo nutupi raine.” (halaman 42)
H.    Tone malas
“Nanging sadhela bae wis diselehake, jalaran krasa aras-arasen.” (halaman 40)
I.       Tone penuh birahi
“Sulistyo banjur ngadeg marani Kadarwati lan sawise ngadeg cedhak ana ing sangarepe wanita mau, tangane banjur nyekel lan ngangkat janggute terus tumungkul lan...lambene Kadarwati banjur dikecup kanthi birahi.” (halaman 42)
J.       Tone takut
“..., nanging Kadarwati mundur ngendhani. Lan sanalika raine katon pucet, badane gemeter, awit ing tengah-tengahing lawang ana Sumadi katon nggejejer ngadeg.” (halaman 42)
“...,Kadarwati ngedhap atine.” (halaman 77)
“..., celathune Kadarwati kanthi rasa kang ora karu-karuan, dheg-dhegan, kuwatir, miris, campur bawur dadi siji.” (halaman 78)
“Bu Mangku katon pucet krungu ucapane Sulistyo...” (halaman 87)
“Kadarwati krasa dheg-dhegan lan ora kendhat nyenyuwun marang pangeran,...” (halaman 79)
“Ing atine terus ketuwuhan rasa wedi kang tanpa upama.” (halaman 80)
“Ing dalan rasane Kadarwati wis ora karu-karuan, tansah dheg-dhegan lan nratab” (halaman 81)
K.    Tone marah
“Dene Sumadi, abang mbranang raine kagawa saka nepsune.” (halaman 42)
“Darwati...!”Sulistyo katon abang polatane,...” (hal. 109)
L.     Tone penuh keikhlasan
“Nanging kang mengkono mau pancen wis jaragan, mula iya ditampa kanthi eklasing ati.” (halaman 46)
“Mula saiki ya kudu wani ndhadha, rila lan tabah ngadhepi pacobaning urip sateruse.” (halaman 46)
“Keparenga aku ngaturake bela sungkawaku kang tulus eklas, Mas.” (halaman 93)
“..., Manawa kanthi tulus eklasing ati, aku rila kowe dadi sisihane mas Baskoro.” (halaman 108)
“Sapira gedhene panarimane marang sisihane,...” (halaman 116)
M.   Tone romantis
“Tangane ngelus-elus tangane bojone kang dirangkulake ing gulune.” (halaman 48)
“Sulistyo ngasokake kapange kang wis direndhem rong puluh taun lawase, Kadarwati dirangkul kenceng, diarasi kanthi trenyuhing ati.” (halaman 120)
N.    Tone bingung
“Bareng pamacane saya diterusake suwe-suwe tangane katon saya wel-welan. Kadarwati lemes, bayune kaya dilolosi lan sanalika rasa pet-petan.” (halaman 55)
“Kadarwati saya bingung, arep lunga menyang dokter...” (halaman 55)
“Wis ana sawatara dina iki pikiranku pancen buneg lan bingung.” (halaman 58)
“Listi banjur gagap, ora bisa nerusake guneme, pikire banjur ruwet,...” (hal. 115)
O.    Tone tegang
“Apa kandhamu, Darwati, kowe nganggep sepele...” (halaman 57)
“Darwati, dadi kowe njarag nyepelekake aku.” (halaman 57)
“Plok!!!tangane Sulistyo kumlawe, kagawa saka wis ora bisa nahan nepsune. (halaman 57)
P.      Tone penuh imaji
“Pancen aku sing wong cubluk, wani-wani ngimpi bisa nggayuh urip mulya ing sisihe priya sembada.” (halaman 59)
Q.    Tone sakit hati
“Atiku wis dijuwing-juwing, digawe remuk sumyur. Tindake kang natoni atiku, ora bakal bisa ndaklalekake...” (halaman 70)
R.     Tone penuh rasa syukur
“Sokur Alhamdulillah, kita sampun dipunparingi kawilujengan, Den.” (halaman 79)
“Sokur, kabeh pepuji konjuk ing ngarsane Pangeran. Panyuwune wanita sakarone dilulusake dening Pangeran,...” (halaman 79)
“Rahayune sabanjure ora ana alangan sawiji apa. Nganti tekan Jakarta, diparingi slamet.” (halaman 82)
“Sokur Baskoro sajak ora nggatekake tekane kulawarga Guritno...” (hal. 97)
“Darwati, sapira puji sokurku marang pangeran kang maha mirah,...” (hal. 110)
“Sapira suka sokure wong tuwane sakarone, nalika priksa putrane kang dikira ilang,...” (hal. 122)
S.      Tone penuh kelegaan
“Atiku krasa lega, bisa ketemu sliramu,...” (halaman 104)
“Mula sapira leganing atine, nalika limang taun kapungkur,...” (hal. 101)
T.      Tone penuh rasa rindu
“Rasa kangen lan trenyuh ngebaki dhadhane.” (halaman 76)
“Sulistyo meh bae ora kuwawa maneh nahan mbludaging atine...”(hal. 97)
U.    “Tone penuh rasa cinta
“...nanging ora kuwawa nglalekake priya mau.” (halaman 92)
“Ketang tresnane marang bapa,...” (hal. 102)
“O, temtu kemawon dalem tresna dhateng bapak,...” (hal. 115)
V.    Tone penuh kesabaran
“...,celathune Sulistyo kebak kesabaran.” (halaman 108)
“Sulistyo unjal ambegan, disabar-sabarake atine ngrungokne...” (hal. 108)
W.   Tone ironi
“Badane kang kukuh, kuwat,...malih dadi kuru lan rada bungkuk, marahi katon luwih tuwa katimbang Baskoro, kang satemene luwih tuwa enem taun.” (halaman 91)
X.    Tone kaget
“Kadarwati kaget lan banjur ngeculake rangkulane anak-anake.” (halaman 93)
“Kadarwati saya kaget nanging terus bisa nguwasani pangrasane.” (hal. 98)
Y. Tone angkuh
“...dene Kadarwati isih ngatonake sikape kang angkuh.” (hal. 98)
Z.           Tone sungkan
“Satriyo mung gumuyu lan katon rikuh,...” (hal. 98)
AB. Tone pucat
“..., tanpa merduli Sulistyo kang katon pucet, ngusapi riwene saka bathuke.” (hal. 99)
AC. Tone bahagia
   “Kadarwati ora cilik atine, malah melu bungah.” (hal. 101)
   “..., Bapak...ooo dalem tansah ngajeng-ajeng konduripun bapak.” (hal. 115)
   “Anakku, bapak krasa gedhe penggalihe,...” (hal. 115)
        “Ing sabanjure, sakarone padha ngrasakake urip tentrem lan ayem,...” (hal. 123)
AD. Tone boring / bosan
“Manawa pikire lagi buneg, Listi banjur menyang Kemayoran.” (hal. 102)
AE. Tone penuh misteri
“Sapa satemene Sulistyo kang dikandhakake anake iku. Saupama wong iku pancen Sulistyo temenan.....” (halaman 106)
“Saupama pancen bener Susi iku anake Sulistyo karo Partiningsih...” (hal. 106)
AF. Tone seperti mimpi
“..., nanging Kadarwati ora bisa lali marang jenggerenge lan suwarane. Tangane nyaput raine,...” (halaman 107)

D.    Simbolisme
Simbolisme yang terdapat dalam novel  “Mendhung Kesaput Angin” antara lain sebagai berikut :
1.      Kacu “sapu tangan”
Sapu tangan Kadarwati yang jatuh ketika berada di rumah mbakyu Guritno diambil dan disimpan oleh Sulistyo. Sapu tangan itu oleh Sulistyo dianggap sebagai simbol pengganti diri Kadarwati. Setiap Sulistyo melihat sapu tangan tersebut dia merasa seperti berduaan dengan Kadarwati.
2.      Sesupe nikah “cincin perkawinan”
Cincin perkawinan yang dijual Kadarwati ketika anaknya sakit merupakan simbol bersatunya dua insan yang saling mencintai yaitu Sulistyo dan Kadarwati.
3.         Surat Partiningsih
Surat Partiningsih yang dikirimkan kepada Sulistyo merupakan simbol bentuk permintaan pertanggungjawaban Partiningsih kepada Sulistyo agar dia mau menikahi Partiningsih demi membersihkan nama bayi tanpa dosa yang sedang dikandung oleh Partiningsih. Karena akibat perbuatan yang hanya menuruti nafsu birahi tersebut membuahkan wiji kang urip “janin” yang bersemayam di dalam rahim Partiningsih.

E.     Ironi dalam novel Mendhung Kasaput Angin
“Wasana Baskoro sakulawarga (manut keyakinane Sulistyo) wis padha ngadeg arep padha mulih.” (halaman 97)
Kutipan di atas Sulistyo menyimpulkan bahwa Kadarwati dan Baskoro sudah berkeluarga dengan kata lain mereka sudah menikah, karena jika dilihat dari sikap dan kedatangan Baskora, Kadarwati, Satrio dan Listi sudah mencerminkan sebuah keluarga kecil yaitu bapak, ibu dan dua anak. Padahal sebenarnya Kadarwati dan Baskoro tidak menikah dan bukan sebuah keluarga seperti anggapan Sulistyo.
‘’ “Oh,” gagasane Kadarwati, “saiki anake wis loro.” Wanita mudha mau kira-kira barakan karo dheweke, pancen ayu rupane. Sokur dene baskoro sajak ora ngatekake tekane kulawarga Guritno lan kulawarga Sulistyo, sebab lagi ngladeni Listi kang aleman.” (halaman 97)
Kutipan di atas termasuk ironi karena Kadarwati juga beranggapan bahwa Sulistyo sudah menikah dan hidup bahagia dengan selingkuhannya yang dulu Partiningsih namanya. Kadarwati mengira bahwa wanita muda yang duduk di sebelah Sulistyo dan menggendok anak kecil itu adalah Partiningsih dan anak hasil perselingkuhan dengan Sulistyo. Tetapi anggapan Kadarwati salah, wanita muda itu bukan Partiningsih tetapi istri kedua dari Guritno.
“Saiki kaanane Sulistyo beda banget karo dhek semana. Badane kang kukuh, kuat, waras wiris, malih dadi kuru lan rada bungkuk, marahi katon luwih tuwa katimbang Baskoro” (halaman 91)
Kutipan di atas tergolong ironi karena pengungkapan keadaan fisik Sulistyo dan penggunaan perbandingan umur Sulistyo dan Baskoro “marahi katon luwih tuwa katimbang Baskoro” padahal sesuai realita umur Sulistyo lebih muda daripada Baskoro dibuktikan dari kutipan teks berikutnya “kang satemene luwih tuwa 6 taun.”
Amanat dalam novel Mendhung Kasaput Angin
1.      Jangan suka membicarakan keburukan orang lain
2.      Menghibur teman yang sedang sedih
3.      Memberi perhatian kepada teman yang mengalami masalah.
4.      Seorang anak juga berhak memilih jalan hidup dan pendamping hidupnya sendiri.
5.      Menjaga kesehatan dengan teratur berolahraga.
6.      Menjaga tali silaturahmi dengan keluarga yang lain.
7.      Mau belajar walaupun sudah tua.
8.      Dapat berbagi berkat kepada orang laing yang membutuhkan.
9.      Sebagai seorang istri harus mampu melayani suami yang baik.
10.  Tidak baik jika seorang wanita yang sudah mempunyai suami sering kedatangan tamu pria jejaka saat suaminya tidak berada di rumah.
11.  Setia kepada suami
12.  Tidak mengandalkan egoisme pribadi.
13.  Tetap menghormati suami walau bagaimanapun.
14.  Selalu berusaha dan berani mencoba hal-hal yang baru demi mencapai cita-cita.
15.  Berani membela kemerdekaan tanah air walau nyawa taruhannya.
16.  Mau memaafkan kesalahan orang lain.
17.  Ikhlas dan tabah menjalani cobaan hidup.
18.  Memberi yang terbaik untuk masa depan anak.
19.  Tidak pernah putus asa dalam mencapai cita-cita.
20.  Selalu ingat pada Tuhan sumber pertolongan.
21.  Berteman dengan banyak orang.
22.  Saling tolong menolong walaupun pada orang yang baru dikenal dengan ikhlas.
23.  Patuh pada nasehat orang tua.
24.  Belum tentu apa yang dimaksud terbaik dari pandangan orang tua, juga terbaik bagi anak.
25.  Selalu berfikiran positif pada orang lain.
26.  Dalam setiap pencobaan hidup yang sulit pasti ada jalan jika mau berusaha dan akan membuahkan hasil yang baik pula.

 BAB 4
PENUTUP

Kesimpulan
Dengan menggunakan teori struktural Robert Stanton dalam menganalisis unsur-unsur struktural novel Mendhung Kesaput Angin karangan Ag. Suharti ternyata ditemukan unsur-unsur struktural novel tersebut sesuai dengan unsur-unsur struktural yang terdapat dalam teori fiksi Robert Stanton yaitu fakta-fakta cerita yang meliputi karakter, alur, latar, tema, serta sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi. Ternyata dalam analisis struktural unsur yang meliputi: karakter, alur, latar, tema, serta sarana-sarana sastra yang meliputi judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi mempunyai keterkaitan antara unsur satu dengan unsur yang lain membentuk sebuah kesatuan yang runtut dan menghasilkan makna dalam karya sastra.

DAFTAR PUSTAKA

Ag. Suharti. 1980. Mendhung Kesaput Angin. Jakarta : PN Balai Pustaka.
Burhan Nurgiyantoro. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Jan Van, Luxenburg, Miekel Bal, Willem G. Weststeijn. 1984. Pengantar Ilmu Sastra Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: PT. Gramedia.
Rachmat Djoko Pradopo, 2007. Pengkajian Puisi. Gadjah Mada Uiversity Press.
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat. Yogyakarta: unit Penerbitan Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu Budaya Univesritas Gadjah Mada.
Stanton, Robert. 2007. Teori fiksi (edisi terjemahan oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (edisi terjemahan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.

SINOPSIS NOVEL MENDHUNG KESAPUT ANGIN
Disuatu malam yang diterangi rembulan yang bersinar, orang-orang desa berkumpul diluar setelah seharian penuh bekerja keras memeras tenaga disawah  dan dikebun. Prawan-prawan yang ada di desa itu berkumpul menceritakan apa yang dialami seharian saat mereka berjualan. Sedangkan Kadarwati saat itu tidak ikut bergabung teman-temannya di luar . Kata Wagirah, teman sebayanya ia menyendiri di senthong. Lalu prawan-prawan itu membicarakan Kadarwati yang katanya akan dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang pemuda  bernama  Sumadi, yang sudah memiliki pangkat dan menjadi mantri guru serta masih saudara dengan Den Bei, orang tua Kadarwati tetapi Kadarwati merasa tidak senang dengan perjodohan itu. Di saat teman-temannya membicarakan dirinya, dia  sedang duduk di tempat yang gelap yaitu dibawah pohon jambu yang lebat. Tidak lama kemudian ia didekati oleh perempuan  setengah tua untuk menyuruhnya makan, tetapi Kadarwati menolaknya, dan kemudian Kadarwati menangis karena tidak ingin dijodohkan dengan pemuda itu.
Jam lima pagi keluarga Hadiwiyata berkumpul untuk mengantar kepergian Kadarwati  ke Betawi bersama suaminya. Bu Hadi memberikan wejangan kepada Kadarwati agar dia bisa abadi melayani suami dan diikuti oleh adik-adiknya yang mengucapkan selamat jalan ketika kereta sudah hampir berjalan. Hati Kadarwati sedikitpun tidak tergugah, justru dia merasa seperti anak yang dibuang oleh orang tuanya. Di dalam kereta, Kadarwati kelihatan pucat, ibu mertuanya menyuruh  untuk merapatkan mantelnya. Kadarwati memang sedang sakit,semenjak  tiga hari setelah pernikahannya , dia terpaksa tidak bisa bangun karena kecapekan. Karena liburnya Sumadi sudah habis, dia terpaksa diboyong ke Betawi oleh suaminya.
Pertemuan Kadarwati dan Sumadi berawal dari kepulangan Sumadi untuk menjenguk kedua orang tuanya, utamanya bapaknya yang beberapa tahun terakhir sudah memiliki penyakit asma. Ketika sampai di rumah orang tuanya, tanpa menunggu 2 / 3 hari, Sumadi langsung diajak berkunjung ke rumah saudaranya di desa,  pastinya  yang mempunyai anak gadis. Padahal Sumadi tidak mau namun ibunya membohongi dengan alasan tidak akan mengunjungi saudara yang punya anak gadis. Keluarga Soma pertama-tama mengunjungi keluarga Dwijo dan kemudian mereka bersama-sama mengunjungi rumah pak Hadiwiyoto yang mempunyai anak gadis bernama Kadarwati. Sesampainya di rumah bu Hadi , Sumadi mengetahui Kadarwati menyuguhkan minuman, akhirnya lambat laun  ia tertarik dan jatuh cinta kepada Kadarwati sehingga akhirnya mereka berjodoh.
Saat Kadarwati sudah menjadi istri Sumadi, ia memiliki kebiasaan bersama ibu-ibu  setiap sore hari 2 minggu sekali yaitu bermain badminton, mereka bermain di halaman rumah Sumadi yang memiliki halaman yang luas.. Ketika kira-kira jam dua siang banyak para ibu-ibu yang sudah berkumpul dan ngobrol-ngobrol.
Suatu ketika Kadarawati  mengajak anaknya Sat pergi ke rumah mbakyu Guritno mbakyu Guritno untuk belajar melukis.  Ketika itu, adik ipar mbakyu Guritno datang dan akan meneruskan belajarnya di Fakultas Hukum. Kadarwati kemudian berkenalan dengan Sulistyo. Ketika Kadarwati  beradu pandang dengan Sulistyo, hatinya merasa deg-degan dan gemetar. Saat mereka saling bercakap, Sulistyo banyak memuji Kadarwati. Ketika mbakyu Guritno masuk kamar, Kadarwati merasa tidak enak ditinggal sendirian dengan Sulistyo lalu dia mengikuti mbakyu Guritno masuk kamar. Ketika keluar kamar, Kadarwati merasa tenang karena Sulistyo sudah tidak ada. Tidak tau kenapa hatinya merasa tidak tenang. Sebenarnya ia masih ingin berbincang-bincang dengan pemuda itu, tetapi ia merasa khawatir dan merasa tidak enak.
Ketika malam yang sepi, di mana orang-orang sudah tidur pulas, begitu juga dengan Sumadi, Kadrawati belum bisa tidur. Pemuda yang bernama Sulistyo tadi masih membayangi  pikirannya. Ketika ia kenal dengan seorang laki-laki yang gagah, bahkan dengan bekas temannya yang dahulu pernah  saling  mengikat janji sehidup semati ia tidak memiliki daya tertarik yang sebegitu hebatnya, n amun setelah ketemu dengan Sulistyo, pemuda itu terus membayangi  pikiran dan hatinya.Kadarwati sadar, dia harus bisa menahan godaan ini. Dalam hati dia menyesal, kenapa tidak dahulu saja sebelum menikah ia kenal dengan Sulistyo.
Ketika Kadarwati sedang menjahit baju anaknya , Sajem datang dan memberi tahu bahwa ada tamu. Ketika dia tahu siapa tamunya, dia merasa senang karena tamunya adalah Sulistyo dan mereka banyak mengobrol bersama. Sulistyo tidak ingin melanjutkan kuliahnya, bahkan ia ingin bekerja dan menikah. Setelah beberapa lama ia mengobrol, kemudian Sumadi datang, lalu ikut berbincang bersama Sulistyo namun tidak lama kemudian Sulistyo pamit ingin pulang. Sumadi merasa sedikit curiga karena setiap dia tidak ada di rumah, Sulistyo selalu datang kerumahnya dan menemui istrinya tetapi ketika Sumadi pulang, tidak lama kemudian Sulistyo juga pamit pulang. Sumadi menyuruh Kadarwati agar setiap Sulistyo datang jangan ditemui dan disuruh beralasan sibuk. Karena hal itu bisa menimbulkan fitnah dan tidak enak dengan tetangganya. Lalu Sumadi mengajak Kadarwati untuk membeli cincin bermata tiga yang  diinginkan Kadrawati. Seharusnya Kadarwati merasa senang, tetapi ia merasa sedih karena dai tidak diijinkan bertemu lagi dengan Sulistyo.
Sudah hampir seminggu lebih, Sulistyo tidak kedengaran kabarnya. Dari iparnya mbakyu Guritno, bahwa Kadarwati dan Sulistyo menjadi buah bibir para tetangganya atas hubungan dekatnya dengan Sulistyo. Jangankan orang lain, bahkan suaminya saja juga memiliki prasangka yang jelek terhadap dirinya dan Sulistyo.
Tidak berapa lama, Sajem memberi tahu bahwa ada surat dari Sulistyo. Surat itu berisi tentang kabar Sulistyo bahwa dia sudah keluar kuliah dan bekerja sebagai penyiar radio. Beberapa hari ini Sulistyo juga sedang sakit, dan Sulistyo meminta Kadarwati untuk menengoknya. Lalu Kadrwati membalas suratnya bahwa dia juga kurang enak badan dan tidak bisa menjenguknya. Tidak lama kemudian Sulistyo datang, mereka berdua berbincang –bincang. Dia bercerita bahwa  dia ingin menikah dengan wanita pilihannya. Kadarwati ikut senang mendengarnya, tetapi dia sedih karena hubungannya dengan Sulistyo hanya akan  sampai di sini. Kadarwati lalu bertanya siapa nama calon istri Sulistyo. Betapa kagetnya Kadarwati mendengar bahwa nama calon istri Sulistyo adalah dirinya. Kemudian Sulistyo berdiri dan mengangkat dagu Kadarwati lalu mencium bibirnya dengan penuh nafsu. Kemudian Kadarwati  mundur karena Sulistyo merangkulnya, wajahnya pucat pasi setelah mengetahui Sumadi berdiri tegak di tengah-tengah pintu. Lalu Sulistyo meminta Kadarwati kepada Sumadi dan dia berpamitan pulang. Amarah Sumadipun tak tertahankan. Dia menakut-nakuti Kadarwati dengan mengembalikan kepada orang tuanya namun Kadarwati malah semakin berani. Sumadi tidak sadar bahwa dia telah mengucapkan kata-kata yang akan disesali selama hidupnya. Akhirnya Kadarwati dan Sumadi bercerai dan Kadarwati membangun rumah tangga baru dengan Sulistyo.
Di rumah sewa yang kecil, Sulistyo,  Kadarwati, Satriyo anaknya serta janin dalam kandungan Kadarwati. Memang keadaannya memprihatinkan, tetapi semua itu harus diterima dengan iklas karena memang sudah menjadi pilihan hidup mereka berdua. Satu yang menjadikan Kadarwati sedih yaitu Kadrawati merasa sedih jika melihat Sat, karena dia menjadi korban jalan hidup yang dipilih ibunya sehingga terpaksa harus terputus kasih sayang bapaknya.
Setelah sekian lama, akhirnya tiba saatnya untuk Kadarwati melahirkan. Dia melahirkan seorang anak perempuan yang bernama Sulistyowati. Suatu hari, badan listi panas, Kadarwati bingung karena Sulistyo tak kunjung pulang. Dia mencari-cari uang di sela saku celana suaminya untuk tambah berobat ke dokter anaknya. Dia berharap menemukan uang, tetapi yang dia ditemukan sebuah surat. Surat itu berasal dari seorang perempuan bernama Partiningsih yang  isinya seoarang perempuan yang bernama Partiningsih telah menjalin hubungan dengan Sulistyo dan dia meminta pertanggung jawaban karena hamil dua bulan. Kadarwati merasa panik dan tidak sengaja dia pingsan. Setelah sadar karena anaknya menangis dan menyentuh Listy  suhu badannya sangat panas, dia bergegas dan sadar bahwa ditangannya ada cincin kakawin, lalu dia melepas dan menjualnya kepada tetangganya untuk biaya berobat ke dokter. Kira-kira jam 9 malam, Sulistyo pulang, dia merasa aneh karena sifat istrinya tidak seperti biasanya. Dia bertanya tentang benda yang ada di saku celananya karena itu sangat penting dan berharap Kadarwati tidak akan tahu tentang surat itu. Kadarwati belum menjawab dan dia memberi tahu bahwa cincin tunangannya dia jual untuk menambah biaya berobat anaknya. Sulistyo marah dan merasa disepelekan, dia menampar Kadarwati. Setelah beberapa lama Kadarwati mencari barang yang ada di dalam kutangnya dan melemparkannya pada Sulistyo. Sulistyo tidak bisa berbuat banyak karena barang yang diharap tidak diketahui istrinya justru istrinya yang mengetahui lebih dahulu. Dengan amat sangat ia memohon maaf kepada istrinya, tetapi istrinya hanya diam.
Keesokan harinya sebelum Sulistyo berangkat, ia bangun dan memasak lalu pergi meninggalkan rumah dan meninggalkan selembar surat untuk Kadarwati karena saat itu Kadarwati dan kedua anaknya masih tertidur pulas. Ketika Kadarwati terbangun ia membalas surat Sulistyo dan segera bersiap-siap menata pakaiannya dan kedua anaknya lalu pergi meninggalkan rumah Sulistyo tanpa izin. Setelah pulang, Sulistyo kaget karena rumahnya terkunci dan sepi. Setelah masuk rumah dan menemukan surat, Sulistyo membaca suratnya.
Kadarwati menuju ke rumah Bu Onggo, kenalan saat Bu Onggo berdagang jarit. Setelah berhenti di situ, dia mendekati rumahnya dan mengetahui bahwa yang membuka rumahnya adalah seorang pemuda. Pemuda itu adalah Baskoro, seorang pemuda yang  dahulu pernah jatuh hati padanya dan akhirnya semua berakhir karena Kadarwati dijodohkan oleh Sumadi dan pindah ke Betawi. Setelah menceritakan semuanya, Bu Onggo yang awalnya senang karena kedatangan Kadarwati, berubah menjadi trenyuh. Bertahun-tahun  Kadarwati tinggal di rumah Bu Onggo.
 Setelah rakyat Indonesia merasakan kesengsaraan dan pengorbanan yang berabad-abad, sebab merasa sedikit hidup senang dari Belanda. Kebaikan Belanda itu hanya siasat untuk mengambil hati rakyat Indonesia  bahwa Belanda itu tidak memiliki niat untuk member  kemerdekaan kepada Indonesia.
Saat itu Kadarwati merasa tidak tenang jika harus menganggur, maka ia meminta ijin kepada Bu Onggo dan Bu Sosro untuk ikut berdagang ke kota seperti perawan desa yang lainnya. Awalnya tidak diijinkan, tetapi lama-lama diijinkan juga. Di stasiun Balapan, Kadarwati bertemu dengan Sajem, yang dulu pernah menjadi pembantu Kadarwati ketika masih menjadi suami Sumadi. Lalu Sajem menemani Kadarwati berdagang. Dia merasa hidupnya lebih sengsara karena harus meninggalkan anak-anaknya di rumah dan pergi malam-malam untuk berdagang. Ketika sore hari, kereta sudah sampai di tempat tujuan, para ibu-ibu pedagang sesampainya di daerah perbatasan surat keterangannya diperiksa. Setelah layang keterangan diperiksa dan diteliti, semua sudah beres kecuali satu surat keterangan  yaitu milik Kadarwati yang disitu tertulis keterangan Bu Martono. Karena dia baru pertama kalinya, maka komandan memintanya untuk menghadapnya. Betapa terkejutnya setelah mengetahui bahwa komandan itu adalah  Sulistyo. Tetapi Kadarwati masih tetap diam dan tidak banyak bicara kepada Suistyo.
 Akhir tahun 1994, pemerintahan Republik Indonesia yang berada di Yogjakarata pindah lagi di Jakarta. Bu Onggo pulang ke Jakarta karena anaknya gugur dalam medan perang tersebut. Dan Baskoro  sekarang menjadi anggota angkatan perang pangkat mayor. Kadarwati terpaksa mencari rumah kontrakan. Ketika Baskoro mendapat rumah di Kebayoran, Kadarwati diminta supaya ikut pindah tetapi Kadarwati memilih untuk mencari rumah sendiri,  atas bantuan Baskoro,  dia mendapat rumah di Grogol. Hubungan persaudaraan mereka tetap akrab meskipun sudah tidak tinggal serumah bahkan Baskoro setiap 2 minggu sekali selalu berkunjung ke Grogol untuk menjenguk anak-anak (Satriyo dan Listy) yang sudah dianggap anak keponakannya sendiri Tetapi hubungan keduanya masih akrab seperti saudara.
Suatu hari Baskoro mengajak Sat dan listi jalan-jalan ke Pasar Baru. Setelah selesai berbelanja, mereka lalu pergi ke kafetaria untuk makan. Di sana Kadarwati bertemu dengan Guritno, Sulistyo dan seorang perempuan membawa dua anak 1 perempuan dan 1 laki-laki. Kadarwati mengira bahwa perempuan tersebut adalah istri Sulistyo namun ternyata perempuan tersebut adalah istri muda Guritno. Ketika hendak keluar dari kafetaria, Kadarwati berbincang sebentar dengan mas Guritno. Dari perbincangan itu diketahui bahwa perempuan itu ternyata istri mas Guritno dan mabakyu Guritno ternyata sudah 2 tahun meninggal karena penyakit typus.Setelah berbincang-bincang, Kadarwati langsung keluar dan tidak memperhatikan Sulistyo yang keadaannya lemas.
Umur Kadarwati sudah mencapai 42 tahun. Anaknya Satriyo sudah menjadi perjaka yang cerdas dan tampan serta sudah  25 tahun sedangkan Listy sudah menjadi gadis yang cantik dancerdas serta sudah berusia 20 tahun. Kadarwati lega sekali ketika lima tahun yang lalu Baskoro meminta ridhanya bahwa ia akan mengambil salah satu dari putri dari mangkunegaran yang umurnya selisih lima belas tahun lebih muda, Kadarwati tidak kecil hati malah ikut senang. Baskoro sekarang sudah memilikisatu momongan, Sulastomo namanya. Anggapan Satriyo terhadap Baskoro yang sejak kecil sudah menganggap sebagai pakdhenya sendiri tidak pernah berubah. Jika mereka mengalami kesulitan larinya tidak lain hanya kepada pakdhe dan budhenya Baskoro. Kadarwati bisa menyekolahkan kedua anaknya sampai perguruan tinggi semua itu tidak lepas dari pertolongan Baskoro yang sering memberikan uang untuk membantu membiayai  pendidikan Satryo dan Listy.
Suatu hari Satrio diundang untuk menghadiri ulang tahun Susi, pacarnya. Listi menceritakan kepada ibunya bahwa kakaknya sudah memiliki pacar dan pacar Satriyo mengadakan pesta ulang tahun sehingga Satriyo dan Listy diundang.  Listy juga bercerita bahwa pacar kakaknya bernama Susi. Menurut penuturan Listy, Susi adalah anak orang kaya dan ayahnya sering ke luar negeri. Listy juga berkata bahwa kata teman-temannya wajah Susi mirip dirinya. Sat tahu bahwa Susi adalah anak pak  dr. Sulistyo ,S.H. Mendengar anaknya menyebut nama Sulistyo, Kadarwati menjadi gemetar. Kadarwati berfikir seandainya benar yang dimaksud adalah Sulistyo mantan suaminya, alangkah pelik lakon hidup ini, anak laki-lakinya Satriyo kok malah mencintai Susi anak Partiningsih dengan Satriyo padahal Partiningsih adalah wanita yang menyebabkan penderitaan bertubi-tubi menimpa dirinya. Dia tidak bisa berfikir jika harus berbesan dengan Sulistyo.
Tidak lama kemudian Ikem datang dan memberi tahu bahwa ada tamu. Ternyata yang datang adalah Sulistyo. Dia datang ke rumah Kadarwati untuk meminta maaf kepadanya dan karena Sulistyo memiliki rasa tanggung jawab kepada kedua anaknya yaitu Sat dan Listy tetapi Kadarwati tetap tidak memaafkannya. hingga akhirnya Kadarwati terbuka hatinya dan memaafkan Sulistyo ketika Sulistyo sampai pada pembicaraan bahwa kita mengalami perpisahan pait getir karena cupetnya piker yang tidak dinalar secara bening. Setellah Sulistyo mengucapkan hal itu Kadarwati memandang wajah Sulistyo yang penuh dengan garis-garis wajah dan dulu rambut yang tebal menjadi tipis dan beruban menandai bahwa ujian hidup yang dialaminya memang berat.
Kadarwati menangis tersedu-sedu dan  meminta maaf kepada Sulistyo. Sulistyo pun merasa senang. Tidak lama kemudian anak-anaknya datang.  Listi kaget karena bapaknya Susi berada dirumahnya lalu Sulistyo menceritakan semuanya dan kemudian ia memeluk Listi. Keduanya lalu diajak lagi ke ke Kebayoran untuk berkumpul.
Pagi harinya Sat dan Listi sudah  kelihatan pulang dan diikuti Susi. Kira-kira seminggu setelah itu,sekitar jam sebelas siang, semua saudara Sulistyo dan  Kadarwati berkumpul di rumah Kadarwati karena Kadarwati mengadakan syukuran untuk memenuhi nadzarnya jikalau dia bisa berkumpul kembali bersama seluruh orang tuanya serta sanak saudaranya dia akan makan bersama orang sekampung.Bapak dan Ibu Hadiwiyoto sudah datang lebih dahulu ke Grogol dijemput oleh Sulistyo, Kadarwati dan ke-3 anaknya serta Santosa yang tidak mau ketinggalan untuk keperluan menengok sanak saudara di desa kampung halaman yang sudah 21 tahun tidak dia kunjungi. Betapa senang bapak dan Ibu Hadiwiyoto di kala mengetahui anaknya yang sudah dikira hilang tampak pulang diiringi suaminya yang gagah dan anak-anaknya yang tampan serta cantik. Baskoro menjadi wakil dari kedua keluarga tersebut medhar sabda bahwa semua tamu yang hadir diminta untuk menjadi saksi bahwa dr. Sulistyo dan Kadarwati yang karena keadaan terpaksa berpisah selama 20 tahun, karena kemurahan Tuhan  yang Mahakuasa, maka keduanya bisa berkumpul kembali. Yang kedua kalinya acara tunangan putra-putrinya yaitu Satrio dengan Susilowati dan Listi dengan Santoso.  Demikianlah akhir kisah novel Mendhung Kesaput Angin pasangan suami istri yang semula hidupnya penuh penderitaan akhirnya menemukan kebahagiaan. Mereka memuji  syukur kepada Tuhan karena akhirnya bisa hidup tentramdan damai seperti apa yang diharapkan ketika hendak memulai hidup bersama.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar