Selasa, 22 Oktober 2013

Kakawin Bharatayudha

I.PENDAHULUAN Sejarah kakawinBhãrata-Yuddha. Kakawin Bhãrata-Yuddha yang ditulis oleh Mpu Sêddah 1) dan dielesaikan oleh Mpu Panuluh 2) merupakan salah suatu karya yang indah dari jaman Kediri dan disusun atas perintah raja Jayabhaya 3).Sekalipun tidak disebutkan, bahwa raja Jayabhaya itu dalam kakawin Bhãrata-Yuddha memerintah di Kediri, melainkan bertakhta di Daha 4), dapat diketahui, bahwa Daha itu sama dengan Kediri 5), ialah pecahan dari kerajaan Airlangga yang pada akhir bertakhtanya telah dibagi menjadi dua, ialah Janggala dan Kaddiri (Kediri) 6). Begitu pula, karena nama raja Jayabhaya itu dikenal dari beberapa prasasti yang menyebutkan nama raja itru sebagai raja Kediri 7) dan berangka tahun 1135 dan 1146, nama Jayabhaya dari kakawin Bhãrata-Yuddha itu dapat diidentifikasikan dengan nama Jayabhaya dari prasasti-prasasti tersebut. Karena kakawin Bhãrata-Yuddha itu juga berangka tahun dalam bentuk candra-sengkala, ialah tahun Çaka "sanga kuda çuddha candrama" atau tahun Çaka 1079, ialah tahun Masehi 1157, tahun 1157 ini tidak sangat berselisih dengan angka tahun 1135 dan 1146, sehingga dengan ini dapat ditentukan, bahwa Jayabhaya dari prasasti-prasasti itu identik dengan Jayabhaya dari kakawin Bhãrata-Yuddha. Jaman Kediri yang mengembang antara tahun 1104 dan 1222 itu merupakan jaman keemasan kesusasteraan Jawa kuno 9) dan sejumlah banyak kitab kakawin telah diciptakan oleh beberapa orang pujangga, seperti Mpu Dharmaja, Mpu Seddah dan Mpu Panuluh tersebut diatas, Mpu Monagunna, Mpu Trigunna, Mpu Tanakung dan sebagainya. Sekalipun dari jaman Kediri dan dari jaman sesudah mengembangnya kerajaan Kediri itu banyak karya para pujangga yang diciptakan dalam bahasa Jawa kuno, hanya kira-kira 4 kakawin yang tetap hidup dan dikenal dalam kesusasteraan Jawa baru, ialah kakawin Rãmãyanna, kakawin Arjunna-wiwãha, kakawin Bhãrata-Yuddha dan kakawin Uttara-kãnndda,sedangkan sebaliknya 4 kakawin terasebut itu bersama-sama dengan kakawin lainnya tetap dibaca dan hidup dipulau Bali dan dipulau Lombok, sampai kini hari. Apabila kitab-kitab dari kesusasteraan Jawa kuno itu dilanjutkan tradisinya di Bali dan Lombok, disebabkan karena kebudayaan dari Jawa itu telah diluaskan ke Bali 10), sejak jaman Kartanãgara dari Singhasãri 11) dan pada jaman Majapahit, ketika mahãpatih Gajah Mada mempersatukan Indonesia 12). Janggal atau tidak janggal kedengarannya, tetapi kenyataannya ialah, bahwa rakyat di Bali dan Lombok itulah yang memelihara kesusasteraan Jawa kuno. Sebaliknya, apabila dikedua pulau itu perhatian terhadap kesusasteraan Jawa kuno tetap dipelihara, di Jawa sendiri pemeliharaan buah-buah kesusasteraan tersebut mulai terlantar. Salah satu dari sebabnya, ialah karena sejak runtuhnya kerajaan Majapahit yang menjadi pusat kegiatan kesusasteraan Jawa kuno, tidak ada lagi pusat kekuasaan politik yang memberi iklim dapat mengembangnya kesusasteraan tersebut. Sebab setelah Majapahit runtuh dan kekuasaan politik yang terpecah-pecah dalam tangan beberapa kepala daerah pesisir yang telah memeluk agama Islam 13), seperti Cerbon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Giri dan sebagainya, rupa-rupanya pujangga-pujangga yang mencari nafkah hidup itu sesudah runtuhnya Majapahit mengabdikan diri kepada kepala-kepala daerah yang ada didaerah pesisir tersebut 14) dan terus memelihara kesusasteraan Jawa kuno sambil menciptakan karya-karya baru dalam bahasa Jawa baru yang diabdikan untuk meluaskan agama Islãm.Dengan ini dapat direkonstruksikan, bahwa pertumbuhan kesusasteraan Jawa kuno menuju kearah kesusasteraan Jawa baru melalui kesusasteraan Jawa tengahan, garisnya dapat ditarik dari Majapahit menuju Gersik-Giri dan menuju ke Demak yang mengembang antara tahun 1500-1555 dan sekitarnya 15). Karena dari sejarah politik dapat diketahui, bahwa Demak yang dapat merebut sebagian dari bekas kekuasaan politik Majapahit itu runtuh, kekuasaan politik pindah ke Pajang untuk akhirnya pindah ke Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senapati dan Sultan Agung 16), garis pertumbuhan dan kehidupan kesusasteraan itu juga jalan melalui garis politik tersebut, ialah Demak-Pajang-Mataram.Adanya garis pertumbuhan kesusasteraan itu dibuktikan oleh kitab Kodjadjadjahan yang menurut penyelidikan R.M. Ng. Dr. Poerbatjaraka berdasarkan atas gaya bahasanya, berasal dari Gresik-Giri 17) dan yang disebut-sebut dalam kitab Nitisruti. Apabila kitab Nitisruti ini menurut dongeng adalah ciptaan Pangeran Karanggajam dari Pajang, menurutr R.M.Ng. Dr. Poerbatjaraka berasal dari jaman Mataram awal, ialah pada jaman Panembahan Seda Krapjak (1601-1613), raja Mataram yang kedua 1. Dengan ini jelaslah, bahwa garis pertumbuhan kesusasteraan Jawa baru itu dapat ditarik dari Gresik-Giri menuju ke Demak dan Pajang untuk akhirnya sampai di Mataram jaman Islãm. Berdasarkan atas kitab Nitisruti itu disusun kitab Nitipradja yang ditulis pada tahun 1641 dan menurut dongeng kitab Nitipradja itu merupakan karya Sultan Agung (1613-1645) sendiri. Apabila garis pertumbuhan kesusasteraan Jawa kuno dapat diikuti dari sejak jaman Kediri, Singhasãri dan Majapahit, padahal telah dibuktikan bahwa kesusasteraan Jawa kuno dari jaman Majapahit itu juga melalui Gresik-Giri dan Demak tumbuh di Pajang dan Mataram sehingga menjadi kesusasteraan Jawa baru, tidak dapat diingkari lagi bahwa ada garis pertumbuhan yang melalui waktu yang lama, ialah dimulai abad 11 pada jaman Kediri sampai pada jaman Mataram awal pada abad 17. Berdasarkan adanya pembuktian, bahwa ada garis pertumbuhan kesusasteraan yang menuju kekesusasteraan Jawa baru, gugurlah pendapat Prof. Dr. C.C. Berg yang mengatakan, bahwa kesusasteraan Jawa baru dari jaman Mataram Islam itu tidak ada hubungannya dengan kesusasteraan Jawa kuno dari Majapahit, Singhasãri dan Kediri19). Dengan ini dapat diketahui, bahwa 4 buah kitab dari kesusasteraan Jawa kuno, ialah kakawin Rãmãyana, kakawin Uttara-kanndda, kakawin Arjunna-wiwãha dan kakawin Bhãrata-Yuddha itu dengan melalui pemeliharaan dipusat-pusat kesusasteraan di Gresik-Giri,Demak dan Pajang sampai di Mataram.Pada jaman Mataram, khususnya pada jaman Kartasura akhir dan Surakarta awal pada kira-kira tahun 1755, jumlah pujangga yang masih mengenal kesusasteraan Jawa kuno hanya tinggal sedikit, bahkan dapat dihitung dengan jari. Karena timbul rasa kekhawatiran, bahwa kitab-kitab kakawin dalam bahasa Jawa kuno itu akan hilang, karena tidak terbaca lagi, beberapa orang pujangga, diantaranya Raden Ngabehi Jasadipura mulai menyadur kitab-kitab kakawin tersebut dalam bahasa Jawa baru dengan mempergunakan tembang macapat 20). Karya-karya baru itu disebut jarwa yang berarti makna21).Dalam hal ini R.Ng. Yasadipura telah menyadur kitab kakawin Rãmãyana dan kakawin Bhãrata-Yuddha dari bahasa Jawa kuno kedalam bahasa Jawa baru yang masing-masing menjadi Serat Rama 22) atau Ramayana Jarwa dan Serat Bratayuda atau Bratayuda Jarwa, sedangkan kitab kakawin Arjuna-wiwaha atau Wiwaha Jarwa dan juga terkenal dengan Mintaraga oleh Paku Buwana III (1749-178 23) dan satu naskah Serat Arjuna-wiwaha lainnya yang dikatakan sebagai karya R. Ng. Jasadipura juga 24). Kakawin yang ke-4 ialah kakawin Uttara-kãnndda, telah disadur dalam bahasa Jawa baru oleh R.Ng. Sindusastra dengan judul Serat Arjunasasrabau 25) dan juga terkenal dengan nama Serat Lokapala 26). Dalam hubungan ini perlu diterangkan, bahwa apabila kitab-kitab kakawin itu mempergunakan bahasa Jawa kuno dengan memakai aturan sya'ir India, kitab-kitab yang disebut Jarwa itu mempergunakan bahasa Jawa baru dengan memakai aturan sya'ir Indonesia asli yang disebut macapat 27). Tentang kakawin Bhãrata-Yuddha dalam bahasa Jawa kuno ini dapat dikatakan, bahwa kitab ini disadur dalam bahasa Jawa baru menjadi Serat Bratayuda Jarwa oleh R.Ng. Jasadipura bersama-sama dengan kakawin lainnya disekitar tahun 1755, ialah kira-kira pada akhir jaman Mataram Kartasura dan permulaan jaman Surakarta awal 2. Kitab Serat Bratayuda ini merupakan satu-satunya kitab dalam kesusasteraan Jawa baru yang menyebutkan seorang tokoh sejarah, ialah raja Djajabaja dari Kediri, seperti disebutkan dalam kitab tersebut 29). Sebab dengan adanya perpindahan pusat kekuasaan politik dari Kediri, Singhasãri, Majapahit, Demak dan Pajang menuju ke Mataram, hubungan sejarah antara kerajaan-kerajaan itu telah terputus-putus. Tetapi, karena kakawin Bhãrata-Yuddha dalam Pupuh I 6 dan 7, begitu pula dalam pupuh LII 10-13 itu disebutkan nama raja Jayabhaya, nama raja ini terkenal juga sampai pada jaman [14] Mataram Kartasura, ketika kakawin Bhãrata-Yuddha itu disadur menjadi Serat Bratayuda oleh R.Ng. Jasadipura. Justru karena dalam seluruh kesusasteraan Jawa baru hanya dikenal seorang tokoh sejarah saja, nama Djajabaja itu bersama-sama dengan Serat Bratayuda yang juga mulai dipertunjukkan sebagai wayang itu menjadi keramat. Bahkan nama raja Djajabaja dihubungkan dengan pralambang atau ramalan-ramalan tentang sejarah pulau Jawa pada waktu yang akan datang 30), yang pada dasarnya merupakan suatu kepercayaan kepada seorang ratu adil yang telah dijalinkan dengan pengetahuan eschatologi Islam dan kepercayaan kepada kedatangan seorang Imam Mahdi 31). Nama raja Djajabaja dalam kebudayaan Jawa juga menjadi keramat, karena ceritera Bratayuda itu tidak secara sembarangan dapat dipertunjukkan sebagai permainan wayang kulit. Sebab, apabila tidak diadakan tindakan-tindakan yang cermat untuk menghindarkan sesuatu yang dapat membahayakan, baik dalang atau pemukul gamelan, maupun orang yang mempunyai kerja atau penontonnya akan mengalami salah suatu bahaya, sehingga pertunjukan wayang dengan mengambil salah suatu episode dari ceritera Bratayuda atau ceritera seluruhnya itu sedapat mungkin tidak dipertunjukkan. Dari beberapa peristiwa yang dialami oleh mereka yang pernah melihat pertunjukan ceritera Bratayuda sebagai lakon, ada beberapa macam kejadian, ialah dari kejadian yang biasa sampai kejadian yang sangat mengejutkan. Umpamanya saja dalangnya yang jatuh pingsan, kebakaran dalam dapur dan sebagainya. Dengan ini nama Djajabaja yang masih dikenal sebagai pencipta ceritera Bratayuda secara psikologis makin keramat. Karena adanya hal-hal yang misterius mengenai Serat Bratayuda dan lakon Bratayuda itu, ceritera ini telah lama menjadi perhatian beberapa orang sarjana Barat yang mempelajari pengetahuan Orientalistik. Salah seorang yang tertarik oleh Serat Bratayuda saduran R.Ng. Jasadipura, ialah Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggeris di Jawa, yang telah memuji keindahan Serat Bratayuda itu dalam kitabnya yang berjudul The History of Java 32). Karena kitab Serat Bratayuda pada waktu Raffles memegang kekuasaan dipulau Jawa (1811-11816) itu belum dicetak, artinya naskah-naskah masih dalam bentuk tulisan tangan, sebagian [15] dari Serat Bratayuda itu oleh Raffles telah dimuat dalam kitabnya tersebut diatas 33). Dengan ini sebagian dari Serat Bratayuda telah dicetak dan diterjemahkan dalam bahasa Inggeris. Sebagai akibat adanya kegiatan dari pihak Inggeris yang sekalipun hanya berkuasa dipulau Jawa selama kira-kira 6 tahun, tetapi terbukti telah banyak menaruh perhatian terhadap sejarah dan kebudayaan Indonesia, Pemerintah Belanda dan sarjana-sarjana Belanda mulai terbuka matanya, bahwa di Indonesia itu banyak manikam-manikam kesusasteraan yang tidak kalah nilainya dengan karya kesusasteraan dibagian dunia yang manapun juga. Tidak mengherankan, apabila sarjana P.P. Roorda van Eysinga, seorang sarjana Belanda dan Guru Besar dalam ilmu-ilmu yang mengenai kebudayaan Indonesia, pada tahun 1849 menterjemahkan sebagian dari Serat Bratayuda dalam bahasa Belanda 34). Karena yang diterjemahkan oleh Dr. P.P. Roorda van Eysinga itu hanya sebagian saja dari kitab Serat Bratayuda, kemudian Pemerintah Belanda minta kepada Dr. A.B. Cohen Stuart untuk menerbitkan seluruh kitab Serat Bratayuda dengan terjemahannya dalam bahasa Belanda. Naskah Serat Bratayuda itu selesai dicetak dengan huruf Jawa pada tahun 1856 35) dan pada tahun 1860 diterbitkan lagi dalam seri Verhandelingen Bataviaasch Genootschap 36), sedangkan terjemahannya dalam bahasa Belanda juga diterbitkan sebagai seri Verhandelingen Batavuaasch Genootschap 37) pada tahun 1860. Orang boleh mengejek tentang cara bekerja Dr. A.B. Cohen Stuart dan betapa banyak salah yang dibuatnya, tetapi sebagai perintis dalam penyelidikan kebudayaan Indonesia, pada waktu kira-kira sekitar tahun 1860-an, sarjana ini termasuk salah seorang sarjana yang tekun. Untuk menilai catatan-catatan mengenai kebudayaan yang ditambahkan kepada terjemahan Serat Bratayuda itu dapat diambil kesimpulan, bahwa Dr. A.B. Cohen Stuart itu telah memiliki pengetahuan kebudayaan dan kesusasteraan Jawa yang luas. Bahwa dalam kalangan bangsa Indonesia sendiri juga ada yang memperhatikan Serat Bratayuda, dibuktikan dengan nyata ketika kitab ini diterbitkan di Surakarta oleh Dirjaatmadja pada tahun 1901 dan 1908 dengan huruf Jawa 3. Ikhtisar dan isi Serat Bratayuda ini dimuat juga dalam karya J. Kats yang mencoba un- [16] tuk mengadakan tinjauan tentang wayang 39), karena seperti telah disinggung diatas bagian-bagian dari ceritera Bhãrata-Yuddha, begitu pula ceritera Rãmãyanna dan Mahãbhãrata mulai dipertunjukkan sebagai wayang kulit. Barangkali lebih tepat untuk dirumuskan, bahwa lakon atau ceritera wayang itu diambil dari Serat Rama Jarwa dan Serat Bratayuda Jarwa. Apabila perhatian bangsa Indonesia di Jawa dan dalam dunia Orientalistik ditujukan kepada Serat Bratayuda Jarwa yang mempergunakan bahasa Jawa baru, bangsa Indonesia dipulau Bali tetap mempelajari dan membaca kakawin Bhãrata-Yuddha dalam bahasa Jawa kuno. Seperti diketahui, naskah-naskah Jawa kuno, seperti kakawin Rãmãyanna, Bhãrata-Yuddha dan sebagainya tetap dipelajari didalam lingkungan puri (istana) oleh kaum bangsawan dan oleh rakyat yang mengikuti "mabasan", ialah perkumpulan kesusasteraan yang mempelajari naskah-naskah kuno yang dikerjakan oleh khalayak ramai di Bali dibawah pimpinan seorang sastrawan yang mahir kesusasteraan Jawa kuno 40). Karena kakawin Bhãrata-Yuddha itu sebagai unsur agama Hindu Bali tetep hidup bersama dengan hidupnya agama ini, kakawin Bhãrata-Yuddha yang banyak dibaca itu untuk sekian ribu kali ditulis dengan tangan diatas keropak atau daun lontar. Bahwa rakyat Bali mengenal dan mengerti bahasa Jawa kuno yang dipakai dalam kakawin Bhãrata-Yuddha, dibuktikan oleh catatan-catatan antar baris (interlinear) dalam bahasa Bali untuk menerangkan kalimat atau kata-kata Jawa kuno dalam kakawin Bhãrata-Yuddha 41). Catatan-catatan dalam bahasa Bali itu ternyata benar, apabila ditinjau dari sudut ilmu bahasa dan paramasastera. Begitu pula ceritera kakawin Bhãrata-Yuddha, kecuali menjadi bahan bacaan juga menjadi bahan seni lukis dan dipertunjukkan juga sebagai wayang kulit dan seni panggung di Bali. Setelah Dr. A.B. Cohen Stuart menerbitkan Serat Bratayuda Jarwa, dunia Orientalistik mulai tertarik oleh kesusasteraan Jawa kuno, khususnya oleh kakawin Bhãrata-Yuddha. Pada tahun 1873 Dr. H. Kern telah mulai memperhatikan kakawin Bhãrata-Yuddha ini dengan jalan membicarakan Pupuh XV yang dimuat dalam Bijdragen Koninklijk Instituut 42). Berdasarkan atas gaya bahasa dalam Pupuh XV yang menceriterakan tentang usaha keluarga Pãnnddawa untuk menggempur Jayadratha yang telah [17] membinasakan Abhimanyu, sarjana Kern ini mengatakan, bahwa bahasa yang dipakai oleh kakawin Bhãrata-Yuddha itu jelas dan tandas. Disamping mengajukan pendapat ini, Dr. H. Kern telah mengetahui juga, bahwa didalam beberapa Pupuh yang ada dalam kakawin Bhãrata-Yuddha itu ada bagian-bagian yang disisipkan dan dalam Pupuh XV itu telah diketemukan bagian yang disisipkan. Perhatian terhadap kakawin Bhãrata-Yuddha sesudah diselidiki oleh Dr.H.Kern pada tahun 1873 mulai hangat lagi, ketika pada tahun 1903 Dr. J.G.H. Gunning menerbitkan seluruh kakawin Bhãrata-Yuddha itu dengan huruf Jawa 43). Jadi baru sesudah kira-kira 30 tahunan, setelah Dr.H.Kern membicarakan Pupuh XV dari kakawin Bhãrata-Yuddha itu, kitab ini menarik perhatian lagi, ketika diterbitkan pada tahun 1903 tersebut. Karena penerbitan tersebut telah dalam bentuk kitab, khalayak ramai lebih mengetahui tentang isi kakawin Bhãrata-Yuddha, khususnya dalam kalangan sarjana-sarjana Orientalistik. Dengan dikecualikan kegiatan rakyat di Bali, orang-orang Indonesia lainnya, tidak terkecuali juga orang-orang Indonesia di Jawa, belum dan tidak tertarik oleh kakawin Bhãrata-Yuddha, karena pada waktu-waktu sekitar tahun 1903 itu tidak ada seorangpun yang mengetahui bahasa Jawa kuno, kecuali seorang saja, ialah R. Lesya yang kelak bernama R.Ng.Poerbatjaraka. Dengan melalui pendidikan Jawa yang diperolehnya dari orang tuanya sendiri, pemuda R. Lesya ini dapat memahami isi Serat Bratayuda Jarwa dan kitab-kitab Jarwa lainnya, sedangkan dengan adanya kesempatan belajar pada Europeesche Lagere School (Sekolah Rendah Belanda) di Surakarta 44), pemuda ini yang telah mengenal dasar-dasar bahasa Belanda telah sanggup membaca uraian Dr.H.Kern tentang kakawin Bhãrata-Yuddha mengenai Pupuh XV tersebut diatas dan paramasastera bahasa Jawa kuno yang diuraikan oleh sarjana Kern ini 45). Tetapi perhatian terhadap kakawin Bhãrata-Yuddha mulai tumbuh lagi pada tahun 1921, ketika ada seorang yang tidak menyebut namanya membicarakan Pupuh XLIV dengan judul: Bhãrata-Yuddha, zang XLIV 46), untuk kemudian dibicarakan pada tahun 1923 oleh Dr.H.H. Juynboll dalam Majalah Nederlandsch Indie Oud en Nieuw 47). Selanjutnya pada tahun 1929, ketika [18] R.Ng.Dr. Poerbatjaraka menyelidiki arti kata pamaça, penyelidikannya itu berdasarkan atas kata yang diketemukan pada Pupuh L 3 dari kakawin Bhãrata-Yuddha 4, sedangkan pada tahun 1929 Dr.J. Gonda membicarakan tentang pengkhianatan raja Çalya yang disebutkan dalam kakawin Bhãrata-Yuddha 49) dan yang disertai oleh suatu keterangan oleh R.Ng.Dr. Poerbatjaraka. Jadi, apabila sampai dengan tahun 1929 itu kakawin Bhãrata-Yuddha baru dibicarakan secara fragmentaris, akhirnya baru pada tahun 1934 terbitlah terjemahan seluruh kakawin Bhãrata-Yuddha yang dikerjakan oleh R.Ng.Dr. Poerbatjaraka yang dibantu oleh Dr.C. Hooykaas dan dimuat dalam Majalah Jawa 50). Apabila sebelum tahun 1934 itu R.Ng.Dr. Poerbatjaraka telah siap dengan terjemahan kakawin Bhãrata-Yuddha, khususnya yang mengenai bagian-bagian yang dianggapnya asli, terjemahan itu tidak dapat dimuat dalam Majalah Jawa tersebut sebelum dilengkapi dengan terjemahan dari bagian-bagian yang disisipkan. Sekalipun permintaan staf redaksi Majalah Jawa itu sangat berat untuk dilaksanakan, karena bagian-bagian yang disisipkan itu memang sukar, karena yang menyisipkan itu tidak lagi mahir mempergunakan bahasa Jawa kuno, permintaan tersebut dilaksanakan juga oleh R.Ng.Dr. Poerbatjaraka. Dalam terjemahan kakawin Bhãrata-Yuddha dalam bahasa Belanda itu bagian-bagian yang disisipkan ditulis dengan huruf kecil. Dari pihak bangsa Indonesia sendiri, perhatian terhadap kakawin Bhãrata-Yuddha kecuali diperlihatkan oleh R.Ng.Dr. Poerbatjaraka yang pada tahun 1952 menulis kitab Kepustakaan Jawa dan membicarakan beberapa hal yang menarik tentang hubungan yang ada antara kakawin Bhãrata-Yuddha dan Serat Bratayuda Jarwa 51), ada juga beberapa orang peminat terhadap kakawin Bhãrata-Yuddha ini dengan huruf Latina 52), artinya mentranskripsikan terbitan Dr.J.G.H. Gunning. Sekalipun oleh Sastrosoewignjo dikatakan, bahwa ia telah memperbaiki naskah Gunning, ucapannya itu tidak terbukti, bahkan dari beberapa bagian transkripsinya itu merupakan bumerang untuk memukul dirinya sendiri. Salah satu contoh dari tidak mampunya membaca Jawa kuno yang tepat, dibuktikan oleh Pupuh I 6 baris 4. Ia menulis: (ejaan menurut Sastrosoewignjo). [19] Gambar 1. Prof. Dr.R.M.Ng. Poerbatjaraka almarhum yang pada waktu hidupnya suka memainkan wayang kulit yang ceriteranya diambil dari kesusasteraan Jawa kuno. Gambar Deppen. ring prang darpa Paçuprabhu pamanira hyun i kadungula ning parangmuka. Kalimat ini sebenarnya harus dibaca seperti berikut: ring prang darpa Paçuprabhûpamanira hyun dan seterusnya. Artinya: Didalam perang (raja Jayabhaya) itu seperti (upamanira) dewa Paçupati dan seterusnya. Jelaslah bahwa apa yang ditulis oleh Sastrosoewignjo tentang paman itu tidak ada artinya sama sekali. Contoh kesalahan yang kedua ditunjukkan oleh transkripsi Pupuh II 7 baris 4. Ia menulis: dudût angasisig hatur sinaliwah katon tan tulus. Sebetulnya transkripsi ini harus berbunyi: dudû tang asisig hatur sinaliwah dan seterusnya. Artinya: Lainnya (dudû) yang sedang menghitam giginya memperlihatkan dan seterusnya. Jadi jelaslah, bahwa kata-kata dudût dan angasisig seperti telah dikerjakan oleh Sastrowoewignjo itu tidak ada ar- [20] tinya sama sekali. Itulah sekedar 2 contoh dari sekian banyak kesalahan. Sarjana Indonesia lainnya yang juga membicarakan kakawin Bhãrata-Yuddha dalam hubungannya dengan ceritera-ceritera wayang, ialah Sutjipto Wirjosuparto yang mengupas persoalan ini dalam tesisnya yang berjudul Ghattotkacãçraya 53). Peminat lainnya ialah yang dapat disebutkan ialah I Gusti Bagus Sugriwa dari Bali yang telah menerbitkan kakawin Bhãrata-Yuddha dalam huruf Bali yang disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia 54). Setelah diuraikan tentang adanya perhatian yang ditujukan terhadap kakawin Bhãrata-Yuddha ini sepanjang masa, naskah dan terjemahan kakawin Bhãrata-Yuddha dalam bahasa Indonesia ini mudah-mudahan dapat dipergunakan sebagai bukti, bahwa kebudayaan Indonesia pada jaman modern ini masih mempunyai segi-seginya yang berpangkal kepada jaman yang lampau, khususnya yang mengenai ajaran tentang moralitas, sikap serta watak kekesatriaan dan sebagainya. II. Ilmu Siasat Perang dalam kakawin Bhãrata-Yuddha. Pada waktu bangsa Indonesia mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda dalam perang-perang kolonial, seperti pada waktu perlawanan Sultan Hasanuddin dari Makasar, Pangeran Mangku Bumi (kelak bergelar Sultan Hamengku Buwana I). Perang Dipanegara, Perang Padri, Perang Aceh dan lain-lainnya melawan Belanda, siasat perang bangsa Indonesia itu telah mengejutkan pihak lawan, karena tidak disangka oleh pihak penjajah Belanda, bahwa bangsa Indonesia yang mereka anggap rendah taraf pengetahuannya itu tahu tentang siasat perang. Dalam bagian ini akan diadakan tinjauan sejarah, sampai dimana bangsa Indonesia itu telah memiliki pengetahuan perang. Dengan tidak mengadakan tinjauan sejarah yang mendalam, setiap orang akan mengetahui, bahwa bangsa Indonesia memiliki akal yang cerdas untuk menghadapi musuh dalam pertempuran-pertempuran kecil, khususnya dalam perang gerilya 1), [21] seperti yang telah diuraikan oleh Jenderal A.H. Nasution. Sekalipun perang gerilya ini merupakan perang yang hebat dan memeras otak dari pihak yang mengadakan gerilya, perang ini secara sendiri belum dapat memberi pukulan terakhir kepada musuh 2), karena kemenangan terakhir hanya dapat tercapai dengan tentera yang teratur dengan serangan-serangan yang berbentuk frontal dan perang kecil. Karena perang melawan musuh itu dalam sejarah tidak hanya merupakan perang fisik-militer, akan tetapi juga merupakan perang diplomasi, politik, psychologis dan sosial-ekonomis 3), timbullah pertanyaan dari mana gerangan bangsa Indonesia itu mempelajari siasat perang, apabila mereka itu dalam sejarah mengadakan perang frontal dan gerilya terhadap angkatan perang Belanda. Dengan perkataan lain, disamping adanya faktor semangat menyala-nyala untuk mempertahankan setiap jengkal tanah dari serangan luar dari pihak manapun juga, pastilah bangsa Indonesia itu memiliki kitab-kitab mengenai siasat perang yang bersifat khusus atau terselip dalam beberapa kitab kesusasteraannya. Apabila dikatakan, bahwa kitab kesusasteraan itu menjadi dasar pengetahuan siasat perang, hal itu memang benar, karena pada jaman kuno belum ada lembaga pendidikan seperti pada waktu sekarang, segala macam pendidikan diambil dari isi kitab kesusasteraan yang diberi pentafsiran sesuai dengan ilmu yang diajarkan, seperti moralitas, ilmu negara, ilmu hukum, ilmu siasat perang dan sebagainya 4). Sudah barang tentu, karena ajaran-ajaran tersebut tidak disusun secara sistematis, dibawah pimpinan seorang guru otak setiap pelajar pada waktu yang lampau dilatih berdasarkan atas kitab-kitab kesusasteraan mengenai sesuatu mata-pelajaran dan mencari kesimpulan sendiri dari apa yang diajarkan. Dari kesusasteraan Indonesia kuno ada beberapa bukti, bahwa Indonesia itu telah mengenal siasat perang. Salah satu pengertian perang yang penting diketemukan dalam kitab kakawin Arjunna-wiwãha 5) dari abad 11 dan kitab Nitiçastra 6) dari abad 14 dan sekitarnya 7), keduanya dalam bahasa Jawa kuno yang masing-masing memuat istilah sãma-bheda-ddanndda. Pengertian siasat perang dalam kesusasteraan Jawa kuno itu diambil dari kesusasteraan India, ialah dari kitab Arthaçastra ciptaan Kauttilya [22] dalam bahasa Sangsekerta, ialah kitab yang mengajarkan tentang pengetahuan politik, termasuk politik menghancurkan musuh . Kitab ini rupa-rupanya menjadi kitab pegangan dalam lapangan ilmu politik yang dikerjakan oleh keluarga raja-raja Gupta 9) yang pernah mempersatukan sebagian besar dari India. Menurut ajaran sãma-bheda-ddanndda itu dirumuskan, dalam setiap kepala negara yang ingin membinasakan lawannya wajib mencari sekutu (sãma) diantara negara-negara yang berhubungan baik. Telah diperhitungkan, bahwa pada waktu perang deangan negara-negara lain, negara-negara yang telah terikat oleh sãma itu sedikitnya bersikap netral, bahkan dapat diharapkan adanya sokongan dan bantuan dari negara-negara tersebut. Siasat kedua dari sãma-bheda-ddanndda, ialah siasat bheda yang berarti memecah belah dan memerintah, yang kurang lebih sama dengan pengertian divide et impera. Sebab apabila tujuan mengadu-domba musuh itu telah tercapai, sampailah waktunya untuk mempraktekkan ddanndda atau pukulan, ialah pukulan terakhir kepada musuh yang telah lemah itu. Karena pengertian sãma-bheda-ddanndda itu disebutkan dalam kitab kakawin Arjunna-wiwãha dan Nitiçastra, jelaslah bahwa siasat perang sãma-bheda-ddanndda itu dikenal dan dipelajari di Indonesia 10). Dalam hubungan ini dapat dikatakan, bahwa pengetahuan penggunaan senjata perang itu disebut dhanurweda (weda berarti pengetahuan, sedangkan dhanu berarti panah 11) dan merupakan sebagian dari pengetahuan perang. Jalan untuk mencapai kemenangan dalam perang dapat diperoleh dengan mempelajari pengetahuan yang dalam kesusasteraan Jawa baru disebut pengetahuan jaya-kawijayan, ialah pengetahuan untuk mendapat kemenangan perang 12). Pengetahuan tentang perang dalam bentuk yang agak kongkrit diketemukan dalam beberapa kitab, diantaranya dalam kakawin Bhãrata-Yuddha yang menyebutkan beberapa bentuk wyûha atau susunan tentera, kitab Nitiçastra yang membicarakan cara untuk memilih seorang panglima 13) dan kitab Nãgarakrêtãgama dari jaman Majapahit (1365) yang menguraikan bagaimana raja Hayam Wuruk itu mempertontonkan kepandaian tenteranya yang mendemonstrasikan segala macam ulah perang 14). Dari berita-berita yang diketemukan dalam beberapa kitab kesusasteraan Ja- [23] wa kuno itu dapat ditentukan dengan pasti, bahwa ilmu siasat perang itu telah dikenal, sedikitnya didaerah Jawa, Bali dan Lombok. Sebaliknya, didaerah lainnya di Indonesia juga diketahui, bahwa ada beberapa kitab yang menunjukkan adanya pengertian, siasat perang itu telah dipelajari di Indonesia. Didalam kitab Sejarah Melayu 15) disebutkan, bahwa pada malam menjelang direbutnya kota Malaka yang diserbu oleh angkatan perang Portegis, sejumlah banyak perwira-perwira muda yang menginginkan supaya kitab Hikayat Mohammad Hanafiah 16) itu dibacakan dengan tujuan untuk memberi semangat kepada mereka, karena didalam kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu banyak disebutkan tentang siasat perang 17). Kitab lain dalam kesusasteraan Indonesia kuno yang juga memuat siasat perang, ialah kitab Hikayat Amir Hamzah 1. Seperti diketahui, Amir Hamzah adalah paman Nabi Mohammad s.a.w. dan dalam usahanya ikut meluaskan agama Islam, Amir Hamzah berperang dengan raja-raja ditanah Arab dan negara lainnya. Seperti telah diketahui, ceritera Hikayat Amir Hamzah yang tumbuh di Indonesia itu melalui kesusasteraan Persia 19). Hikayat Amir Hamzah dalam bahasa Melayu itu sedemikian populernya, sehingga melalui Hikayat Amir Hamzah ini disadur suatu ceritera baru dalam bahasa Jawa baru pada jaman Mataram Kartasura (kira-kira tahun 1700) dan terkenal sebagai Serat Menak (Kartasura) 20). Karena pada waktu meluasnya agama Islam itu ceritera-ceritera dari jaman pra-Islam itu agak terdesak, sebagai gantinya tumbuh ceritera-ceritera Islam yang berpangkal kepada kitab Menak 21), sehingga juga R.Ng. Jayadipura ikut menulis ceritera Menak dalam bahasa Jawa baru 22). Dengan ini mulai terkenallah tokoh Wong Agung Menak Jayengrana, ialah sebutan Amir Hamzah dalam bahasa Jawa dan pahlawan-pahlawan lainnya seperti Umarmaja, Lamdahur, Hirman, Kelan dan lain-lainnya. Disebabkan, karena dengan menyadur kakawin Bhãrata-Yuddha menjadi Serat Bratayuda Jarwa, R. Ng. Jasadipura telah mengenal sejumlah banyak nama susunan tentera yang dipakai oleh keluarga Pãnnddawa dan Kaurawa, ceritera Menak dalam bahasa Jawa baru itu ditambah dengan bagian-bagian yang pan- [24] Gambar 2. Prabu Lamdahur. Tokoh wayang Menak yang sangat terkenal. Gambar Deppen. Jang lebar mengenai tentera dan siasat perang 23). Berdasarkan adanya siasat perang dan susunan tentera yang diketemukan dalam kitab-kitab kesusasteraan Indonesia kuno itu dapat diambil kesimpulan, bahwa ilmu siasat perang itu pasti telah dikenal di Indonesia pada waktu yang lampau. Bahwa siasat perang yang jitu untuk menggempur musuh yang berupa serangan frontal dan serangan secara gerilya itu diterapkan oleh rakyat Indonesia apabila berhadapan dengan kolonialis Belanda, dapat diambil contohnya dari Serat Babad Tanah Jawi. Salah suatu bagian [25] dari kitab Serat Babad Tanah Jawi ini mengisahkan serangan gabungan antara Raden Mas Said atau Pangeran Prang Wadana (kelak bergelar Adipati Mangku Nagara I) dengan tentera Madura yang menyergap angkatan perang Kumpeni Belanda di Baki (sebelah Selatan kota Surakarta). Dari pertempuran itu jelas, bahwa Raden Mas Said memasukkan angkatan perang Kumpeni dalam perangkap dengan jalan melarikan diri, sehingga dikejar oleh angkatan perang Kumpeni. Tetapi ketika Raden Mas Said itu lari dengan pengikut-pengikutnya menuju kearah suatu desa yang telah dijaga oleh tentera Madura yang telah siap, hancurlah angkatan perang Kumpeni itu dalam pertempuran di Baki itu, karena disergap oleh tentera Madura itu. Sebagian dari kitab Serat Babad Tanah Jawi dikutip seperti dibawah ini 24): ............ nulya lumajeng Pangéran, linud binujeng Walandi. Ingkang samya munggwing kuda, wong Walanda ingkang ambujeng sami, Kumpeni dahat atambuh, yèn wonten wong Madura, samya nnddekem wonten salebeting ddukuh, samana awas tumingal, ddatenging wadya Kumpeni. Yèn kalojok pambujengnya, wong Kumpeni Madunten, wong sira glis, sareng nempuh saking lambung, medal ing paddusunan, wadya Kumpeni kagyat prayitnèng tangguh, naddahi wadya Madura, tempuh lan waos lan beddil. Terjemahannya: ...........larilah dengan segera Pangeran (Prang Wadana), dengan dikejar oleh orang-orang Belanda, (tentera) Kumpeni ini tidak mengetahui sama sekali, bahwa ada orang-orang Madura yang bersembunyi dalam desa, mereka ini telah melihat dengan jelas, tentang kedatangan tentera Kumpeni. Apabila orang-orang Kumpeni terlalu jauh dalam usahanya mengejar (Pangeran Prang Wadana), orang-orang Madura dengan cepatnya bersama-sama menyerang dari jurusan lambung dan keluar dari desa-desa itu, tentera Kumpeni terkejut dan mereka mulai berhati-hati dalam perhitungannya, untuk menghadapi tentera Madura, mereka bertempur dengan mempergunakan tombak dan senjata api. Dari cuplikan yang diambil dari Serat Babad Tanah Jawi itu dapat diketahui, bahwa pahlawan-pahlawan Indonesia pada waktu menghadapi tentera Belanda itu telah mengetahui siasat perang [26] yang berbentuk serangan secara frontal dan tahu bagaimana caraanya menjebak musuh yang menurut ceritera itu dilancarkan oleh pasukan-pasukan yang bersembunyi dan siasat ini sangat populer diantara rakyat biasa dengan istilah baris pendem. Contoh-contoh lain dapat diambil dari Babad Gianti 25), yang mengisahkan perjuangan Pangeran Mangku Bumi (kelak bergelar Sultan Hamengku Buwana I) melawan Belanda. Kecuali disebutkan dalam Babad Gianti sendiri, bahwa Pangeran Mangku Bumi itu seorang ahli siasat perang, kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang Belanda juga mengakui, bahwa Pangeran Mangku Bumi itu sungguh-sungguh seorang "strateeg", seperti yang ditunjukkan dalam pertempuran yang terjadi ditepi sungai Bagawanta 26). Contoh-contoh tentang keahlian bangsa Indonesia untuk berperang dapat ditambahkan lagi dengan mengambil tokoh Pangeran Dipanegara yang telah menggocangkan kedudukan Pemerintah kolonial Belanda. Apabila pada waktu dikejar oleh tentera Belanda Pangeran Dipanegara itu dapat menyelamatkan diri dengan jalan menyeburkan diri dalam sungai Praga yang sedang tinggi airnya, tetapi dapat memilih bagian yang dangkal 27), sedangkan tentera Belanda masuk dalam sungai ini dibagian-bagian yang dalam, sehingga terpaksa berenang dengan kuda-kudanya sehingga tidak dapat mengejar pahlawan Dipanegara, ini disebabkan karena pahlawan Dipanegara mengenal setiap jengkal tanah yang dipergunakan sebagai ajang bertempur melawan Belanda. Kemenangan itu juga disebabkan, karena pasukan-pasukan Pangeran Dipanegara disuruh menyusun barisan pendem dan dapat menghalau serangan tentera Belanda yang mengejar Pangeran Dipanegara 2. Bahwa bangsa Indonesia telah mengenal siasat perang yang dimiliki oleh negara-negara besar pada suatu waktu, ialah penyerangan terhadap sesuatu benteng atau kota dengan jalan menggali parit-parit untuk mendekati obyek yang akan direbut, dibuktikan oleh angkatan perang Sultan Agung yang mengepung Batavia 29) pada tahun 1628 yang sudah barang tentu sangat mengejutkan sardadu-serdadu Kumpeni Belanda. Berita lainnya yang menunjukkan, bahwa bangsa Indonesia pada abad 17 telah mempunyai organisasi ketenteraan yang disusun rapih dengan tujuan memudahkan pelaksanaan siasat perang disebutkan oleh Dr. de [27] Haen, seorang utusan Belanda yang mengunjungi Karta, ibukota Mataram pada jaman Sultan Agung. Dikatakan, bahwa apabila gong yang ada 4 penjuru dari kota Karta dipukul, dalam waktu setengah hari sejumlah 200.000 orang dapat dikumpulkan 30). Dari berita-berita itu cukuplah bukti-buktinya, bahwa rakyat Indonesia pada waktu yang lampau itu telah mengenal ilmu siasat perang. Hanya saja tidak diketemukan kitab-kitab yang menguraikan ilmu ini secara metodis dan sistematis. Seperti telah dikatakan diatas, andai kata dapat diketemukan berita-beritanya, berita-berita itu diketemukan terselip dalam kesusasteraan Indonesia kuno. Salah suatu dari buah kesusasteraan Indonesia kuno yang agak secara metodis membicarakan siasat perang frontal dan disebut wyûha, ialah kakawin Bhãrata-Yuddha. Menurut kesusasteraan India kuno, ialah dalam kitab Arthaçãstra karya Kauttilya disebutkan beberapa macam wyûha, ialah: 1. ddanndda wyûha, susunan tentera seperti alat pemukul, 2. bhoga wyûha, susunan tentera seperti ular, 3. mannddala wyûha, susunan tentera seperti lingkaran, 4. asamhata wyûha, susunan tentera yang bagian-bagiannya terpisah-pisah, 5. pradara wyûha, susunan tentera untuk menggempur musuh, 6. ddrddrhaka wyûha, susunan tentera dengan sayap dan lambung tertarik kebelakang, 7. asahya wyûha, susunan tentera yang tidak dapat ditembus, 8. garudda wyûha, susunan tentera seperti garuda, 9. sanjaya wyûha, susunan tentera untuk mencapai kemenangan dan berbentuk busur, 10. wijaya wyûha, susunan tentera menyerupai busur dengan bagian busur depan yang menjolok, 11. sthulakarnna wyûha, susunan tentera yang berbentuk telinga (karnna) besar (sthûla), 12. wiçalawijaya wyûha, susunan tentera yang disebut kemenangan mutlak; susunannya sama dengan 11, hanya saja bagian depan disusun dua kali lebih kuat dari pada 11, 13. camûmukha wyûha, susunan tentera dengan bentuk 2 sayap yang berhadapan muka dengan musuh (camû dalam bahasa Sangsekerta berarti suatu kesatuan perang), [28] 14. jhashãsya wyûha, susunan tentera seperti 13, hanya saja sayapnya ditarik kebelakang (jhashãsya berarti muka ikan), 15. sûcimukha wyûha, susunan tentera yang berujung (mukha) seperti jarum (sûci), 16. walaya wyûha, susunan tentera seperti 15, hanya saja barisannya terdiri dari 2 lapisan, 17. ajaya wyûha, susunan tentera yang tidak teralahkan, 18. sarpasari wyûha, susunan tentera sepertri ular (sarpa) yang bergerak (sari), 19. gomûtrika wyûha, susunan tentera yang berbentuk arah terbuangnya air kencing (mûtrika) sapi (go), 20. syandana wyûha, susunan tentera yang menyerupai kereta (syandana), 21. godha wyûha, susunan tentera yang menyerupai buaya (godha), 22. wãripatantaka wyûha, susunan tentera sama dengan 20, hanya saja segala pasukan terdiri dari barisan gajah, kuda dan kereta perang, 23. sarwatomukha wyûha, susunan tentera yang berbentuk lingkaran, sehingga pengertian sayap, lambung dan bagian depan tidak ada lagi; sarwato dari kata sarwata berarti seluruh, sedangkan mukha berarti arah, 24. sarwatabhadra wyûha, susunan tentera yang serba (sarwata) menguntungkan (bhadra), 25. ashttanika wyûha, susunan tentera yang terdiri 8 divisi (asstta atau ashttanika berarti delapan), 26. wajra wyûha, susunan tentera menyerupai petir (wajra) dan terdiri dari 5 divisi yang disusun terpisah-pisah satu dari yang lain, 27. udyãnaka wyûha, susunan tentera menyerupai taman (udyãmaka) yang juga disebut kãkapadi wyûha, artinya susunan tentera yang berbentuk kaki (padi berarti berkaki) burung kaka-tua (kãka) dengan ketentuan bahwa susunan tentera ini terdiri 4 divisi. 28. ardhacandrika wyûha, susunan tentera yang berbentuk bulan sabit, juga disebut ardhacandra wyûha; ditentukan bahwa susunan tentera ini berdasarkan atas 3 divisi. [29] 29. karkãttakaçrênggi wyûha, susunan tentera yang berbentuk kepala (çrêngga) udang (karkãttaka), 30. arista wyûha, susunan tentera yang serba menang (arista) dengan susunan garis depan yang ditempati oleh barisan kereta perang, barisan gajah, sedangkan barisan berkuda menempati garis belakang, 31. acala wyûha, susunan tentera yang tidak bergerak, ialah suatu susunan tentera dengan menempatkan barisan infanteri, barisan gajah, barisan kuda dan barisan kereta perang satu dibelakang yang lain, 32. çyena wyûha, ialah susunan tentera sama dengan garudda wyûha, 33. apratihata wyûha, susunan tentera yang tidak dapat dilawan (pratihata berarti melawan, sedangkan a berarti tidak) dengan ketentuan bahwa barisan gajah, barisan kuda, barisan kereta perang dan barisan infanteri ditempatkan satu dibelakang yang lain, 34. capa wyûha, susunan tentera yang berbentuk busur, 35. madhya capa, susunan tentera yang berbentuk busur dengan inti kekuatan dibagian tengah. Sebaliknya, didalam kitab Kamandaka, salah suatu kitab dari kesusasteraan Jawa kuno disebutkan 8 macam wyûha 32), ialah: 1. garudda wyûha (atau byuha), susunan tentera yang berbentuk garuda, 2. singha wyûha, susunan tentera yang berbentuk singa, 3. makara wyûha, susunan tentera yang berbentuk makara (udang), 4. cakra wyûha, susunan tentera yang berbentuk cakram, 5. padma wyûha, susunan tentera yang berbentuk bunga seroja, 6. wukir sagara wyûha, susunan tentera yang berbentuk bukit dan samudera, 7. ardhacandra wyûha, susunan tentera yang berbentuk bulan sabit, 8. wajratikshnna wyûha, susunan tentera yang berbentuk wajra atau petir yang tajam. [30] Didalam kakawin Bhãrata-Yuddha disebutkan 10 macam wyûha, ialah: 1. wukir sagara wyûha dalam Pupuh X 10 dan XL 2, 2. wajratikshnna wyûha dalam Pupuh X 11, 3. kagapati (garudda) wyûha dalam Pupuh XII 6, 4. gajendramatta atau gajamatta wyûha (gajah ngamuk) dalam Pupuh XIII 13, 5. cakra wyûha dalam Pupuh XIII 22 dan XV 21, 6. makara wyûha dalam Pupuh XIII 24 dan XXVII 2, 7. sûcimukha wyûha dalam Pupuh XV 21, 8. padma wyûha dalam Pupuh XV 22, 9. ardhacandra wyûha dalam Pupuh XXVI 5, 10. kãnanya wyûha dalam Pupuh XL 2. Ketika perang besar antara keluarga Kaurawa dan Pãnnddawa dimulai, tentera Kaurawa mengambil susunan tentera wukir sagara. Raja-raja takluk kerajaan Hastina yang berkendaraan gajah dan kuda merupakan karang laut yang serba kokoh dan kuat, sedangkan serangan perjurit yang bergelombang itu merupakan gelombang samudera yang tidak ada henti-hentinya. Susunan tentera ini memerlukan sejumlah banyak perjurit yang bertempur dalam massa yang besar dan memiliki dinamik yang tinggi. Serangan dari tentera Hastina dalam jumlah yang banyak itu disebutkan dalam Pupuh X 17, yang menyatakan bahwa satu kereta perang diperkuat oleh 10 ekor gajah, sedangkan masing-masing gajah diperkuat oleh 10 ekor kuda dan seekor kuda diperkuat oleh 10 orang perjurit. Massa yang banyak dengan kuda dan gajah itu menjadi bukit yang kokoh. Sebaliknya dalam permulaan perang ini menurut Pupuh X 11, keluarga Pãnnddawa mengambil susunan tentera yang disebut wajratikshanna wyûha, artinya petir yang tajam. Bhima, Arjunna dan Çikannddi merupakan ujung petir yang tajam, sedangkan putera-putera Wirãtta, ialah Uttara dan Çangka, bersama-sama dengan Sãtyaki serta Dhrêshttadyumna memimpin pertahanan dibelakang. Yudhistthira bersama-sama dengan raja lainnya, —tentunya yang dimaksudkan ialah Krêshnna, Nakula dan Sahadewa bersama-sama dengan Çweta —, dalam Pupuh X 11 itu dikatakan ada dibarisan tengah. Susunan tentera yang disebutkan dalam [31] kakawin Bhãrata-Yuddha ini berbeda dengan apa yang disebutkan dalam Serat Bratayuda Jarwa yang dipergunakan oleh J. Kats sebagai bahan menusun susunan tentera dalam buku yang ditulisnya itu 33). Gambar A. wajratikshnna wyûha wukir sagara wyûha Keterangan gambar A.: 1. Bhima (ujung depan), Çikannddi (ujung depan), 3. Arjunna (ujung depan), 4. Yudhishtthira (tengah), 5. Krêshnna (tengah), 6 Çweta (garis belakang), 7. Çangka (garis belakang), 8. Uttara (garis belakang), 9. Sãtyaki (garis belakang sayap kiri), 10. Dhrêshttadyumna (garis belakang sayap kanan). I dari barisan Kaurawa terdiri dari gajah dan kuda yang menyerupai karang laut (bukit) yang kompak, sedangkan II terdiri dari pasukan darat yang secara bergelombang menuju kedepan. Dari bentuk susunan tentera yang dimiliki oleh keluarga Pãnnddawa dak Kaurawa itu dapat diketahui, bahwa kedua-duanya memiliki tenaga ofensif yang kuat. Dalam hubungan ini dapat dikatakan, bahwa dalam kitab Bhishmaparwa dalam bahasa Jawa kuno susunan tentera keluarga Pãnnddawa itu berlainan dengan apa yang disebutkan dalam kakawin Bhãrata-Yuddha. Kecuali nama wyûhanya tidak disebutkan, pahlawan-pahlawan yang memimpin beberapa bagian susunan tentera juga berlainan dengan apa yang disebutkan dalam kakawin Bhãrata-Yuddha 34). Apabila hal ini ditinjau dari sudut akulturasi Mpu Sêddah yang menciptakan kakawin ini mempunyai daya cipta sendiri dan tidak menjiplak begitu saja dari apa yang disebutkan dalam kitab Ma- [32] hãbhãrata dalam bahasa Jawa kuno (saduran dari kitab Mahãbhãrata dalam bahasa Sangsekerta) yang dijadikan dasar penyusunan ceritera kakawin Bhãrata-Yuddha tersebut. Seperti diketahui, dalam permulaan perang itu barisan Pãnnddawa menderita kekalahan besar, ialah dengan terbunuhnya Çweta yang menjadi panglima dan dua orang adiknya, ialah Çangka dan Uttara, sedangkan dipihak Kaurawa Rukmaratha, anak raja Çalya terbunuh juga. Karena dengan adanya susunan tentera wajratikshnna itu keluarga Pãnnddawa menderita kekalahan, menurut Pupuh XII 5-7 dikatakan, bahwa setelah Dhrêshttadyumna diangkat menjadi panglima, susunan tentera Pãnnddawa diganti menjadi garudda wyûha dan yang menurut Pupuh XII 8 diimbangi oleh tentera Kaurawa. Susunan tentera kedua pihak itu lebih tenang sifatnya, karena titik beratnya diletakkan kepada aspek defensif, setelah terbukti bahwa kedua pihak dengan susunan tentera yang masing-masing berbentuk wukir sagara dan wajratikshnna itu menitik beratkan tujuannya kepada aspek ofensif, telah menderita kekalahan dan kerugian. Susunan tentera garudda itu menitik beratkan siasatnya untuk menjaga keselamatan dari induk barisan dan keselamatan ini dijamin oleh pemusatan kekuatan dimasing-masing lambung. Dengan adanya jaminan dari kedua lambung itu barisan induk dengan tenang dapat mengadakan ofensif atau penyerangan dengan dibantu dan dilindungi oleh masing-masing lambung. Gambar B. garudda wyûha Keterangan: 1. Drupada (kepala), 2. Arjunna (paruh), 3. Yu- [33] dhistthira (punggung), 4. Raja-raja termasuk Nakula dan Sahadewa (punggung), 5. Bhima (lambung kiri), 6. Dhrêshttadyumna (lambung kanan), 7. Sãtyaki (ekor). I. Çakuni (kepala), II Çalya (paruh), III. Suyodhana (punggung), IV. Bhishma (lambung kiri), V. Dronna (lambung kanan), VI. Duççãsana (ekor). Dengan memperhatikan susunan tentera yang serba tenang untuk menjaga jangan sampai banyak menderita kerugian, tentera Kaurawa menderita juga kerugian besar dengan terbunuhnya panglima Bhishma, karena sebagai pemimpin yang diserahi pertahanan dilambung kiri kecuali menyerang juga menjaga keamanan raja Suyodhana yang ada dibarisan induk. Dari tempat yang aman ini raja Suyodhana mempunyai tempat yang strategis, karena dapat melihat seluruh gerakan tentera Kaurawa yang sedang bertempur. Setelah Bhishma gugur dalam medan pertempuran, kedudukannya diganti oleh Dronna yang menjadi panglima tentera Kaurawa; ia memilih susunan tentera gajamatta, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XIII 13. Sebaliknya tentera Pãnnddawa, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XIII 13 itu juga memilih susunan tentera gajamatta, sedangkan dalam karangan J. Kats yang mendasarkan uraian atas kitab Serat Bratayuda, tentera Pãnnddawa tetap mempertahankan susunan tentera garudda 35). Gambar C. gajamatta wyûha Keterangan: I. Bhagadatta (belalai), II. Karnna (gading), III. Jayadratha (gading). 1. Arjunna (gading). Dari pertempuran kedua pihak yang masing-masing mempergunakan susunan tentera yang berbentuk gajamatta itu, dari pihak Kaurawa dapat diketahui susunannya dengan jelas, karena dise- [34] butkan dalam kakawin Bhãrata-Yuddha, akan tetapi sebaliknya kakawin Bhãrata-Yuddha hanya menyebutkan dengan samar-samar. Yang disebutkan dalam Pupuh XIII 15, ialah hanya Arjunna. Didalam pertempuran itu, pihak Kaurawa mengalami kerugian, karena Bhagadatta gugur sebagai akibat serangan Arjunna. Tentera Kaurawa sesungguhnya akan mengalami kerugian lebih besar lagi, apabila hari tidak menjadi malam. Dengan datangnya malam itu pertempuran harus dihentikan. Pada waktu pagi yang menyusulnya, Dronna telah mendengar dari Yudhishtthira sendiri, bahwa ia dapat dibinasakan, apabila ia ditinggalkan oleh Bhima dan Arjunna, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XIII 19. Setelah dapat menipu Bhima dan Arjunna untuk berperang ditempat-tempat yang jauh, Dronna mencoba membunuh Yudhishtthira dengan jalan merobah susunan tentera yang berupa gajamatta menjadi cakra wyûha, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XIII 22. Karena dengan perginya Bhima dan Arjunna itu tentera Pãnnddawa menjadi lemah, Yudhishtthira mengganti susunan tenteranya dari gajamatta wyûha menjadi makara wyûha, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XIII 24. Gambar D. makara wyûha cakra wyûha Keterangan: 1. Dhrêshttadyumna (sapit kanan), 2. Ghattotkaca (sapit kiri), 3. Sãtyaki (mulut), 4 Nakula (mata kiri), 5. Sahadewa (mata kanan), 6. Abhimanyu (hidung), 7. Dua orang Panjcawala atau anak Pãnnddawa (sungut kiri), 8. Tiga orang Panjcawala (sungut kanan), 9. Yudhishtthira (kepala), 10. Beberapa orang raja (punggung), 11. Beberapa orang raja (badan). I. Jayadratha (peleg) bersama-sama dengan raja-raja lainnya, [35] II. Karnna (ruji-ruji), III. Dronna (ruji-ruji), IV. Krepa (ruji-ruji),V, VI. dan seterusnya orang-orang Kaurawa (ruji-ruji), VII. Suyodhana (sumbu). Dronna yang menjadi panglima tentera Kaurawa itu mengganti susunan tenteranya menjadi cakra wyûha, setelah melihat tentera Pãnnddawa menjadi lemah ketika ditinggalkan oleh Bhima dan Arjunna. Susunan tentera keluarga Kaurawa ini menempatkan Suyodhana pada sumbu roda tepat, sehingga Suyodhana dilindungi oleh sekian banyak pahlawan-pahlawan, seperti Dronna, Krêshnna dan Krêpa. Dengan ini rekonstruksi yang disusun ini berbeda dengan rekonstruksi yang disusun oleh J. Kats 36). Didalam kakawin Bhãrata-Yuddha tidak disebutkan dengan pasti tempat manakah yang dijaga oleh raja Suyodhana. Tetapi Pupuh XIII 25 menguraikan tentang serangan Abhimanyu yang dahsyat itu dapat merusak susunan tentera Kaurawa dengan serangan panah, sehingga Abhimanyu mendekati tempat pertahanan Suyodhana, yang disebut belakangan ini lari. Dalam usaha untuk mengejar Suyodhana itu Abhimanyu dihalang-halangi oleh Dronna dan Karnna. Dengan ini dapat diambil kesimpulan, bahwa Suyodhana itu menempati sumbu roda yang letaknya tidak jauh dari Dronna dan Karnna. Susunan cakra wyûha itu kuat, karena mempunyai front depan dibagian manapun juga sesuai dengan bentuknya yang menyerupai lingkaran itu. Tetapi bagaimanapun juga kuatnya, pasukan Abhimanyu dengan panahnya yang tepat menyerang dari jauh, sehingga tidak perlu mendekati pelek yang dijaga oleh Jayadratha serta lain-lainnya, dan sempat juga untuk mengusir raja Suyodhana dari tempatnya. Sebaliknya, makara wyûha itu merupakan suatu susunan tentera yang serba lebar frontnya dan dalam beberapa hal mempunyai keuntungan seperti disebutkan dibawah ini: 1. Dengan hidungnya (ditempati oleh Abhimanyu) susunan tentera ini dapat mengadakan serangan yang jitu dengan panah dari jarak jauh dan dengan adanya kemungkinan juga dibantu oleh kedua sapit (Dhrêshttadyumna dan Ghattotkaca) yang mobil untuk bergerak kearah mana juga yang disukai unrtuk membantu Abhimanyu yang ada didepan, begitu pula dapat membantu mereka yang ada dibadan dan punggung dari susunan tentera ini yang merupakan barisan belakang. Bahkan Yudhishtthira yang ada ditengah itu [36] juga mendapat perlindhungan dari kedua sapit dan sungut itu. 2. Sungutnya yang ditempati oleh orang-orang Panjcawala yang lima jumlahnya juga dibagi menjadi 2 (kiri dan kanan) mempunyai tugas untuk menyerang dengan tujuan menemukan bagian mana dari pertahanan musuh yang lemah. 3. Kedua sapit ini dapat bergerak dalam front yang lebar, karena dengan jalan memperpanjang sapitnya dapat menyapit seluruh musuh dan dapat membantu Abhimanyu dengan membelokkan kedua sapit itu kedalam. Susunan tentera yang disebut makara wyûha ini sangat ampuh, karena dibelakang Abhimanyu ditempatkan Sãtyaki sebagai mulut yang setiap waktu dapat menggantikan kedudukan Abhimanyu bila gugur atau terluka dan dibelakangnya lagi 2 mata yang terdiri dari pahlawan kembar Nakula dan Sahadewa dapat mengawasi berlangsungnya pertempuran dan siap membantu bagian mana yang lemah. Yudhishtthira yang menempati bagian kepala menjadi "brain" dari serangan-serangan yang diadakan dan diatur dari tempat Yudhishtthira tersebut. Karena tempat Yudhishtthira ini tepat ditengah, dengan sendirinya telah dilindungi oleh barisan yang ada disekitarnya. Susunan tentera ini sangat jitu, apabila dikerjakan dengan segala perhitungan. Tetapi kesalahan pihak Pãnnddawa, ialah sekalipun Abhimanyu itu sangat berani, tetapi kurang berhati-hati dan kurang perhitungan. Didalam kegembiraannya karena dapat memaksa Suyodhana untuk lari, Abhimanyu mau mengejarnya tetapi pada waktu itu juga Jayadratha bersama-asama dengan raja-raja lainnya yang merupakan peleg susunan tentera Kaurawa membuka suatu bagian dari peleg itu, sehingga Abhimanyu memasuki bagian dari susunan tentera Kaurawa yang terbuka itru. Setelah ia masuk, peleg ditutup rapat kembali, sehingga Abhimanyu terpisah dari pasukan-pasukan Pãnnddawa dan dikepung oleh orang-orang Kaurawa. Sekalipun ia masih dapat membinasakan putera-mahkota Hastina yang bernama Lakshmanna-kumãra, Abhimanyu gugur ketika dikeroyok oleh orang-orang Kaurawa. Karena hari mulai gelap pertempuran dihentikan. Ketika pada pagi harinya pertempuran dimulai lagi keluarga Pãnnddawa yang telah mengetahui, bahwa makara wyûha tidak banyak manfaatnya, menggantikannya dengan cakra wyûha sehingga mengimbangi susunan tentera Kaurawa, seperti yang disebut- [37] kan dalam Pupuh XIII 24. Gambar E. Cakra wyûha padma wyûha sucimukha wyûha Keterangan: 1. Arjunna (leher), 2. Krêshnna (leher); disebutkan nama Krêshnna disini, karena menurut Pupuh XV 29 yang mengatakan bahwa dalam pertempuran itu Krêshnna dan Arjunna bersenda gurau, kedua orang ini menempati pertahanan yang paling dekat mendekati, 3. Dhrêshttadyumna, 4. Çatãnika. I. Karnna, II. Jalasandha, Bhuriçrawa, Ambisa, orang-orang Kaurawa dan raja-raja lainnya, III. Dronna, IV. Jayadratha, V. Çalya. Dari uraian Pupuh XV 21-23 ini dapat diketahui, bahwa untuk menyelamatkan Jayadhatha, telah diadakan suatu susunan tentera berlapis tiga. Sesungguhnya, Jayadratha setelah berhasil membinasakan Abhimanyu merasa ketakutan untuk diserang oleh Arjunna yang telah bersumpah lebih baik menceburkan dirinya dalam api dari pada hidup yang gagal karena tidak dapat membunuh Jayadratha. Kehendak Jayadratha untuk meninggalkan medan pertempuran telah dicegah oleh Dronna yang berjanji akan melindungi Jayadratha, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XIV 12. Justru, karena Jayadratha yang akan dilindungi, susunan tentera Kaurawa itu diperkuat dengan diberi berlapis tiga, ialah didepan berbentuk cakra wyûha dibawah pimpinan Karnna, ditengah padma wyûha (berbentuk bunga seroja) dibawah pimpinan Dronna dan didalam susunan tentera yang berbentuk bunga seroja ini Jayadratha disembunyikan. Untuk memperkuat tempat bersembunyi ini dibelakang susunan tentera yang berbentuk bunga seroja itu masih diketemukan lapisan pertahanan ketiga yang berbentuk sûcimukha wyûha, ialah susunan tentera yang berbentuk jarum tajam (sûci) dibagian depan 37). [38] Berdasarkan atas keterangan dari kitab Arthaçãstra karya Kauttilya yang menguraikan, bahwa susunan tentera sûcimukha itu ditempatkan salah satu susunan tentera lainnya 3, didalam rekonstruksi susunan tentera Kaurawa ini juga susunan tentera sûcimukha ditempatkan dibarisan belakang, khusus untuk melindungi Jayadratha. Dengan adanya rekonstruksi baru ini, jelaslah bahwa apa yang direkonstruksikan oleh J. Kats hanya diawur saja 39). Setelah barisan belakang dari susunan tentera orang-orang Kaurawa yang berbentuk cakra wyûha itu binasa, karena serangan Arjunna, Bhima, Sãtyaki dan lain-lainnya, sehingga pahlawan-pahlawan Kaurawa dan raja-raja serta tokoh-tokoh yang disebutkan dalam kelompok II itu binasa, Arjunna dapat mendekati tempat Jayadratha. Sementara itu Krêshnna mengambil suatu tindakan yang merupakan suatu tipu muslihat dengan jalan melemparkan cakranya kearah matahari, sehingga gelaplah waktu itu. Karena dikira hari telah malam dan Arjunna gagal mencapai tujuannya untuk membunuh Jayadratha sehingga ia harus menceburkan diri dalam api, Jayadratha yang mengira bahwa hari telah malam dan perang dihentikan, mulai keluar dari tempat persembunyiannya dan pada waktu itulah ia mati dipanah oleh Arjunna. Setelah Dronna gugur sebagai senapati tentera Kaurawa, ditunjuklah Karnna sebagai panglima yang menyusun suatu siasat baru dan memilih susunan tentera yang berbentuk makara wyûha, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XXVII 2. Sebaliknya tentera Pãnnddawa yang dipimpin oleh Arjunna mengambil susunan tentera yang disebut ardhacandra wyûha, seperti yang disebutkan dalam Pupuh XXVI 5. Gambar F. Ardhacandra wyûha makara wyûha [39] Keterangan: 1. Arjunna (didepan), 2. Krêshnna (sebagai sais kereta perang Arjunna), 3. Yudhishtthira (tengah), 4. Nakula (belakang), 5. Sahadewa (belakang), 6. Yuyutsu (belakang), 7. Sãtyaki (ujung kiri), 8. Bhima (ujung kanan). I. Karnna (mulut), II. Çalya (sais kereta perang Karnna), III. Anak Karnna, IV. Çakuni dan Sudharma (sapit kiri), V. Durmukha dan Angçuman (sapit kanan), VI. Suyodhana dan lain-lainnya (leher), VII. beberapa orang raja (punggung) dan VIII. Para pahlawan Kaurawa (ekor). Dari susunan tentera yang dipakai oleh keluarga Pãnnddawa itu dapat diketahui, bahwa kecuali Arjunna sebagai panglima dapat menyerbu kedepan, dapat juga melindungi Yudhishtthira yang ada dibelakangnya, sedangkan dari belakang kedudukan Yudhishtthira telah dilindungi oleh Nakula, Sahadewa dan Yuyutsu. Ujung kiri dan kanan yang dipimpin oleh Sãtyaki dan Bhima dalam hal ini dapat dipergunakan untuk membantu Arjunna menahan serangan mulut makara yang ditempati oleh Karnna. Perhitungan orang-orang Pãnnddawa, bahwa Karnna akan terjebak karena serangannya terlalu maju kedepan telah tercapai. Sebab Karnna yang sangat bernafsu untuk berhadapan dengan Arjunna, ia terpisah dari susunan tentera Kaurawa, sehingga masing-masing bagian dari susunan tentera Kaurawa dapat dibinasakan oleh serangan orang Pãnnddawa. Akhirnya, kecuali Karnna yang gugur karena serangan Arjunna, Duççãsana juga gugur karena dibinasakan oleh Bhima. Pada waktu raja Çalya menjabat panglima tentera Kaurawa setelah Karnna gugur, susunan tentera yang terpilih oleh Çalya ialah kãnana wyûha yang berarti susunan tentera yang menyerupai hutan 40), seperti yang disebutkan pada Pupuh XL 2. Tujuan Çalya ialah untuk melindungi Suyodhana yang ada ditengah dengan menempatkan orang-orang pahlawan disekitarnya. Dari kakawin Bhãrata-Yuddha dapat diketahui, bahwa susunan tentera kãnana wyûha ini menyerupai laut pada waktu pasang. Yang disebut dengan air laut yang pasang dan menyerang daratan itu rupa-rupanya serangan yang bertubi-tubi yang diadakan oleh para perjurit dan pahlawan yang mengelilingi raja Suyodhana. [40] Gambar G. kãnana wyûha Keterangan: I. Suyodhana, II. Lapisan perjurit, III. Lapisan perjurit. Sebaliknya tentang susunan tentera orang Pãnnddawa tidak disebutkan sama sekali. Dari uraian tersebut diatas itu dapat diambil kesimpulan, bahwa bangsa Indonesia sejak jaman yang lampau itu mengenal pengetahuan ilmu perang dan karena kitab-kitab yang mengajarkan ilmu ini secara metodis tidak diketemukan, dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia dengan mengerjakan otaknya yang tajam dan sehat dapat mengembangkan ilmu perang yang didasarkan atan fragmen-fragmen ilmu perang itu yang diketemukan dalam kesusasteraan Indonesia kuno III. Unsur sejarah dalam kakawin Bhãrata-Yuddha. Kakawin Bhãrata-Yuddha, kecuali menyebutkan nama seorang raja, ialah raja Jayabhaya, juga menyebutkan angka tahun dalam manggala atau bagian pertama dari kakawin ini. Disamping kakawin Nãgara krêtãgama yang jelas menyebutkan angka tahun ketika kitab tersebut selesai disusun, ialah pada tahun Çaka 1287 (dalam bentuk candra-sengkala) atau tahun 1365 Masehi 1), ka- [41] kawin Bhãrata-Yuddya juga memuat angka tahun yang berbentuk candra-sengkala yang berbunyi: Çãka kãla ri sanga kuda çuddha candrama 2). Artinya: Tahun Çaka pada sanga (9) kuda (7) bersih (0) bulan (1), ialah tahun Çaka 1079 atau tahun 1157 Masehi. Dengan ini sesungguhnya kakawin Bhãrata-Yuddha telah memenuhi syarat pertama sebagai sumber sejarah, karena telah menyebutkan seorang tokoh sejarah 3), ialah raja Jayabhaya dan menyebutkan angka tahun bilamana Jayabhaya memerintah 4). Karena dari inskripsi-inskripsi yang dikeluarkan atas nama raja Jayabhaya dari Kediri itu berangka tahun antara tahun 1135 dan 1146 5), seperti juga telah disinggung dalam karangan ini 6), pada hal angka tahun 1157 kalau ditinjau dari sudut kehidupan seseorang tidak berselisih lama dengan angka 1146, dapat diambil kesimpulan, bahwa Jayabhaya dari Daha atau Kediri yang disebutkan dalam kakawin Bhãrata-Yuddha dapat diidentifikasikan dengan Jayabhaya yang disebutkan dalam suatu prasasti yang jelas diketemukan didaerah Kediri dan menyebutkan juga raja Jayabhaya, ialah prasasti dari Ngantang 7) dan satu prasasti lagi yang berasal dari Wlingi menyebut nama raja Jayabhaya dan satu lagi yang juga diketemukan di Wlingi 9). Jelaslah bahwa Jayabhaya dari kakawin Bhãrata-Yuddha itu identik dengan Jayabhaya dari prasasti, sehingga Jayabhaya yang disebutkan dalam kakawin Bhãrata-Yuddha adalah seorang tokoh sejarah. Apabila telah dipastikan, bahwa raja Jayabhaya itu seorang tokoh sejarah, karena diketahui angka tahunnya bilamana ia memerintah seperti yang disebutkan dalam kakawin Bhãrata-Yuddha dan bilamana ia memerintahkan kepada Mpu Sêddah untuk menulis kitab kakawin Bhãrata-Yuddha tersebut yang dalam Pupuh I 6 berbunyi: nahan don mpu Sêddah makirtya çãkakãla ri sanga kuda çuddha candrama, sifat sejarahnya telah ditunjukkan oleh istilah çãkakãla, yang berarti hitungan tahun Çaka dan angka tahun dalam bentuk candra-sengkala. Seperti telah diketahui, baik prasasti, maupun kitab-kitab kesusasteraan yang bersifat sejarah itu mempunyai angka tahun yang disusun dalam bentuk candra-sengkala. Umpamanya saja prasasti Tjanggal 10) memuat angka [42] tahun yang berbungi : çrûti indrya-rasa, yang merupakan angka tahun 6 (rasa), 5 (indrya), 4 (çrûti), ialah tahun Çãka 654 atau 732 Masehi dan prasasti dalam bahasa Jawa kuno yang bersya'ir 11) yang mempunyai candra-sengkala yang berbunyi: Wwalu ng gunung sang wiku, ialah angka tahun 7 (sang wiku), 7 (gunung), 8 (wwalu) dan berarti tahun Çãka 778 atau 856 Masehi. Demikian halnya dengan angka-angka tahun yang disebutkan dalam kitab Pararaton 12) dan kakawin Nãgarakrêtãgama yang semuanya mempergunakan candra-sengkala untuk menyebutkan sesuatu peristiwa sejarah. Apabila telah jelas, bahwa candra-sengkala merupakan suatu catatan peristiwa yang bersifat sejarah,dari contoh-contoh diatas itu juga jelas, bahwa untuk menemukan angka tahunnya, masing-masing candra-sengkala itu dibaca dari belakang kedepan. Apa sebabnya dikerjakan demikian, tidak ada keterangan yang jelas, karena ditanah asal dimana candra-sengkala itu dipakai untuk pertama kali, ialah di India 14), cara menemukan angka yang terselip didalam masing-masing kata itu juga telah harus dibaca dari belakang kedepan. Dari contoh-contoh diatas juga jelas, bahwa masing-masing angka itu disindirkan oleh kata-kata yang tertentu, umpamanya saja indrya menyindir angka 5, çrûti mengandung arti 4 dan sebagainya. Cara untuk memberi angka yang pasti kepada masing-masing kata itu ada logikanya, karena umpamanya saja angka 5 dalam kebudayaan India dan Indonesia itu dihubungkan dengan istilah pancendrya atau panca indrya, ialah indrya yang 5 jumlahnya, sedangkan kata çrûti yang berarti kitab Weda berjumlah 4 dan dalam bahasa Sangsekerta disebut caturweda 15). Karena candra-sengkala yang menggambarkan sngka tahun itu terdiri dari beberapa kata, sedangkan kata-kata yang menyindirkan angka tahun itu harus dilafal, pastilah sangat sukar untuk mengerjakannya. Maka suatu candra-sengkala yang baik itu, ialah apabila kata-katanya merupakan suatu kalimat yang berjalan 16). Umpamanya saja, candra-sengkala yang memperingati berdirinya istana di Yogyakarta berbunyi: dwi naga sarasa tunggal, yang berarti dua (dwi) ekor ular (naga) berselera (sa artinya satu dan rasa berarti 6; sarasa berarti serasa) satu tunggal) dan apa- [43] bila kalimat ini dibaca dari belakang kedepan menunjukkan angka 1682. Urut-urutan angka tahun itu sesungguhnya 2861, tetapi telah ada aturan, bahwa untuk angka tahunnya harus dibaca dari belakang kedepan. Candra-sengkala tersebut menggambarkan angka tahun Jawa atau tahun 1776 Masehi 17), ialah ketika pintu gerbang Selatan yang ada dihalaman istana Yogyakarta selesai dibangun. Bahkan menurut aturan penyusunan candra-sengkala, kalimat yang terdiri dari kata-kata yang berjalan dan memuat angka tahun itu menyindir peristiwa sejarah yang terjadi, umpamanya saja candra-sengkala yang menyebut berdirinya kerajaan Demak, ialah: geni murub siniram wong. Candra-sengkala ini menunjukkan tahun Jawa 1 (wong) 4 (disiram dengan air: air berangka 4) 3 (murub; murub berarti menyala, ialah api yang berangka 3) 3 (geni atau api berangka 3). Jadi candra-sengkala itu menunjukkan angka tahun 1433 menurut hitungan Jawa 18). Dengan ini, apabila Pupuh I 6 dari kakawin Bhãrata-Yuddha yang berbunyi, nahan don mpu Séddah makirtya çãkakãla ri sanga kuda çuddha candrama, ditinjau kata demi kata telah memuat angka tahun dan merupakan suatu kalimat yang berjalan, ialah sembilan (sanga) ekor kuda (kuda) bersih (çuddha) (seperti) bulan (candrama). Bacaan yang sedemikian ini telah dikerjakan oleh R.Ng.Dr. Poerbatjaraka, ketika menterjemahkan kakawin Bhãrata-Yuddha ini dan berbunyi: in het Çãka jaar "negenpaarden-rein (als) -de maan" 19). Tetapi, apabila telah dirumuskan, bahwa candra-sengkala itu menyindir peristiwa sejarah yang terjadi, bacaan Prof. Dr. C.C. Berg lebih tepat, karena ia membacanya seperti berikut: nahan don mpu Sêddah makirtya çãkala ri sang akuda çuddha candrama 20), artinya: Maka demikianlah tujuan Mpu Sêddah menulis ceritera sejarah pada (tahun) sang (pahlawan) yang berkuda (berhati) bersih (seperti) bulan. Dari perbandingan bacaan sanga kuda çuddha candrama dan sang akuda çuddha candrama ini dapat ditentukan, bahwa bacaan yang kedua oleh Prof. Dr. C.C. Berg ini, ada baiknya dalam hu- [44] bungan ini untuk membicarakan sekaligus arti çãkakãla. Apabila menurut pendapat Prof. Dr. C.C. Berg, Dr. H. Kern dan R.Ng. Dr. Poerbatjaraka menterjemahkan istilah çãkakãla masing-masing dengan "gewichtige gebeurtenis" (peristiwa penting) dan "gedenkwaardige tijdstippen" (waktu penting untuk sejarah) kedua-duanya itu kurang tepat, sarjana Berg menterjemahkan çãkakãla seperti yang telah dipakai juga dalam terjemahan kakawin Bhãrata-Yuddha ini dengan ceritera sejarah 21). Jadi çãkakãla ini kecuali diartikan sebagai ceritera sejarah, oleh Mpu Sêddah sekaligus juga dipakai untuk tahun Çãka. Terjemahan Prof. Dr. C.C. Berg itu memang tepat, karena candra-sengkala yang seharusnya menyindir suatu peristiwa sejarah yang dapat direkonstruksikan berdasarkan atas sejarah raja Jayabhaya yang terlibat dalam suatu peperangan. Bahwa pada waktu raja Jayabhaya memerintah di Kediri pemerintahannya kesukaran, disebabkan adanya peperangan, telah disebutkan oleh Dr. N.J.Krom sejak tahun 1931; sarjana ini menggunakan prasasti yang berasal dari Ngantang sebagai bukti 22). Apa yang terjadi dalam peristiwa Ngantang mengenai diri raja Jayabhaya, tidak diketahui dengan pasti Seperti telah disebutkan diatas, bacaan Prof. Dr. C.C. Berg tentang candra-sengkala ini telah diganti dengan sang akuda çuddha candrama. Kata-kata sanga kuda menurut bacaan R. Ng. Poerbatjaraka itu apabila ditinjau dari sudut harga angka tidak berbeda dengan bacaan Prof. Dr. C.C. Berg yang berbunyi sang akuda, tetapi apabila ditinjau dari sudut sindiran peristiwa sejarah yang disembunyikan dalam candra-sengkala itu sesuai dengan perumusan candra-sengkala yang telah diberikan diatas. Sebab terjemahan sang akuda çuddha candrama dengan: beliau yang berkuda (mempunyai hati) yang bersih (seperti) bulan, peristiwa sejarah yang disindir oleh candra-sengkala yang disebutkan dalam kakawin Bhãrata-Yuddha yang ditulis atas petunjuk dan perintah raja Jayabhaya ini makin jelas. Sebelum diberi pembuktian, telah dapat ditentukan sebelumnya, bahwa kakawin Bhãrata-Yuddha itu ditulis sebagai ceritera sejarah berkenaan dengan Jayabhaya, jadi merupakan suatu sejarah Jawa (Indonesia) 23), artinya secara negatif bukan sejarah India. Apabila [45] ditinjau dari sudut kebudayaan, ceritera perang antara keluarga Pãnnddawa dan Kaurawa yang berasal dari India itu telah mengalami reworking dan telah dijalinkan dengan pola kebudayaan Indonesia setelah mengalami proses akulturasi 24). Bahwa kakawin Bhãrata-Yuddha itu dimaksudkan sebagai sejarah raja Jayabhaya peribadi atau diidentifikasikan dengan raja Jayabhaya 25) disebutkan dalam Pupuh I 1 yang menyatakan, bahwa "sang pahlawan ingin bersaji dimedan perang dan bertujuan untuk membinasakan musuhnya". Dari kalimat ini jelaslah, bahwa sang pahlawan itu telah mengalami ketenangan dalam hatinya, karena dikatakan telah bertindak sebagai pendeta dalam medan pertempuran dengan mempergunakan musuh-musuhnya sebagai bahan persajian, seperti untaian bunga diatas rambut dari mereka yang telah gugur dalam medan pertempuran, urnna atau hiasan manikam diatas dahi raja yang telah gugur, negara musuh yang terbakar dan kepala musuh yang terpenggal diatas kereta. Karena sang pahlawan telah mengadakan persajian, hubungan antara Pupuh I 1 sebagai bagian dari kakawin Bhãrata-Yuddha dengan Bhãrata-Yuddha yang mengisahkan perang besar antara keluarga Pãnnddawa dan Bhãrata itu sama dengan hubungan yang ada antara bagian Bhagawadgita 26) yang ada dalam kitab Mahãbhãrata dalam bahasa Sangsekerta 27) dan dalam bahasa Jawa kuno yang diketemukan dalam kitab Bhishmaparwa 28) denga parwa VI, VII, VIII, IX dan X dari kitab Mahãbhãrata yang menguraikan perang dahsyat antara dua keluarga tersebut 29). Seperti diketahui, bahwa apabila Bhagawadgita itu secara filosofis membenarkan perbuatan Arjunna sebagai seorang anggauta dari kasta kshatrya untuk melawan orang-orang Kaurawa yang masih masuk keluarganya sendiri yang dekat 30), Bhagawadgita mengijinkan perang yang diadakan oleh Arjunna sebagai dharma-yuddha karma, karena perbuatannya itu merupakan swadharmanya sebagai seorang kshatrya, bahkan Arjunna dapat mengerjakannya karena pertentangan antara keluarga Kaurawa dan Pãnnddawa itu pada hakekatnya merupakan suatu khayalan atau mãyã saja dan tidak mungkin terjadi menurut pandangan seseorang yang telah mengetahui hakekat filsafat hidup 31). [46] Dalam Pupuh I 2 Mpu Sêddah yang menyusun kakawin Bhãrata-Yuddha itu telah mengidentifikasikan sang pahlawan tersebut diatas dengan raja Jayabhaya yang dikatakan dengan uraian: "Hal ini telah tersebar dimana-mana, maka dari sebab itu ia oleh dunia disebut sebagai yang dipertuan raja Jayabhaya". Dengan adanya identifikasi dari Arjunna dan Jayabhaya dengan sang pahlawan dari Pupuh I 1 itu secara logis Jayabhaya itu identik dengan Arjunna, ceritera Bhãrata-Yuddha yang pada hakekatnya menceriterakan Arjunna sebagai pahlawan dari keluarga Pãnnddawa melawan keluarga Kaurawa, raja Jayabhaya sendiri terjalin dalam ceritera Bhãrata-Yuddha. Artinya ceritera Bhãrata-Yuddha yang menggambarkan perang antara keluarga Pãnnddawa dengan Kaurawa itu telah diidentifikasikan dengan sejarah peribadi raja Jayabhaya sendiri. Seperti telah diajukan oleh Prof. Dr. C.C. Berg, di Bali ada suatu tradisi yang menerangkan, bahwa setelah Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua, raja Jayabhaya bertengkar dengan saudaranya mengenai kerajaan Airlangga yang telah dibagi itu 32). Karena menurut Nãgarakrêtãgama kerajaan Airlangga itu memang dibagi menjadi dua, ialah Janggala dan Kaddiri (Kediri) 33) yang dikerjakan oleh seorang sakti yang bernama Mpu Bharãdda dengan tujuan, bahwa pembagian itu akan tetap kekal dan tidak diingkari oleh salah suatu pihak, pada hal telah diketahui bahwa Jayabhaya itu raja Kediri, dapat diambil kesimpulan, bahwa kakawin Bhãrata-Yuddha itu merupakan suatu kitab apologi atau kitab pembelaan Jayabhaya dari Kediri terhadap perbuatan yang menyerang dan menaklukkan Janggala. Dengan ini Mpu Sêddah telah membebaskan raja Jayabhaya dari segala tuduhan, bahwa ia telah menaklukkan kerajaan Janggala yang dipimpin oleh salah seorang keturunan Airlangga, jadi masih keluarganya sendiri. Demikianlah pandangan Prof. Dr. C.C. Berg mengenai kakawin Bhãrata-Yuddha yang pada hakekatnya bertujuan membenarkan perbuatan raja Jayabhaya yang sesungguhnya terlarang. Pada tahun 1953 Prof. Dr. C.C. Berg melanjutkan penyelidikannya tentang kakawin Bhãrata-Yuddha ini dan mengajukan pendapat tentang arti kakawin Bhãrata-Yuddha yang ditinjau dari sudut ilmu antropologi budaya, sejarah dan kesusasteraan [47] 34). Karena seperti yang telah dikatakan, ceritera kakawin Bhãrata-Yuddha itu yang didahului oleh inti ceritera Bhagawadgita dalam bentuk yang singkat, sesuai dengan jalan ceritera kakawin ini, raja Jayabhaya telah mengadakan perbuatan yang ternoda, seperti demikian halnya dengan Arjunna. Perbuatan yang ternoda ini wajib ditiadakan dengan jalan menyusun kitab kakawin Bhãrata-Yuddha yang membenarkan perbuatan Arjunna dan raja Jayabhaya. Dengan perkataan lain kitab Bhãrata-Yuddha itu merupakan suatu buah kesusasteraan untuk "ngruwat" atau meruwat dan dalam bahasa asing disebut kesusasteraan expiatoris. Didalam lingkungan kebudayaan Indonesia, khususnya dalam lingkungan kebudayaan Jawa, ada pengertian bahwa tindakan manusia yang disengaja atau tidak disengaja menimbulkan keadaan yang berbahaya, seperti anak lahir tunggal, dua anak lahir kembar, orang membunuh orang lain dan sebagainya. Orang yang dalam keadaan bahagia itu selekas mungkin harus dibebaskan dari keadaan yang bahaya itu dengan jalan mengadakan selamatan. Dipulau Jawa, upacara melepaskan seseorang dari keadaan bahaya itu disebut "ngruwat" dan biasanya dilaksanakan dengan mengadakan pertunjukan wayang yang mengambil lakon Amurwakala, ialah lakon ngruwat yang sangat terkenal 35). Upacara ini disebut ruwatan. Sebagai bukti dari selesainya kitab kakawin Bhãrata-Yuddha yang ditulis oleh Mpu Sêddah pada tahun sang akuda çuddhã candrama, ialah tahun Çãka 1079 atau tahun 1157 Masehi, raja Jayabhaya telah diruwat setelah membinasakan raja Janggala yang masih masuk keluarganya sendiri. Tindakannya itu juga disindir oleh candra-sengkala yang ada dalam kakawin Bhãrata-Yuddha yang dalam terjemahan berbunyi: beliau yang berkuda mempunyai hati bersih seperti bulan. Jadi sang akuda menyindir seorang raja yang berkuda, ialah raja Jayabhaya, sedangkan pengertian raja ini yang telah diruwat disindir oleh kata-kata hati bersih seperrti bulan; karena setelah ruwatan selesai hati raja Jayabhaya tidak ternoda lagi. Apabila perbuatan Mpu Sêddah melepaskan raja Jayabhaya itu dari bahaya berdasarkan atas perang yang diadakan oleh Jayabhaya untuk membinasakan kerajaan Janggala, uraian ini berdasarkan atas pandangan, bahwa kerajaan Airlangga itu terpe- [48] cah menjadi dua, seperti yang disebutkan dalam kitab Nãgarakrêtãgama. Tetapi didalam penelitian yang diadakan oleh Prof. Dr. C.C. Berg ada petunjuk-petunjuk, bahwa berita dari kitab Nãgarakrêtãgama itu ada beberapa diantaranya yang tidak memuat kebenaran sejarah 36). Apabila pandangan sarjana ini diajukan pada tahun 1951 secara samar-samar, pada tahun 1953 pandangan Prof. Dr. C.C. Berg lebih tegas lagi dengan mengatakan, bahwa berita Nãgarakrêtãgama yang mengatakan bahwa kerajaan Airlangga dibagi dua, ialah Janggala dan Kaddiri itu tidak benar atau pembagian ini tidak pernah terjadi, karena pembagian daerah Jawa Timur itu dikembalikan kepada mitos kuno, ialah mitos sungai Brantas yang membagi Jawa Timur menjadi dua bagian 37) Dengan ini sarjana Berg mencoba untuk menyelamatkan pendapatnya, bahwa kakawin Bhãrata-Yuddha itu tetap merupakan suatu kesusasteraan ruwat, tetapi dasar untuk menyusunnya tidak berdasarkan atas pola perang yang terjadi sebagai akibat terbaginya kerajaan Kaddiri menjadi dua bagian. Perang yang terjadi dan menjadi alasan untuk Mpu Sêddah menulis kakawin Bhãrata-Yuddha, ialah suatu perang yang kejadiannya dapat direkonstruksikan sendiri dari kakawin Bhãrata-Yuddha 38). Dari Pupuh I 3 dapat diketemukan tokoh çri pamaçã yang berperang dengan tokoh lainnya, yang disebut hemabhûpati. Karena dari kakawin Bhãrata-Yuddha sendiri diketahui, bahwa yang menang itu Jayabhaya, pada hal dari Pupuh I 2 dapat diketahui, bahwa çri pamaçã itu setelah menang perang dinobatkan sebagai pãduka bhattãra atau yang dipertuan, ialah menjadi raja, dapat diambil kesimpulan bahwa çri pamaçã itu raja Jayabhaya. Karena kata pamaça atau pamasah itu rupa-rupanya adalah suatu kata yang tumbuh atau berhubungan dengan kata pamaçi 39) dan kata dyah pamasi yang disebutkan dalam prasasti dari raja Kêrtarãjasa yang berangka tahun 1296 untuk menyebut salah seorang diantara menteri-menteri besar yang 3 jumlahnya 40), dapat diambil kesimpulan bahwa pamaçi atau pamasah itu berarti raja rendahan. Dengan ini dapat ditentukan, bahwa berdasarkan atas kakawin Bhãrata-Yuddha sendiri yang menyatakan bahwa sesudah menang perang çri pamaçã itu dinobatkan menjadi pãduka bhattãra, Jayabhaya mula-mula hanya mempunyai kedu- [49] dukan yang agak rendahan dan baru kemudian diangkat menjadi seorang raja besar setelah dapat merebut kekuasaan di Kediri. Sekalipun Prof. Dr. C.C. Berg telah menemukan, bahwa dalam kakawin Bhãrata-Yuddha itu Hemabhûpati merupakan lawan dari Jayabhaya dan dalam hubungan antara Jayabhaya dengan Hemabhûpati itu yang disebut belakangan ini adalah "saudara yang lebih tua" (oudere broer) 42), ia tidak menguraikan, apa sebabnya Hemabhûpati itu dianggap lebih tua. Apabila perso'alan ini ditinjau dari sudut kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa, arti fungsi Hemabhûpati itu sangat jelas. Didalam sejarah Jawa nama mas sering dipergunakan sebagai nama raja atau ratu, seperti Sunan Mas, ialah sebutan Amangkurat III 43), permaisuri Ratu Mas, ialah permaisuri Paku Buwana X 44) dan lain-lainnya seperti Ratu Kentjana Wulan, Ratu Kentjana Wungu dan sebagainya. Istilah-istilah yang pada intinya berarti mas, dipergunakan oleh tokoh-tokoh raja atau ratu yang mempunyai kedudukan yang penting atau lebih penting, apabila dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain dalam lingkungan keluarga raja-raja atau lingkungan bangsawan pada suatu waktu. Dengan ini jelaslah, bahwa Hemabhûpati itu mempunyai kedudukan yang lebih penting, apabila dibandingkan dengan raja Jayabhaya sebagai çri pamaçã. Disamping itu istilah mas dalam bahasa Jawa didalam lingkungan kekeluargaan selalu dipergunakan untuk menyebut seorang yang dianggap sebagai saudara tua atau orang yang lebih tua 45). Contohnya dalam sejarah yang belum selang lama dapat diketahui, bahwa permaisuri Paku Buwana X di Surakarta itu di- [50] sebut Ratu Mas 46), sedangkan permaisuri Adipati Mangku Negara VII di Surakarta disebut Ratu Timur 47). Karena kedua permaisuri itu puteri Sultan Hamengku Buwana VII di Yogyakarta, nama Mas dan Timur yang diberikan kepada kedua permaisuri itu jelas dengan memperindahkan usia, karena memang Ratu Mas itu kakak dari Ratu Timur. Berdasarkan atas uraian ini, tidak akan jauh dari kebenarannya apabila dikatakan bahwa Hemabhûpati dalam kakawin Bhãrata-Yuddha itu lebih tua dari Jayabhaya, artinya saudara tua atau kakak. Dengan ini jalaslah, bahwa apabila menurut kakawin Bhãrata-Yudha itu raja Jayabhaya dalam keadaan bahaya setelah mengadakan perang dengan Hemabhûpati, dapat ditentukan bahwa perbuatannya yang menimbulkan bahaya itu disebabkan karena Jayabhaya membinasakan kakaknya. Pembunuhan atau pembinasaan seorang kakak, bilamana dan bagaimanapun juga merupakan suatu perbuatan jahat yang harus dibenarkan. Seperti telah disebutkan diatas, apabila kakawin Bhãrata-Yuddha itu merupakan kesusasteraan ruwat, Jayabhaya yang berbuat salah itu mengidentifikasikan dirinya dengan Arjunna untuk membenarkan perbuatannya membinasakan Hemabhûpati. ialah kakak Jayabhaya yang telah diasosiasikan dengan orang-orang Kaurawa. Dapatlah tafsiran baru tentang kakawin Bhãrata-Yuddha berdasarkan atas isi kakawin itu sendiri diperkuat dengan bukti-bukti sejarah lainnya, apabila diketahui bahwa kesusasteraan sebagai sumber sejarah kurang dapat dipercayai 48)? Jawaban perso'alan ini dapat didasarkan atas prasasti Ngantang 49) yang berangka tahun 1135. Berdasarkan atas berita prasasti Ngantang ini, secara samar-samar Dr. N. J. Krom sejak tahun 1931 mengajukan pendapat, bahwa pemerintahan raja Jayabhaya menghadapi beberapa kesukaran 50). Begitu pula Dr. C.C. Berg dalam karangannya yang berjudul: "Herkomst, vorm en functie der Middeljavaanse rijksdelingstheorie" dari tahun 1953 itu juga telah menyebut adanya hubungan antara Jayabhaya yang berperang dengan raja Hemabhûpati itu dengan prasasti Ngantang, tetapi tidak dibicarakan panjang lebar 51). Baru dalam tesis Dr. Sutjipto Wirjosuparto hubungan yang ada antara perang yang diadakan oleh Jayabhaya dengan Hemabhûpati atau kakak rajaJaya-[51]bhaya diuraikan panjang lebar52) Prasasti Ngantang atau Hantang, seperti yang disebutkan dalam prasasti itu, menyatakan bahwa Çri mahãrãja sang mapanji Jayabhaya çri Warmeçwara Madhusûdanãwatãrãnindita Suhrêtsingha Paramakrama Digjayotunggadewi telah mengakui dan memperluas hak yang dimiliki oleh daerah Hantang yang luasnya 12 thãni, karena daerah ini tetap setia kepada raja Jayabhaya ketika raja ini pada suatu waktu mengalami kesukaran. Dari prasasti itu juga diketahui, bahwa sebelumnya daerah itu mempunyai hak-hak tertentu (umpamanya saja dibebaskan dari pembayaran pajak) dari seorang raja yang dimakamkan di Gajapada dan dari seorang raja lainnya yang dimakamkan di Nagapuspa. Siapakah dua orang raja yang disebutkan itu tidak diketahui, akan tetapi sangat banyak kemungkinannya, bahwa mereka itu 2 orang raja dari wilayah yang takluk kepada Kediri atau 2 orang raja rendahan yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan raja Kediri. Dengan ini, apabila daerah Ngantang itu membantu raja Jayabhaya ketika ia dalam keadaan bahaya, tentu ada hubungan tertentu antara daerah Ngantang itu dengan istana di Kediri. Yang penting ialah, bahwa dengan prasasti Ngantang itu disebutkan tentang perang yang dihadapi oleh raja Jayabhaya 53) dan kutipan serta terjemahannya ialah seperti berikut: 12.............wishaya-13. nya rwa wlas thãni satata sushttbhakti mamrih ri pagêha çri mahãrãja ri manniratnasinghãsana makawyakti ri pamwatakênya 54) ri cancu 55) tan pamusuh14. mwang cancu rãgadaha 56) muwah ri kãla ni panuwal 57) kewalãpagêh ya paksha Jayabhaya yatãgawe purwwarênna kãrananyan inubhaya sanma- 15. ta panghyangnya de çri mahãrãja matangnyan winangun sang hyang haji praçasti munggu ring linggopala tinanndda narasingha kmitanikang wargga ri dalêm thãni ri Hantang .......Terjemahan. 12............daerah- 13. nya yang dua belas thãni luasnya yang selalu sangat setia sikapnya dengan berusaha mempertegak kedudukan çrimahãrãja di-[52]atassinggasana (yang bertatahkan) ratna manikam. Sebagai buktinya ialah pada waktu penindasan huru-hara yang tidak menimbulkan permusuhan. 14. dan huru-hara ketika Daha menjadi lautan api dan pada waktu (çri mahãrãja) mengadakan serangan balasan, ketika (penduduk Hantang) itu dengan patuhnya semata-mata memihak kepada Jayabhaya. Dengan ini (çri mahãrãja) memerintahkan untuk memperlihatkan terima-kasihnya tentang perbuatan yang terjadi pada waktu dulu. Oleh karena itu permintaan (penduduk Hantang) telah disetujui dan diterima oleh çri mahãrãja. Maka dari sebab itu dibuatlah suatu prasasti yang memuat perintah raja yang keramat itu diatas suatu batu tiang yang berbentuk lingga dan ditandai oleh (meterai) narasingha untuk melindungi penduduk Hantang ................ Dari terjemahan ini dapat dikumpulkan beberapa berita sejarah mengenai Jayabhaya. Pertama, bahwa selama raja Jayabhaya bertakhta itu kerajaan Kediri mengalami huru-hara, sedikitnya tiga kali, ialah: 1. huru-hara yang dapat ditindas dengan tidak menimbulkan permusuhan, 2. huru-hara ketika Daha atau Kediri menjadi lautan api dan disebut Daha dan 3. ketika raja Jayabhaya mengadakan serangan balasan. Kedua, bahwa dalam huru-hara dan pada waktu diadakan serangan balasan itu rakyat Hantang membantu raja Jayabhaya, sehingga ketika akhirnya raja Jayabhaya dapat merebut kemenangan lagi, kepada daerah dan rakyat Hantang diberi hak-hak istimewa, seperti pembebasan pajak dan sebagainya. Apabila huru-hara dan peperangan yang disebutkan dalam prasasti Ngantang itu dihubungkan dengan kakawin Bhãrata-Yuddha yang menyebutkan adanya perang antara çri pamaçã, ialah Jayabhaya dan Hemabhûpati, ialah Raja Mas atau kakak Jayabhaya, jelaslah bahwa ada perang saudara dan raja Jayabhaya berhadapan dengan kakaknya. Perang saudara itu sedemikian hebatnya, sehingga Daha atau Kediri menjadi lautan api, bahkan raja Jayabhaya yang mula-mula menderita kekalahan terpaksa melarikan diri ke Hantang atau Ngantang pada waktu sekarang. Bahwa Ngantang yang terletak didaerah berbukit Gunung Kelut antara Malang dan Kediri itu merupakan suatu tempat strategis dibuktikan beberapa kali dalam sejarah Indonesia,diantaranya pada jaman Trunadjaja yang juga mempertahankan diri didaerah ini ketika ia diserang oleh tentera Kumpeni Belanda 58) dan pada waktu revolusi fisik Indonesia pada waktu perang kemerdekaan. Berkat bantuan daerah dan rakyat Hantang itu raja Jayabhaya dapat mengadakan serangan balasan dan dapat membinasakan Hemabhûpati. Karena pembunuhan Hemabhûpati, ialah kakak Yajabhaya itu merupakan suatu perbuatan yang terkutuk dan menyebabkannya raja Jayabhaya dalam keadaan bahaya, maka dari sebab itu Mpu Sêddah disuruh menyusun suatu kakawin ruwat, seperti yang diuraikan dalam bagian kitab ini. Dari pengupasan kakawin Bhãrata-Yuddha yang dibandingkan dengan bacaan prasasti Ngantang itu jelaslah, bahwa kakawin Bhãrata-Yuddha itu, sekalipun merupakan karya kesusasteraan, dapat dipergunakan sebagai bahan sumber sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar